Penularan Covid-19 di Pengadilan Meluas, Regulasi Sidang Virtual Dibutuhkan
Penyebaran Covid-19 di kalangan hakim dan pegawai pengadilan negeri cenderung meluas. Oleh karena itu, Mahkamah Agung diharapkan mempercepat penyusunan perma tentang persidangan virtual.
JAKARTA, KOMPAS — Penularan Covid-19 di pengadilan negeri meluas. Sejumlah pengadilan menghentikan pelayanan sementara karena hakim maupun pegawai terpapar Covid-19. Regulasi mengenai persidangan pidana virtual diharapkan segera selesai sebagai langkah mitigasi penularan di lingkungan peradilan.
Di Pengadilan Negeri Medan dilaporkan, ada 14 hakim dan 25 pegawai positif Covid-19. Seorang hakim yang sebelumnya meninggal dalam kondisi suspek Covid-19 dinyatakan positif. Pelayanan dihentikan sementara pada 4-11 September (Kompas.id, 4/9/2020).
Data terbaru, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menghentikan layanan sementara selama tujuh hari kerja sejak Rabu (9/9/2020). Djuyamto dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara, saat dikonfirmasi, Selasa (8/9/2020), mengatakan, keputusan itu diambil setelah ada hakim dan pegawai terpapar Covid-19.
Hal itu diketahui melalui hasil tes usap yang dilakukan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara pada Sabtu (3/9/2020). Hasilnya, sebanyak enam orang dinyatakan positif Covid-19. Kemudian, dua orang lainnya melakukan tes usap mandiri di rumah sakit dan hasilnya pun dinyatakan positif.
”Maka pimpinan PN Jakarta Utara memutuskan untuk mengambil kebijakan dengan menghentikan pelayanan pengadilan, baik layanan persidangan maupun pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) selama tujuh hari,” ujar Djuyamto.
Djuyamto menjelaskan, keputusan itu mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja dalam Tatanan Normal Baru pada MA dan Badan Peradilan di Bawahnya. SEMA No 9/2020 itu diterbitkan Senin (7/9/2020). Selain mengacu pada regulasi tersebut, penutupan layanan sementara juga dibuat atas pertimbangan keselamatan masyarakat.
Seluruh pelayanan persidangan maupun PTSP dihentikan sementara, kecuali perkara yang mendesak. Misalnya, perkara pidana yang masa penahanannya hampir habis sebelum masa tujuh hari penghentian layanan sementara. Pengajuan upaya hukum lainnya dilaksanakan dengan pedoman SEMA No 9/2020.
Baca juga : 39 Hakim dan Pegawai Positif Covid-19, Pengadilan Negeri Medan Tutup
Selama penutupan pelayanan itu, PN Jakut akan melakukan sterilisasi ruangan dengan penyemprotan disinfektan. Jika terpaksa harus ada persidangan yang mendesak, pengunjung sidang dibatasi, dan diwajibkan melaksanakan protokol kesehatan ketat.
Menurut Djuyamto, selama ini sebagai upaya pencegahan penularan virus korona baru, sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan PN Jakut. PN Jakut telah melakukan pembagian kerja dari kantor dan kerja dari rumah sesuai surat edaran MA.
PN Jakut juga berupaya mengoptimalkan persidangan virtual, baik perkara perdata maupun pidana. Namun, Djuyamto tak menampik bahwa pelaksanaan sidang virtual masih terkendala banyak hal. Salah satunya adalah regulasi mengenai hukum acara persidangan.
”Sidang virtual itu sangat membantu mengurangi pertemuan tatap muka, kerumunan yang berpotensi pada penularan. Namun, sesuai hukum acara, ada yang tidak bisa dilakukan secara daring, misalnya pembuktian dalam perkara perdata, mendengarkan keterangan saksi kasus pidana yang harus dihadirkan di persidangan,” kata Djuyamto.
Oleh karena itu, pengadilan negeri membutuhkan payung hukum, yaitu peraturan dari MA mengenai persidangan virtual. Kekosongan hukum karena belum diatur dalam hukum acara yang ada harus dicarikan solusinya. Saat ini, MA sendiri masih menggodok rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai persidangan virtual.
Selain masalah regulasi, menurut Djuyamto, persidangan virtual pun masih banyak terkendala fasilitas penunjang. Saat dilakukan persidangan virtual, terkadang jaringan internet di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan kerap tidak lancar. Dengan demikian, masalah teknis itu turut menghambat percepatan adaptasi ke persidangan virtual.
Ke depan, jika sudah ada regulasi mengenai persidangan virtual, koordinasi lintas lembaga penegak hukum pun harus ditingkatkan. Baik kepolisian, kejaksaan, maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menangani pemasyarakatan.
”Ke depan harus dipikirkan bagaimana koordinasi antarlembaga penegak hukum soal ketersediaan instrumen penunjang itu. Sudah ada surat keputusan bersama (SKB) tentang tahanan yang boleh mengikuti persidangan dari tempat penahanan. Namun, terkadang persidangan daring juga masih terkendala hal-hal teknis,” kata Djuyamto.
Percepat regulasi dan permudah alur pelaporan
Melihat banyaknya kasus penularan di lingkungan pengadilan, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LiEP), Liza Farihah, menilai, penyusunan perma tentang persidangan virtual harus dipercepat. Liza menilai, penyusunan regulasi itu terlalu lama karena pandemi Covid-19 sudah terjadi lebih dari enam bulan.
Untuk memberikan panduan yang lebih jelas tentang pelaksanaan sidang virtual. Selama ini, sejumlah pengadilan memang sudah melaksanakan sidang secara virtual. Namun, ketika mengalami kendala tertentu, mereka menjadi gamang karena tidak ada acuan payung hukumnya.
”Perma tentang persidangan virtual ini sudah ditunggu-tunggu lama oleh badan peradilan di bawah MA. Melihat kasus yang terjadi, kami mendorong supaya perma tersebut segera disahkan karena sudah menjadi kebutuhan mendesak di tingkat bawah,” kata Liza.
Selama ini, menurut Liza, masalah yang kerap terjadi adalah kendala teknis seperti sarana dan prasarana yang tidak mencukupi, serta perlindungan hak terdakwa dan korban. Saat mengikuti persidangan virtual, ada terdakwa yang didampingi pengacara, ada pula yang tidak. Perma persidangan virtual itu dibutuhkan sebagai pedoman untuk menyeragamkan persidangan.
Sementara itu, saat ditanya mengenai perkembangan penyusunan perma tentang persidangan virtual, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah mengatakan, aturan itu masih dalam tahap public hearing. Ada beberapa pihak yang dilibatkan dalam tahapan tersebut, termasuk negara-negara maju yang sudah berhasil menerapkan persidangan virtual. MA melakukan diskusi publik dengan sejumlah negara, seperti Belanda, Australia, dan Singapura.
”Setelah public hearing selesai, akan masuk ke rapat pimpinan, harmonisasi, kemudian diundangkan,” kata Abdullah.
Sebelumnya, Abdullah mengatakan, perma tentang sidang pidana virtual itu merupakan upaya pencegahan dan mitigasi penyebaran Covid-19. Dalam perma itu akan diatur pedoman sidang perkara pidana dalam keadaan tertentu. Misalnya, saat kondisi pandemi, sidang yang membahayakan seperti kasus terorisme hingga persidangan yang terkendala jarak dan wilayah. Sidang virtual dapat digelar sepanjang ada pertimbangan keamanan dan keselamatan.
Selain itu, melihat penularan Covid-19 yang terus meluas, MA juga mengeluarkan regulasi SEMA Nomor 8 Tahun 2020 dan SEMA Nomor 9 Tahun 2020. SEMA No 8/2020 mengatur tentang mitigasi dan upaya penularan Covid-19 di lingkungan MA. Pimpinan pengadilan, misalnya, diwajibkan melakukan tes usap secara berkala di lingkungan kerjanya serta menutup pelayanan sementara apabila ditemukan kasus positif.
Selain itu, mengacu pada Surat Edaran Kemenpan RB, pengadilan yang berada di wilayah zonasi merah juga dapat mengatur pembagian kerja maksimal 25 persen karyawan bekerja di kantor. Selebihnya, karyawan diminta bekerja dari rumah untuk menghindari penularan Covid-19.