Efek Kejut dari Pencalonan Giring
Dengan modal politik PSI yang minim, langkah pencapresan Giring dianggap hanya untuk mendongkrak elektabilitas. Namun, sebenarnya, tradisi baru di perpolitikan coba dilahirkan.
Ketika partai politik disibukkan dengan Pilkada 2020, Partai Solidaritas Indonesia justru menatap ke Pemilu Presiden 2024. Giring Ganesha, eks vokalis Nidji, ditetapkan jadi calon presiden. Dengan modal politik partai yang minim, langkah itu dianggap hanya untuk mendongkrak elektabilitas. Namun, sebenarnya, tradisi baru di perpolitikan coba dilahirkan.
Menyusul penetapannya sebagai calon presiden (capres) oleh PSI, wajah Giring langsung terpampang pada baliho-baliho berukuran besar, di sejumlah jalan arteri, di beberapa kota besar. Ia mengenakan baju putih dan peci hitam dengan tulisan ”Giring untuk Presiden 2024” plus logo PSI di samping gambar Giring.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ia juga rajin mempromosikan diri sebagai capres 2024. Ia pun kerap turun mengenalkan diri langsung ke masyarakat. Kemudian dengan tugas barunya sebagai pelaksana tugas Ketua Umum PSI, Giring sering pula hadir di acara-acara penting PSI.
Menjelang tahapan pendaftaran calon di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, ia sering kali menyerahkan sendiri ”tiket” pencalonan PSI kepada sejumlah bakal calon kepala/wakil kepala daerah yang diputuskan diusung oleh PSI.
Kiprah Giring di panggung permusikan Tanah Air tidak perlu diragukan lagi. Bersama Nidji, popularitasnya meroket dengan suaranya yang khas dan lagu-lagunya yang berhasil memikat para pencinta musik Indonesia.
Namun di panggung perpolitikan, ia terbilang pemain baru. Baru pada September 2017, ia memutuskan menggeluti dunia politik dengan bergabung bersama PSI, yang juga partai politik (parpol) baru di Indonesia. Tak berhenti di situ, ia lantas coba maju menjadi anggota DPR di Pemilu Legislatif 2019.
Sekalipun gagal terpilih karena raihan suara PSI tidak mampu melewati ambang batas parlemen, pengalaman pertamanya di kontestasi politik tak bisa dipandang sebelah mata. Bertarung di daerah pemilihan ”neraka”, Jawa Barat I (Bandung dan Cimahi), Giring berhasil mengumpulkan 47.069 suara.
Kiprahnya di dunia politik pun kian moncer setelah PSI memutuskan dia menjabat pelaksana tugas Ketua Umum PSI. Keputusan ini diambil karena Ketua Umum PSI Grace Natalie memutuskan cuti selama satu tahun untuk studi di luar negeri. Tak berhenti di situ, PSI lantas mengumumkan Giring menjadi calon presiden (capres) PSI di Pemilu Presiden 2024.
Baca juga : Giring Ganesha Ditunjuk Menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PSI
Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni menuturkan, Kamis (3/9/2020), PSI memiliki cita-cita untuk menjadikan kader terbaiknya sebagai pejabat publik, baik di eksekutif ataupun legislatif. Dalam kaitan Pilpres 2024, cita-cita itu coba diwujudkan dengan mengusung kader terbaik PSI menjadi capres.
”Setelah melakukan survei dan FGD (diskusi kelompok terarah) di lima provinsi, sosok yang paling pas diajukan sebagai capres adalah Giring,” ujar Toni.
Tak hanya karena Giring punya modal popularitas, PSI menganggap Giring punya kapasitas. Ini dibuktikannya saat masih berkarier di dunia permusikan, Pemilu 2019, dan kini di sela-sela kesibukan politiknya, Giring menjabat pula presiden olahraga elektronik, yaitu Indonesia E-sports Premier League (IESPL).
Di luar itu, ia tak menampik strategi tersebut, bagian dari upaya PSI untuk meningkatkan elektabilitas PSI, khususnya dalam menghadapi Pemilu 2024.
Tantangan PSI
Pada Pemilu 2019, PSI hanya meraih 1,85 persen suara. Dengan raihan suara itu, partai gagal lolos ambang batas parlemen yang besarnya 4 persen. Saat ini, berdasarkan survei sejumlah lembaga, elektabilitas PSI pun belum beranjak dari raihan suara yang diperolehnya di 2019.
Hasil survei Charta Politika Juli lalu, misalnya, elektabilitas PSI masih berada di angka 1,6 persen. Kemudian berdasarkan hasil survei Indikator yang dilakukan Mei lalu, elektabilitas PSI justru berada di angka 0,7 persen.
Dengan asumsi pembentuk undang-undang, DPR dan pemerintah, tak menaikkan lagi angka ambang batas parlemen, mengejar angka elektabilitas menjadi 4 persen saja, bukan pekerjaan mudah.
Menghadapi tantangan berat itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya melihat, pencalonan Giring sebagai capres di Pilpres 2024 lebih banyak untuk mengerek elektabilitas PSI. Sebagai partai debutan, PSI dinilai masih harus bergelut pada tahapan pengenalan. Apalagi, pada saat Pemilu 2019, waktu pengenalan terbilang singkat. Isu-isu yang dimainkan PSI pun cenderung tersegmentasi karena bergerak di isu antikorupsi dan anti-intoleransi yang belum menyentuh semua kalangan pemilih.
”Dengan memperkenalkan Giring sebagai pelaksana tugas Ketua Umum PSI dan capres, setidaknya memperluas segmen pemilih, yaitu tidak hanya kalangan muda dan perkotaan,” tuturnya.
Sosok Giring, menurut Yunarto, akan lebih diterima publik ketimbang kader PSI lain karena berasal dari dunia hiburan. Nama Giring akan dengan mudahnya diperbincangkan. Dibandingkan dengan permainan isu atau program yang membutuhkan waktu lama, kemunculan Giring akan membuat efek kejut.
”Terlepas dari perbincangannya lebih banyak ke negatif, PSI berani dan strategi itu akan berdampak pada popularitas PSI di wilayah,” ungkap Yunarto.
Dalam strategi pemasaran politik yang dikemukakan oleh Jennifer Lees-Marshment (2009), tujuan utama dari pemasaran politik adalah meyakinkan dan mengubah pilihan dari calon pemilih. Tahapan dalam pemasaran itu di antaranya adalah pemetaan pemilih untuk mengidentifikasi segmen pemilih yang mendukung, menolak tetapi dapat dipersuasi, hingga cara berkomunikasi terbaik dengan target pasar.
Setelah ditentukan pemetaan, tahapan selanjutnya adalah memberikan penekanan pada aspek produk partai yang dianggap populer. Penekanan dilakukan melalui komunikasi pemasaran yang unik, modern, dan memanfaatkan media guna menjangkau pemilih.
Baca juga : Semiotika Politik PSI di Pilpres 2024
Namun, berbeda dengan Yunarto, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai strategi PSI tak akan banyak memengaruhi peta dukungan untuk PSI.
Sebab, menurut dia, yang lebih penting dilakukan oleh partai baru seperti PSI adalah membangun jaringan parpol hingga ke akar rumput. Partai baru juga seharusnya lebih memprioritaskan perekrutan anggota dan kaderisasi.
Selain itu, memikirkan Pilpres 2024 apalagi sampai menghadirkan capres di tengah kondisi masyarakat saat ini sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19, justru dapat menjadi bumerang bagi PSI. Publik bisa sinis pada PSI.
Pengenalan dini
Terlepas dari persoalan memburu elektabilitas tersebut, strategi PSI mengenalkan lebih dini calonnya untuk Pilpres 2024 dianggap sebagai pendidikan politik yang baik.
Menurut Yunarto, kemunculan Giring seharusnya dapat menggugah partai-partai politik lama untuk meninggalkan kebiasaannya, mengenalkan calon pemimpin menjelang tenggat pendaftaran calon. Cara-cara itu membuat publik tidak bisa menguji kapabilitas calon tersebut. Publik pun seolah hanya memperoleh kucing dalam karung, padahal pilihan itu akan menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.
”Ini seharusnya diikuti oleh partai lama. Bagaimana mereka memunculkan calon jauh-jauh hari. Membuka diri dan siap diuji oleh publik dengan segala macam komentarnya,” katanya.
Lantas akankah diikuti parpol lainnya?
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, pengenalan sosok capres belum menjadi agenda mendesak partai. Saat ini, Golkar masih sibuk mengawal Pilkada 2020. Golkar juga masih fokus mengawal agenda-agenda pemerintah.
”Kami belum sampai membicarakan itu (capres 2024). Pilpres masih lama,” katanya.
Adapun Partai Nasdem baru berencana menggelar konvensi capres dua tahun sebelum Pilpres 2024 atau tahun 2022.
Politisi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, konvensi merupakan mekanisme melahirkan calon pemimpin dari putra-putri terbaik bangsa.
Oleh karena itu, prosesnya dilakukan jauh-jauh hari dengan transparan dan akuntabel. Dari seleksi melalui konvensi itu, publik diharapkan dapat memilah dan memilih calon terbaik dari rekam jejak dan kapabilitasnya.
Jadi, apakah Giring akan berhasil menciptakan efek kejut untuk meningkatkan elektabilitas PSI? Waktu akan menjawabnya. Paling tidak, langkah dini pencapresan Giring oleh PSI telah menghadirkan efek kejut dalam tradisi pencalonan pemilu oleh partai politik.