Aparat Penegak Hukum Tidak Perlu Tunda Proses Hukum karena Pilkada
Proses hukum terhadap calon kepala daerah selama tahapan pilkada akan ditunda oleh Kepolisian Negara RI. Ini untuk menghindari kesan tidak netral aparat. Sementara proses hukum di KPK tak terpengaruh oleh pilkada.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat penegak hukum tidak perlu menunda proses hukum yang melibatkan calon kepala daerah karena adanya Pilkada 2020. Meskipun demikian, mereka tetap harus hati-hati apabila ada pelaporan terhadap seseorang yang akan maju dalam pencalonan. Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara RI mengambil sikap yang berbeda dalam memproses perkara yang melibatkan calon kepala daerah. KPK memilih untuk terus menjalankan proses hukum, termasuk yang melibatkan calon kepala daerah, sedangkan Polri menundanya hingga pilkada usai.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, Senin (7/9/2020), mengatakan, KPK tidak akan menunda proses hukum, termasuk terhadap perkara yang diduga melibatkan calon kepala daerah.
KPK tidak akan menunda proses hukum, termasuk terhadap perkara yang diduga melibatkan calon kepala daerah.
Calon kepala daerah yang tetap akan diproses adalah Wakil Bupati Ogan Komering Ulu (OKU) Johan Anuar. Johan diduga melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait kasus pengadaan lahan untuk tempat pemakaman umum (TPU) di Baturaja, Kabupaten OKU, Sumatera Selatan, pada 2012.
Johan kembali maju di Pilkada 2020 sebagai calon wakil bupati OKU. Ia mendampingi Bupati Kuryana Azis. Keduanya merupakan petahana dan akan melawan kotak kosong.
”Proses hukum di KPK tidak akan terpengaruh oleh proses politik karena proses hukum di KPK sangat ketat, syarat, serta prosedur penetapan tersangka, penahanan, dan seterusnya melalui proses yang terukur berdasarkan kecukupan alat bukti dan hukum acara yang berlaku,” kata Ali.
KPK juga mendorong masyarakat agar selektif menentukan pilihan calon kepala daerah. Beberapa program pencegahan korupsi terkait pilkada sudah disiapkan, di antaranya pembekalan untuk calon kepala daerah, penyelenggara, dan edukasi untuk pemilih.
Keputusan berbeda dipilih Polri. Mereka menunda proses hukum yang melibatkan calon kepala daerah saat Pilkada 2020 berlangsung untuk menjaga netralitas. Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz telah menerbitkan surat telegram rahasia untuk mewujudkan profesionalisme dan menjaga netralitas anggota Polri saat pelaksanaan Pilkada 2020.
Surat telegram bernomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 per tanggal 31 Agustus 2020 mengatur soal netralitas dan profesionalisme pelaksanaan pelayanan masyarakat, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghindari konflik kepentingan dan pemanfaatan kepentingan politik oleh kelompok tertentu.
Seluruh jajaran Polri diminta tidak melakukan pemanggilan ataupun upaya hukum lain yang mengarah ke persepsi publik bahwa Polri mendukung salah satu peserta pilkada. Penundaan dilakukan demi menjaga profesional dan netralitas seluruh anggota Polri selama pelaksanaan Pilkada 2020.
Mereka menunda proses hukum, baik penyelidikan maupun penyidikan, terhadap seluruh calon kepala darah yang diduga terjerat kasus pidana.
”Paslon (pasangan calon) yang sedang bermasalah hukum kalau polisi lakukan pemeriksaan bisa dituduh tidak netral. Itu yang kami hindari,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono.
Seluruh jajaran Polri diminta untuk tidak melakukan pemanggilan ataupun upaya hukum lain yang mengarah ke persepsi publik bahwa Polri mendukung salah satu peserta pilkada.
Adapun proses hukum yang diduga melibatkan peserta pilkada akan dilanjutkan kembali setelah tahapan pilkada berakhir. Idham menegaskan, apabila ada anggota atau penyidik yang melanggar hal tersebut, sanksi dengan diproses secara disiplin ataupun kode etik akan diberikan.
Akan tetapi, aturan penundaan tersebut tidak akan berlaku kepada peserta pilkada yang diduga melakukan tindak pidana pemilihan, tertangkap tangan, mengancam keamanan negara, dan mereka yang terancam hukuman seumur hidup serta mati.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk mematuhi dan melaksanakan surat telegram rahasia tersebut. Menurut Listyo, penundaan proses hukum kepada calon kepala daerah untuk menghindari adanya persepsi Polri dijadikan alat politik oleh kelompok tertentu dalam pelaksanaan pilkada.
Penegak hukum, baik Polri maupun KPK, tidak boleh terpengaruh dengan proses pilkada yang sedang berjalan. Karena itu, aparat penegak hukum tidak perlu menunda proses hukum.
Tidak perlu tunda
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, penegak hukum, baik Polri maupun KPK, tidak boleh terpengaruh dengan proses pilkada yang sedang berjalan. Karena itu, aparat penegak hukum tidak perlu menunda proses hukum.
Meskipun demikian, kedua lembaga ini juga harus berhati-hati apabila ada pelaporan atas seseorang yang akan maju dalam pencalonan.
”Jangan sampai pelaporan dengan maksud mendiskreditkan atau demarketing seseorang diproses juga. Penegak hukum harus profesional, jaga netralitas, imparsial, obyektif, dan menjaga integritas,” kata Topo.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, mengungkapkan, penundaan proses hukum pernah dilakukan dalam pilkada sebelumnya. Menurut Reza, jika aparat penegak hukum bekerja secara profesional, seharusnya tidak perlu ada penundaan. Sebab, penegakan hukum pidana berjalan berdasarkan bukti.
”Kalau menunggu proses pilkada selesai, justru indikasinya bisa ke arah memperlambat proses hukum. Bahkan, dalam konteks tertentu, ini bisa saja dicurigai sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum,” kata Reza.
Reza menegaskan, penundaan ini justru bernuansa politis. Ia menduga kesempatan penundaan bisa digunakan oleh siapa pun untuk menghilangkan alat bukti yang pada akhirnya mengamputasi proses hukum.