Mendagri Gugah Kepala Daerah agar Miliki Rasa Krisis
Dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menggugah kepala daerah untuk memiliki rasa krisis. Dengan demikian, penanganan pandemi dan dampak-dampak yang ditimbulkannya lebih cepat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sering kali kebijakan penanganan pandemi Covid-19 antara pusat dan daerah tidak sinkron. Ini dianggap akibat dari otonomi daerah. Untuk meluruhkan ego sektoral, setiap kepala daerah diharapkan memiliki perasaan krisis, terutama saat ini ketika dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19. Pelibatan aparatur pengawas internal pemerintah juga menjadi kunci penerapan kebijakan yang cepat, tepat, dan akuntabel.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat koordinasi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional, Kamis (3/9/2020), di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, mengatakan, di negara yang menganut desentralisasi seperti Indonesia, penerapan kebijakan yang selaras dari pusat ke daerah bukan hal mudah.
Sebab, setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari aspek demografi hingga sosial dan budaya.
Bahkan, lanjut Tito, eksekusi kebijakan di daerah pun bisa terbelah antara tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Gubernur belum tentu bisa mengendalikan bupati atau wali kota.
Meski demikian, menurut Tito, itu semua sebenarnya bisa diatasi jika di tengah pandemi Covid-19 saat ini, tumbuh rasa krisis yang sama di antara semua pemda. Kemudian, setiap kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah harus sinkron dengan pusat.
”Tolong, mesin-mesin pemda bergerak paralel dengan mesin pemerintah pusat karena mesinnya terbagi menjadi tiga: pusat, daerah tingkat satu, dan daerah tingkat dua. Kita bisa menangani pandemi ini kalau tiga mesin ini bergerak paralel,” ujar Tito.
Dalam kesempatan itu, Mendagri bersama Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh menandatangani nota kesepahaman tentang koordinasi, tugas pokok, dan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Rapat dihadiri secara virtual oleh seluruh inspektur di instansi pemerintahan pusat dan daerah, serta kepala perwakilan BPKP di semua provinsi di Indonesia.
Tito menyebut, semua pihak harus ikut ambil peran dalam penanganan pandemi, mulai dari presiden, para menteri, hingga kepala daerah.
Jika presiden dan para menteri serius menangani wabah ini, setidaknya itu turut menyumbang kekuatan 50 persen. Sementara 50 persen lagi ada di tangan pemerintah daerah.
”Jadi, kalau seandainya kebijakan pemerintah pusat tidak didukung oleh daerah, mulai dari kebijakan penanganan Covid-19 hingga sosialisasi protokol kesehatan, penanganan Covid-19 kita bisa jadi tidak maksimal. Itu tantangan kita,” ucap Tito.
Masalah penyaluran bansos
Sebelumnya, persoalan sinergisitas antara pusat dan daerah ini, salah satunya, dikritik oleh Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng. Ia melihat sering kali terjadi disharmoni regulasi yang membuat aparatur birokrasi bingung.
Robert mencontohkan kebingungan yang dihadapi pemerintah desa setelah terbit Surat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor S.2294/ HM.01.03/VIII/2020 tanggal 4 Agustus 2020 tentang gerakan 500 juta masker.
”Ini problem banget. Di desa, sebagian besar dana desa sudah terpakai untuk hal-hal lain, entah itu BLT (bantuan langsung tunai) atau pelaksanaan program di desa. Nah, sekarang, Mendes keluarkan surat edaran yang sifatnya wajib, lalu dananya dari mana?” tuturnya.
Persoalan koordinasi di antara instansi pemerintah, menurut Robert, juga masih mengemuka. Salah satunya terlihat dalam penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Akibat dari persoalan itu, masih banyak terjadi salah sasaran dalam pemberian bantuan.
”Membangun basis data yang solid dan sama dari pusat hingga daerah masih jadi pekerjaan rumah yang besar,” ujarnya.
Persoalan data itu juga disoroti oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati. Ia menyampaikan, ada sejumlah persoalan data saat ini, meliputi data duplikasi dan data fiktif. Permasalahan tersebut disebabkan oleh kelambanan daerah dalam mendata ulang penduduknya.
”Data tidak diperbarui sehingga membuat masalah dalam penyaluran bansos dan risiko fraud (kecurangan) dalam penyaluran bansos,” ujar Sumiyati.
Oleh karena itu, lanjut Sumiyati, aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) harus mampu mengawasi kebijakan penyaluran bansos mulai dari perencanaan hingga eksekusi di lapangan.
”Jadi, bukan pada saat penyusunan laporan keuangan pada bulan Januari (2021) nanti mulai mencari-cari kesalahan. Tetapi, tugas APIP, mengawal sejak perencanaan program, end to end, sampai pertanggungjawaban,” tuturnya.
Asistensi APIP
Tito sependapat bahwa pola pikir APIP di masa krisis seperti saat ini harus diubah. Pengawas internal pemerintah bukan malah mencari-cari kesalahan, melainkan ikut menyaring perencanaan kebijakan sejak awal agar tak terjadi penyimpangan.
”Prinsip mencari-cari kesalahan ini kadang kontraproduktif karena akan menimbulkan ketakutan yang berlebihan dari pengelola anggaran, pembuat kebijakan, yang akhirnya menghambat penyelesaian masalah, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 ini,” ucap Tito.
Menurut Tito, kesalahan lebih baik ditemukan sedari awal oleh APIP dibanding oleh pengawas eksternal, apalagi aparat penegak hukum. Dengan begitu, ukuran keberhasilan APIP selaku pengawas internal pemerintah bukan dihitung dari banyaknya temuan penyimpangan, melainkan makin sedikitnya temuan penyimpangan karena telah dicegah oleh APIP sejak dini.
”Kalau pengawas eksternal yang menemukan (kesalahan), sudah lebih susah menyelesaikannya. Apalagi sudah sampai aparat penegak hukum, lebih susah lagi. Jadi lebih baik APIP duluan karena APIP masih memberi kelonggaran untuk memperbaiki dan untuk berdiskusi, toleransi, dan lain-lain,” ucapnya.
Muhammad Yusuf Ateh pun mengingatkan agar APIP ikut mengawasi penggunaan dana yang telah direalokasi pemda untuk penanganan Covid-19. Ia melihat di beberapa daerah dana tersebut belum terserap secara optimal.
”Dari pemantauan kami, tak semua daerah memiliki kecepatan yang sama dalam realisasi belanja dari realokasi anggaran penanganan Covid-19,” kata Ateh.
Di tengah kedaruratan akibat pandemi Covid-19, menurut Ateh, APIP perlu gesit, tangkas, dan memiliki rasa krisis (sense of crisis) sehingga kegiatan pengawasan dapat dilaksanakan dengan cepat tanpa mengorbankan kualitas pengawasan. Di dalam pengawasan pun, lanjutnya, APIP perlu menitikberatkan kecepatan penanganan Covid-19.
”Jangan sampai kegiatan pengawasan dianggap menghambat atau mengganggu proses penanganan yang dilakukan. Kita harus cepat. Yang kita perlukan, membangun sense of crisis agar bisa bekerja lebih baik, lebih cepat, dan lebih dari biasanya,” ujar Ateh.
Ia menegaskan, pengawasan harus mengutamakan pencegahan kebocoran uang negara. Oleh karena itu, APIP perlu terjun mulai dari perencanaan dan terus mengawal pelaksanaan kebijakan penanganan Covid-19. ”Sebab, jika uang sudah bocor, manfaat dapat dipastikan tidak akan bisa sampai ke masyarakat dan pelaksanaan penanganan Covid-19 terhambat,” tambahnya.