Pilkada 2020 yang diselenggarakan di tengah pandemi Covid-19 berpotensi memunculkan banyak calon tunggal. Sebanyak 36 calon tunggal dari kabupaten dan enam kota diperkirakan bakal muncul, sementara di provinsi tak ada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi kemunculan calon tunggal dalam Pilkada 2020 semakin meningkat di masa pandemi Covid-19. Sebanyak 36 calon tunggal dari kabupaten dan enam kota diperkirakan bakal muncul. Sementara dari provinsi, tidak akan ada calon tunggal yang nantinya akan melawan kotak kosong.
Menurut kajian Perludem, ada potensi 36 calon tunggal, yaitu dari 30 kabupaten dan 6 kota. Ini menunjukkan bahwa harus ada perbaikan dari sisi regulasi maupun dari sisi parpol politik sebagai aktor utama demokrasi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati saat dihubungi, Rabu (2/9/2020), mengatakan, dari hasil pendataan Perludem diprediksi akan ada banyak calon tunggal melawan kotak kosong dari kabupaten dan kota. Sementara untuk pemilihan gubernur, kemungkinan tidak akan ada calon tunggal.
Dari hasil pendataan Perludem diprediksi akan ada banyak calon tunggal melawan kotak kosong dari kabupaten dan kota. Sementara untuk pemilihan gubernur, kemungkinan tidak akan ada calon tunggal.
Pilkada serentak 2020 akan dilaksanakan di 270 daerah, yaitu 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Potensi kemunculan calon tunggal itu di antaranya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Ogan Komering Ulu, OKU Selatan, Bengkulu Utara, Kebumen, Boyolali, Wonosobo, Wonogiri, Sragen, Pemalang, Grobogan, Ngawi, Blitar, dan Kediri.
Selain itu, juga di Pacitan, Banyuwangi, Pandeglang, Badung, Sumbawa Barat, Kutai Kartanegara, Gowa, Soppeng, Buru Selatan, Pegunungan Bintang, Asmat, Yahukimo, Manokwari, Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Manokwari Selatan.
Adapun, potensi calon tunggal yang muncul dari wilayah kota adalah Kota Gunung Sitoli, Pematang Siantar, Pekalongan, Semarang, Magelang, dan Balikpapan.
”Fenomena munculnya calon tunggal ini karena syarat untuk mencalonkan kepala daerah memang sulit. Baik dari jalur perseorangan maupun jalur partai politik,” ujar Khoirunnisa.
Catatan Kompas, jumlah pasangan calon tunggal ini terus naik dalam perhelatan pilkada serentak. Pada pilkada serentak 2015 hanya ada tiga pasangan calon tunggal. Kemudian, jumlahnya meningkat pada pilkada serentak 2017 menjadi tiga kali lipat, yaitu sembilan pasangan calon. Jumlah itu terus meningkat di pilkada serentak 2018 dengan jumlah hampir dua kali lipat dari Pilkada 2017. Di Pilkada 2018 yang digelar di 171 daerah, ada 16 daerah dengan pasangan calon tunggal.
Dari jalur partai, Khoirunnisa menilai bahwa syarat pengumpulan dukungan melalui ambang batas parlemen 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu berikutnya sangat berat. Dengan demikian, sedikit partai yang bisa melampaui batas tersebut. Parpol harus berkoalisi dan tidak jarang akhirnya semua parpol berbondong-bondong mencalonkan satu pasangan calon. Selain karena pragmatism politik, ada kemungkinan parpol tidak dapat mencalonkan kandidat karena kurangnya syarat minimal dukungan.
”Melihat fenomena ini, Perludem mengusulkan agar tidak perlu ada syarat minimal dukungan itu. Sehingga setiap parpol memiliki peluang untuk mengusung paslon dan publik punya alternatif pilihan,” kata Khoirunnisa.
Dibandingkan dengan syarat ambang batas parlemen atau jumlah kursi di DPRD, Perludem mengusulkan agar ada alternative syarat agar parpol lebih serius mengusung paslon. Misalnya, adalah dengan adanya syarat deposit sejumlah uang yang disimpan untuk keperluan pilkada.
Pragmatisme politik
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menilai meningkatnya calon tunggal dalam pilkada serentak disebabkan oleh banyak hal. Pertama, calon petahana memiliki prestasi yang sangat baik sehingga sulit mencari pesaing yang andal.
Hasto mengklaim hal itu terjadi di Kota Semarang, di mana calon petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (Hendi-Ita), akan melawan kotak kosong. Hendi-Ita didukung sembilan partai pemilik seluruh kursi parlemen, yaitu PDI-P, Golkar, PKB, Demokrat, PKS, Gerindra, PAN, Nasdem, dan PSI. Bahkan, lima partai nonparlemen DPRD Kota Semarang juga menyatakan dukungan kepada Hendi-Ita, yaitu PKPI, Hanura, Partai Berkarya, PBB, dan PPP.
Selain itu, Hasto juga menilai bahwa pelaksanaan pilkada di masa pandemi juga berdampak pada kecenderungan menguatnya calon petahana. Sebab, ruang gerak dalam melakukan mobilisasi massa untuk kampanye terbatas.
”Di daerah di mana PDI-P bisa maju sendiri, pilkada kami jadikan sebagai momentum konsolidasi, menggunakan hak konstitusional dengan sebaik-baiknya dengan mencalonkan. Namun, di daerah di mana PDI-P lemah, kami sering dihadapkan pada bejana berhubungan politik sehingga harus melihat secara realistis terhadap peta politik di daerah apakah tetap memajukan kader sendiri atau dari luar parpol,” kata Hasto.
Hasto juga menampik jika aturan ambang batas parlemen sebagai syarat pencalonan dari parpol memberatkan. Menurut dia, di era multipartai yang kompleks, diperlukan langkah konsolidasi demokrasi agar pemerintahan negara menjadi efektif. Hanya partai yang memenuhi syarat yang dapat mengusung calon tertentu. Jika tanpa ambang batas parlemen, justru tidak sesuai dengan agenda konsolidasi demokrasi.
Di daerah di mana PDI-P bisa maju sendiri, pilkada kami jadikan sebagai momentum konsolidasi, menggunakan hak konstitusional dengan sebaik-baiknya dengan mencalonkan. Namun, di daerah di mana PDI-P lemah, kami sering dihadapkan pada bejana berhubungan politik sehingga harus melihat secara realistis terhadap peta politik di daerah apakah tetap memajukan kader sendiri atau dari luar parpol.
”Atas dasar itu, maka partai harus bekerja keras memenangkan rakyat sehingga dipilih dalam pemilu. Dan, ambang batas parlemen ini tetap penting untuk menjaga agenda konsolidasi demokrasi,” terang Hasto.
Sementara itu, komisioner KPU, Hasyim Asyari, menilai meningkatnya calon tunggal dalam kontestasi pilkada tidak selalu dipengaruhi masalah regulasi. Menurut dia, kemunculan calon tunggal melawan kotak kosong justru karena ada faktor psikologis politik, di mana parpol selalu berorientasi pada kemenangan. Masih sedikit parpol yang berorientasi pada fungsi lain, yaitu kaderisasi dan regenerasi politik.
”Tidak hanya regulasi yang harus diubah, tetapi juga bagaimana paradigma parpol supaya tidak hanya pragmatis terhadap kemenangan dalam pilkada. Mereka juga harus melakukan fungsi kaderisasi dan rekrutmen agar fungsi mereka sebagai aktor utama pengisian jabatan pemerintah dapat dijalankan,” kata Hasyim.