Penyidik Kejaksaan Agung bakal menjerat Jaksa Pinangki dengan pasal pencucian uang. Secara terpisah, LPSK menolak permohonan perlindungan yang diajukan oleh Anita Kolopaking.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain tindak pidana korupsi, pasal tindak pidana pencucian uang perlu disangkakan kepada tersangka Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terlibat dalam perkara Joko Tjandra. Dengan demikian, penyitaan aset atau harta dari hasil korupsi dapat dimaksimalkan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan yang juga pakar pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, ketika dihubungi Kompas, Selasa (1/9/2020), mengatakan, adanya penyitaan terhadap beberapa aset dalam kasus Pinangki oleh penyidik Kejaksaan Agung mengindikasikan bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana pencucian uang di kasus itu. Sebab, sering kali tindak pidana pencucian uang mengiringi pidana korupsi.
”Korupsi itu bukan harus dari uang negara, tetapi termasuk ketika penegak hukum atau aparatur sipil negara atau penyelenggara negara menerima sesuatu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,” kata Yenti.
Menurut dia, dugaan adanya perjalanan dan pertemuan antara Jaksa Pinangki dengan Joko Tjandra untuk membicarakan dan mengakomodasi keinginan Joko Tjandra agar Pinangki membereskan persoalan hukum yang membelitnya dalam kasus Bank Bali tahun 2009 mengindikasikan adanya aliran uang di situ. Demikian pula ketika penyidik melakukan penggeledahan serta penyitaan mobil milik Pinangki, hal itu mengindikasikan dugaan penggunaan uang untuk keperluan lain.
Oleh karena itu, lanjut Yenti, penyidik diharapkan segera menyidik tindak pidana pencucian uang pada kasus tersebut sesuai amanat Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian, perampasan harta akan lebih maksimal.
Di sisi lain, menurut dia, rasa keadilan masyarakat juga terusik dengan kasus yang melibatkan oknum jaksa tersebut. Hal itu muncul dalam bentuk kekhawatiran dan persepsi negatif terhadap penanganan di kejaksaan.
Demi menjaga kepercayaan publik, Yenti berharap agar penanganan kasus yang melibatkan penegak hukum tersebut dapat ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
”Mohon agar jangan meremehkan pemikiran masyarakat karena masyarakat mengetahui juga. Dan tidak usah berpikir ego sektoral karena semua demi penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, mengatakan, penyidik dipastikan akan menjerat tersangka Jaksa Pinangki dengan pasal pidana tindak pidana pencucian uang.
”(Pasal) TPPU, ya, melekat. Melekat karena dia juga kami sangkakan menerima, tentunya dari penerimaan itu kami telusuri bagaimana uang itu. Jadi, TPPU sudah kami kenakan,” kata Febrie.
Menurut dia, penyidik masih terus mengembangkan kasus dengan tersangka Jaksa Pinangki dan Joko Tjandra itu. Sampai saat ini, fakta hukum yang ditemukan adalah Jaksa Pinangki menawarkan penyelesaian kepada Joko Tjandra untuk penerbitan fatwa dari Mahkamah Agung meskipun hal itu tidak ada kaitan dengan tugas keseharian Jaksa Pinangki.
Sementara, lanjut Febrie, penyidik telah menggeledah empat lokasi yang diduga terkait dengan kasus itu, antara lain dua apartemen dan sebuah tempat dealer mobil.
Adapun pada Selasa (1/9/2020), penyidik memeriksa lima saksi terkait kasus tersebut. Kelima orang itu adalah mantan pengacara terpidana Joko Tjandra, Manajer BMW Sales Operation Cilandak, pengelola Apartemen Essence Darmawangsa, pengelola Apartemen Pakubuwono Signature, dan sopir tersangka Jaksa Pinangki.
Permohonan ditolak
Secara terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menolak permohonan perlindungan dari Anita Kolopaking, bekas pengacara Joko Tjandra. Permohonan perlindungan tersebut dinilai tidak memenuhi persyaratan, yakni status yang bersangkutan saat ini adalah sebagai tersangka.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo dalam keterangan tertulis mengatakan, keputusan untuk menolak permohonan perlindungan yang diajukan Anita Kolopaking diambil melalui rapat paripurna pimpinan LPSK. LPSK berpendapat, permohonan perlindungan yang diajukan Anita Kolopaking tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
”Sehingga LPSK beranggapan, tidak ada dasar untuk memberikan perlindungan kepadanya. Selain itu, masih terdapat informasi atau data lain yang tidak sepenuhnya disampaikan Anita Kolopaking kepada LPSK,” kata Hasto.
LPSK menerima surat permohonan perlindungan tertanggal 29 Juli 2020 dari Anita Kolopaking yang mengacu status hukumnya sebagai saksi pada perkara yang menyeret pula Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dalam kasus dugaan pembuatan dan penggunaan surat jalan palsu untuk Joko Tjandra.
Hasto mengatakan, sebelum memutuskan menolak permohonan tersebut, LPSK telah berkoordinasi dengan sejumlah pihak, termasuk kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Tuntutan profesional
Selain itu, LPSK meminta kepolisian dan Kejagung untuk bertindak profesional dan proporsional dalam menangani kasus terkait Joko Tjandra.
Menurut Hasto, meskipun saat ini pihaknya menolak permohonan perlindungan Anita Kolopaking, terdapat kemungkinan ke depan Anita akan dapat menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana yang sama (justice collaborator). Hal itu penting karena kasus terkait Joko Tjandra tampak secara nyata melibatkan banyak pihak yang memiliki posisi di institusi penegak hukum.
”Kami telah memberikan gambaran kepada AK (Anita Kolopaking) mengenai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus dan pelaku lain yang memiliki kedudukan atau peran yang lebih besar,” ujarnya.