Cepatnya pembahasan, minimnya partisipasi publik, dan ketiadaan transparansi membuat sejumlah pihak menilai RUU MK merupakan bentuk pembalikan semangat reformasi. RUU juga dinilai bentuk pelemahan simbol reformasi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah akan mengambil keputusan pembicaraan tingkat pertama mengenai Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Senin (31/8/2020) ini. Pendapat akhir mini fraksi-fraksi di DPR dan sikap pemerintah akan menentukan apakah RUU tersebut akan disahkan dalam Rapat Paripurna, Selasa (1/9/2020), atau tidak.
Sesuai dengan jadwal dari Kesekretariatan Jenderal DPR, keputusan pembicaraan tingkat pertama RUU MK akan dilakukan pada Senin sore pukul 17.00. Ada enam agenda yang akan dilakukan dalam pengambilan keputusan itu, yakni pengantar pimpinan Komisi III DPR, laporan pimpinan Panja RUU MK, pembacaan naskah RUU MK, pendapat akhir mini fraksi dan pemerintah, penandatanganan naskah RUU MK, dan pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada pembicaraan tingkat kedua atau rapat paripurna.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery membenarkan adanya rencana pengambilan keputusan pembicaraan tingkat pertama tentang RUU MK. Untuk pengambilan keputusan kali ini, Herman menjanjikan rapat itu akan terbuka untuk umum.
Ia pun mengatakan, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dalam rapat pengambilan keputusan tersebut, termasuk perubahan substansi yang disepakati antara DPR dan pemerintah terkait dengan RUU MK. ”Semua kemungkinan bisa saja, dinamika rapat cukup cair dan profesional,” katanya.
Pada rapat panja terakhir, Jumat lalu, sejumlah hal telah disepakati antara DPR dan pemerintah. Pembentuk UU menyepakati usia minimal hakim MK 55 tahun, dari yang sebelumnya diusulkan 60 tahun oleh DPR. Di dalam aturan peralihan RUU MK juga disepakati hakim MK pensiun sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Ketentuan ini disepakati retroaktif, yakni berlaku pada hakim yang sekarang menjabat.
Pemerintah dan DPR juga sepakat menambah anggota Mahkamah Kehormatan MK dari unsur akademisi. Sebelumnya, DPR mengusulkan anggota Mahkamah Kehormatan MK hanya dari unsur hakim konstitusi dan Komisi Yudisial (KY). Selain itu, rapat panja juga menyepakati masa jabatan pimpinan MK selama lima tahun, dari yang sebelumnya 2 tahun 6 bulan (Kompas, 31/8/2020).
Dengan pengambilan keputusan tingkat pertama, sore nanti, selangkah lagi RUU MK akan menjadi UU MK yang baru. Jika disetujui di tingkat pertama, pengambilan keputusan tingkat kedua atau persetujuan pengesahan RUU MK menjadi UU MK, di Rapat Paripurna DPR, menurut rencana, digelar pada Selasa (1/9/2020).
Sejak awal, Komisi III DPR menghendaki pembahasan cepat RUU MK. Kemauan DPR ini pun diikuti dan diapresiasi oleh pemerintah. Sejumlah dugaan pun menyeruak terkait dengan pembahasan yang cepat ini karena revisi UU MK terkesan terburu-buru.
Sejak pertama kali rapat dilakukan Komisi III DPR dan pemerintah, Senin pekan lalu, pembahasan RUU MK berlangsung cepat. RUU MK bahkan dibahas hampir setiap hari. Mayoritas rapat digelar tertutup.
Abaikan nilai reformasi
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengatakan, apa yang terjadi dalam revisi UU MK ini mencerminkan pembalikan semangat reformasi atau counter reform yang terjadi di Tanah Air.
Upaya melawan arus reformasi ini bukan hanya terlihat dari pembentukan RUU MK, tetapi juga dalam pembentukan UU KPK yang baru, tahun 2019. Pembahasan yang cepat, kurang transparan, dan minimnya pelibatan publik menjadi salah satu ciri dari upaya counter reform guna meredam protes luas dari publik.
”Gejala counter reform ini ditandai dengan keinginan untuk melawan arus reformasi, tetapi dengan cara-cara demokratis. Para oligark partai politik berusaha memuluskan keinginannya ’melawan’ reformasi ini menggunakan prosedur demokrasi, misalnya dengan membuat UU,” katanya.
Gejala ini merugikan demokratisasi karena demokrasi telah dibajak oleh para oligark parpol yang menginginkan otoritarianisme kembali bercokol, atau setidaknya keinginan mereka dapat terpenuhi tanpa ganjalan.
Upaya counter reform ini sulit untuk dilihat dengan kasatmata karena tidak dilakukan melalui pembubaran lembaga dan simbol-simbol demokrasi. Namun, upaya pelemahan terhadap demokrasi itu terus dilakukan.
”Demokrasi kita ibarat rumah besar yang nampak kokoh di luar, tetapi sebenarnya pilar-pilarnya rapuh dimakan rayap. Tinggal menunggu angin besar saja, maka demokrasi kita rentan roboh,” kata Syarif.
KPK dan MK yang selama ini merupakan simbol dari reformasi, menurut Syarif, jika langsung dibubarkan akan mengundang protes besar dari publik. Namun, sekalipun tidak dibubarkan, mereka dapat dilemahkan secara demokratis, yakni melalui pengaturan UU. ”Semua proses seolah demokratis, tetapi subtansinya antidemokrasi,” ujarnya.
Terkait dengan substansi RUU MK, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengingatkan, UU yang baru tidak boleh merugikan hakim MK yang saat ini menjabat. Hal itu sudah merupakan prinsip dalam pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan, setiap UU yang baru tidak boleh merugikan pihak-pihak terkait.
Oleh karenanya, menurut Jimly, aturan usia hakim minimal 55 tahun dan pensiun 70 tahun harusnya tidak diterapkan pada hakim yang saat ini menjabat. Ketentuan itu seharusnya diberlakukan bagi hakim selanjutnya.
”Hal itu perlu untuk menghindarkan konflik kepentingan pada hakim konstitusi yang saat ini menjabat. Selain itu, aturan yang baru juga tidak boleh merugikan hakim yang saat ini menjabat,” katanya.
Selain itu, masa jabatan 15 tahun pun dipandang terlalu lama. Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, masa jabatan yang lama itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan bila tidak disertai dengan mekanisme evaluasi yang jelas. Apalagi, saat ini di dalam draf RUU MK dan kesepakatan antara pemerintah dan DPR di dalam panja belum mengakomodasi mekanisme evaluasi bagi kinerja hakim MK.