Di atas panggung pemerintahan, persoalan tata kelola berulang dipertontonkan. Dari mulai kebijakan salah kamar hingga kebijakan yang inkonsisten. Tak hanya membingungkan, hal itu juga berdampak pada pencapaian target
Oleh
FX Agung Laksana AS
·4 menit baca
Setidaknya terdapat tiga kluster persoalan tata kelola yang terus berulang. Ketiganya ialah kebijakan salah kamar dan kerancuan organisasi, kebijakan antarkementerian yang tak sinkron, dan kebijakan yang inkonsisten. Ketiga kluster persoalan tata kelola tersebut marak pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, alih-alih selesai tertangani di periode pertama, persoalan berulang di awal periode kedua pemerintahannya.
Persoalan paling mutakhir terlihat dalam proyek food estate atau lumbung pangan nasional dan Kartu Prakerja. Keduanya termasuk kluster persoalan kebijakan salah kamar.
Untuk Kartu Prakerja, Presiden menunjuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai pemimpin proyek. Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajiannya merekomendasikan proyek senilai Rp 20 triliun itu diserahkan ke Kementerian Ketenagakerjaan sebagai kementerian teknis yang memiliki kompetensi ataupun infrastruktur untuk menjalankan program.
Ketiganya ialah kebijakan salah kamar dan kerancuan organisasi, kebijakan antarkementerian yang tak sinkron, dan kebijakan yang inkonsisten.
Namun, alih-alih belajar dari pengalaman tersebut, Presiden dalam proyek lumbung pangan justru lagi-lagi mengulang kebijakan salah kamar. Lumbung pangan adalah proyek pertanian korporasi dengan target lahan mencapai 165.000 hektar di Kabupaten Pulau Pulang Pisang dan Kapuas, Kalimantan Tengah. Untuk urusan itu, Presiden bukannya menunjuk Kementerian Pertanian sebagai pemimpin proyek, melainkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Alasan Presiden yang disampaikan pertengahan Juli lalu, bidang pertahanan tidak hanya sebatas urusan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
”Yang namanya pertahanan itu bukan hanya urusan alutsista, tetapi juga ketahanan di bidang pangan menjadi salah satu bagian dari itu,” kata Presiden.
Padahal, Kementerian Pertahanan (Kemhan) punya tugas dan fungsinya sendiri yang berat. Direktur Imparsial Al Araf menyatakan, penunjukan Kemhan untuk memimpin pengelolaan lumbung pangan akan mengganggu upaya membangun profesionalisme militer sebagai tugas pokok Kemhan. Lebih lanjut, militer rawan kembali terjebak dalam dinamika bisnis seperti terjadi di era Orde Baru.
Persoalan kerancuan organisasi salah satunya terlihat dari adanya dua kementerian koordinator yang urusannya saling silang.
Adapun persoalan kerancuan organisasi salah satunya terlihat dari adanya dua kementerian koordinator yang urusannya saling silang. Kementerian dimaksud, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Portofolio ini menyebabkan substansi tugas dan urusan sejumlah kementerian teknis di bidang ekonomi berada di bawah dua kementerian koordinator tersebut sekaligus.
Tak sinkron
Kluster persoalan tata kelola berikutnya adalah tak sinkronnya kebijakan antarkementerian. Banyak contohnya. Sebut saja, misalnya, kebijakan impor garam. Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi punya posisinya sendiri-sendiri.
KKP selalu dalam posisi bahwa garam rakyat melimpah sehingga bisa memasok kebutuhan industri nasional. Kemenperin dalam posisi minta impor dengan alasan kualitas garam rakyat tidak layak untuk industri. Kemendag selanjutnya mengeluarkan izin impor dengan kuota yang disepakati. Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi punya target swasembada garam versinya sendiri. Ketidaksinkronan tersebut bukan hal sepele karena petani garam yang dirugikan.
Inkonsistensi kebijakan
Kluster persoalan tata kelola yang terakhir adalah inkonsistensi kebijakan. Padahal, inkonsistensi kebijakan sebagai nama lain dari nihilnya kepastian hukum adalah momok terbesar para investor. Tidak heran jika kemudian Vietnam dan Thailand menjadi magnet investasi yang lebih kuat di Asia Tenggara ketimbang Indonesia selama satu dekade terakhir.
Kluster persoalan tata kelola yang terakhir adalah inkonsistensi kebijakan. Padahal, inkonsistensi kebijakan sebagai nama lain dari nihilnya kepastian hukum adalah momok terbesar para investor.
Contoh gamblang inkonsistensi tersebut adalah kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif listrik. Komitmen awal Presiden di awal periode pertama adalah mengevaluasi harga BBM setiap tiga bulan sekali dengan mempertimbangkan nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dan inflasi. Namun, sejak April 2016 hingga saat ini, harga premium dan solar bersubsidi tak berubah. Sementara tarif listrik tak berubah sejak 2015.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyatakan, popularitas dalam politik adalah segalanya sehingga harga BBM bersubsidi dan tarif listrik tak pernah lagi dievaluasi. Dampaknya, keuangan Pertamina dan PLN tertekan. Utang dua perusahaan pelat merah itu menumpuk hingga akumulasinya mencapai setengah dari total utang BUMN di Indonesia.
Inkonsistensi kebijakan lainnya, misalnya, di sektor kelautan dan perikanan. Dalam hal ini, cerita lama berulang, beda menteri, beda kebijakan.
Kebijakan KKP di era Susi Pudjiastuti, pada periode pertama pemerintahan Jokowi, yang melarang ekspor benih lobster serta penggunaan cantrang dan alat tangkap sejenisnya, berbeda 180 derajat dengan era Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode kedua Presiden Jokowi, yang justru membolehkannya.
Bidang energi tak luput dari inkonsistensi kebijakan. Tarik ulur kebijakan ekspor mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri membingungkan para pemangku kepentingan. Dari semula diperbolehkan diekspor, kemudian dilarang, lalu diperbolehkan lagi.
Jika diteruskan, daftar persoalan tata kelola akan panjang. Padahal, Presiden-Wakil Presiden berikut para menteri sebagai pembantunya adalah tim kerja. Solid saja, sebuah tim kerja tidak serta-merta akan mengatasi tantangan dengan mudah, apalagi jika tim terus memproduksi persoalan.