Aturan Peralihan Bisa Hindarkan RUU MK dari Konflik Kepentingan
Dalam RUU Mahkamah Konstitusi, perpanjangan masa jabatan dan usia minimal hakim konstitusi sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga independensi hakim dari politik. Asalkan, aturan tersebut diberlakukan di masa mendatang.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. RUU tersebut merupakan revisi terhadap UU MK. Salah satu hal yang mendapat banyak sorotan dalam RUU MK adalah soal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Perpanjangan masa jabatan dan usia minimal hakim konstitusi sebenarnya dibutuhkan untuk menjaga independensi hakim dari ayunan politik. Dengan catatan, aturan tersebut diberlakukan ke depan untuk hakim konstitusi periode selanjutnya. Sebab, jika diterapkan untuk hakim konstitusi sekarang, dapat berpotensi penyalahgunaan wewenang.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva saat dihubungi, Sabtu (29/8/2020), mengatakan, ketika masih menjabat hakim konstitusi, dirinya merupakan salah satu yang mengusulkan agar tidak ada jeda periodisasi. Hakim konstitusi diangkat dan diberhentikan sampai usia pensiun.
Hal tersebut untuk menghindari pengaruh politik dalam masa perpanjangan jabatan hakim konstitusi. Di banyak negara, contohnya Rusia, awalnya hakim konstitusi menjabat selama empat tahun dan maksimal dua periode. Kemudian, aturan itu direvisi dengan mengubah masa jabatan hakim sejak diangkat sampai pensiun. Satu kali masa jabatan hakim konstitusi yang panjang ini juga sudah diterapkan di sejumlah negara.
”Itu adalah salah satu cara untuk menjaga independensi hakim, dan saya setuju dengan ide ini. Hakim konstitusi bekerja untuk negara, jangan sampai terganggu di tengah jalan,” ujar Hamdan.
Itu adalah salah satu cara untuk menjaga independensi hakim, dan saya setuju dengan ide ini. Hakim konstitusi bekerja untuk negara, jangan sampai terganggu di tengah jalan.
Namun, agar tidak ada tudingan bahwa aturan itu dibuat sebagai ”hadiah” atau barter politik, seharusnya dalam RUU disebutkan bahwa aturan berlaku ke depan. Aturan diberlakukan untuk hakim konstitusi periode berikutnya. Hal itu dianggap sebagai jalan yang adil untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga obyektivitas hakim konstitusi.
Kompas/Wawan H Prabowo
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto (tengah) bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (kiri) dan Daniel Yusmic P Foekh memimpin jalannya sidang Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/7/2020). UU No 2/2020 merupakan penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sebelumnya, Panitia Kerja RUU MK di DPR menyepakati poin perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun. Poin lain yang disetujui adalah usulan usia hakim MK minimal 55 tahun. Sebelumnya, DPR menginginkan usia hakim MK minimal 60 tahun. DPR juga mengamini permintaan pemerintah yang mengusulkan agar usia pensiun hakim konstitusi 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tak melebihi 15 tahun (Kompas, 29/8/2020).
Hal senada diungkapkan Ketua MK pertama (2003-2008) Jimly Asshiddiqie. Menurut dia, sistem periodisasi hakim konstitusi sudah saatnya direvisi. Sebab, melihat sejarah pembentukan MK di masa reformasi, periodisasi lima tahunan dulu dirumuskan hanya karena faktor pembahasan UU MK yang mepet. Dampaknya, proses pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi erat dengan dinamika politik lima tahunan. Karena itu, sudah sewajarnya jika aturan periodisasi itu diubah dengan masa jabatan yang panjang dan tidak terpengaruh dengan ayunan politik lima tahunan.
”Sudah saatnya aturan periodisasi itu dievaluasi. Jangan pakai lima tahunan, tetapi masa jabatan yang panjang dan idealnya 10 tahun,” kata Jimly.
Menurut Jimly, batasan usia minimal hakim konstitusi yang pas adalah 60 tahun. Sebab, usia itu adalah usia pensiun bagi aparatur sipil negara. Dengan usia pensiun, diasumsikan hakim konstitusi tidak lagi mengejar jabatan yang lebih tinggi atau mencari kekayaan lebih banyak. Selain itu, kematangan usia diharapkan semakin membentuk sikap kenegarawanan seseorang.
”Selama ini sudah terbukti bahwa impian tentang jabatan yang tinggi dan kekayaan justru merusak integritas dan kualitas kenegarawanan. Karena itu, menurut saya, batas usia 55 tahun masih terlalu muda,” ujar Jimly.
Untuk lamanya masa jabatan, Jimly juga berpandangan idealnya dibatasi 10 tahun, bukan 15 tahun. Masa jabatan 15 tahun dinilai terlalu panjang dan akan menjebak hakim konstitusi dalam zona nyaman. Padahal, dalam praktiknya, hakim konstitusi harus bergerak dinamis sesuai dengan nilai-nilai keadilan konstitusional yang terus tumbuh.
Namun, agar tidak terjadi konflik kepentingan, aturan baru tersebut sebaiknya dipertegas dalam aturan peralihan dan hanya berlaku untuk hakim berikutnya. Sebab, RUU ini dinilai sarat kepentingan karena dianggap memanjakan hakim konstitusi yang sekarang. Akan lebih adil jika aturan tersebut diberlakukan untuk hakim berikutnya agar tidak muncul tudingan negatif yang dapat melunturkan kepercayaan publik terhadap marwah MK sebagai penjaga konstitusi.
FOTO SEKRETARIAT KEPRESIDENAN
Manahan MP Sitompul mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi dari perwakilan Mahkamah Agung dalam upacara pengambilan sumpah jabatan yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/4/2020).
Jaga marwah dan independensi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari berpendapat, apabila poin mengenai usia minimal dan masa jabatan hakim tersebut sudah disetujui Panitia Kerja RUU MK di DPR, satu-satunya cara untuk menghindari konflik kepentingan adalah daya berlakunya tidak boleh untuk saat ini. Aturan harus berlaku ke depan untuk hakim konstitusi periode berikutnya. Masyarakat sipil menilai RUU MK yang dibahas tertutup tersebut sarat kepentingan dan transaksional. Mengapa DPR membahas revisi UU MK yang hanya berfokus pada hal yang menguntungkan hakim. Mengapa tidak bicara tentang kelembagaan MK. Masa jabatan hakim tidak berdampak langsung terhadap publik sebagai pencari keadilan. Jika bicara soal kepentingan pencari keadilan, publik berharap ada penguatan independensi MK. Namun, dengan aturan ini, justru MK semakin terbelenggu dengan kepentingan DPR.
Feri juga mengatakan, anggota DPR periode 2019-2024 yang duduk di parlemen saat ini adalah hasil dari sengketa pemilu yang diputuskan di MK. Muncul anggapan revisi UU MK yang menguntungkan hakim ini bagian dari hadiah selama masa sengketa Pemilu 2019. Di sisi lain, di MK saat ini sedang digelar pemeriksaan undang-undang problematik, di antaranya UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Penetapan Perppu Penanganan Covid-19, dan UU Minerba. Karena itu, sulit melepaskan benturan konflik kepentingan jika aturan tersebut diterapkan untuk hakim konstitusi periode sekarang.
Publik berharap MK menjadi lembaga yang berwibawa dan independen dari kepentingan pemerintah dan DPR. Namun, bagaimana MK bisa bersikap independen jika mereka menerima aturan sebagai ”hadiah” dari DPR?
”Publik berharap MK menjadi lembaga yang berwibawa dan independen dari kepentingan pemerintah dan DPR. Namun, bagaimana MK bisa bersikap independen jika mereka menerima aturan sebagai ’hadiah’ dari DPR?” ujar Feri.
Menurut Feri, secara teoretis perpanjangan masa jabatan hakim memang akan menjauhkan risiko transaksi politik lima tahunan. Ini juga menjadi bagian dari perbaikan independensi hakim dan risiko transaksi politik di DPR. Hakim konstitusi akan lepas dari proses transaksional di DPR karena terikat periodisasi lima tahunan. Namun, sayang, gagasan yang bagus ini dijadikan sebagai keputusan transaksional.
Feri memberikan contoh di Amerika Serikat pernah terjadi senat menaikkan gaji. Publik saat itu protes ada konflik kepentingan karena senat yang berwenang menyusun anggaran menaikkan gajinya sendiri. Akhirnya, dilakukan perubahan konstitusi dan aturan bahwa senat hanya boleh menaikkan gaji untuk senat periode berikutnya. Dengan demikian, mereka terhindar dari asumsi publik tentang konflik kepentingan. Hal itu seharusnya berlaku pula bagi revisi UU MK. Untuk menghindari konflik kepentingan, daya berlaku RUU MK tidak boleh untuk hakim konstitusi yang sekarang.
Kompas/Wawan H Prabowo
Majelis Hakim Konstitusi menggelar sidang Pengujian Formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Dalam sidang itu, pemohon menghadirkan dua akademisi hukum tata negara sebagai ahli, yaitu Zainal Arifin Muchtar dari Universitas Gadjah Mada dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera. Keterangan kedua akademisi tersebut diharapkan bisa menguatkan dalil-dalil pemohon yang dalam permohonannya mempertanyakan keabsahan secara prosedural pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tidak sesuai dengan asas pembentukan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.