Sukarni, Sosok Sentral Penentu Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Sosok Sukarni Kartodiwirjo sering dikaitkan dengan peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta jelang Proklamasi Kemerdekaan RI, 7 Agustus 1945. Padahal, Sukarni adalah penentu kemerdekaan RI oleh Soekarno-Hatta.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Saat ditanya tentang sosok Sukarni Kartodiwirjo, ingatan publik sebagian besar merujuk pada peristiwa penculikan Bung Karno dan Bung Hatta menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sukarni adalah sosok dari golongan muda yang mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan usai kekalahan Jepang. Namun, sebenarnya peran dari Sukarni tidak sebatas itu. Sukarni merupakan sosok sentral penentu Proklamasi Kemerdekaan RI.
Fakta-fakta tersebut dipaparkan dalam acara bedah buku Sukarni Kartodiwirjo: Pahlawan Nasional 2014 yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK). Bedah buku dihadiri oleh penulis buku yang merupakan putri kandung Sukarni, Emalia Iragiliati Sukarni-Lukman.
Hadir pula dosen dan peneliti Departemen Sejarah Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, kurator koleksi Museum Perumusan Naskah Proklamasi Jaka Perbawa, dan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto. Acara dimoderatori oleh editor Politik, Hukum, dan HAM Antonius Ponco Anggoro.
Bondan Kanumoyoso mengungkapkan, karena ditulis oleh anak biologis Sukarni, buku tersebut memuat tentang uraian yang detail dan obyektif mengenai sosok pergerakan nasional tersebut. Uraian dalam buku tersebut juga menunjukkan bahwa Emalia Iragiliati juga anak ideologis Bung Karni. Menelisik ke belakang, leluhur Bung Karni ternyata adalah pengawal pribadi dari Pangeran Diponegoro.
Sejak sebelum kemerdekaan, Bung Karni sudah menjadi pimpinan kelompok Indonesia Muda yang sangat nasionalis dan terus membangkitkan semangat melawan kolonialisme.
Hal ini menunjukkan ada keterkaitan kuat dan menjelaskan alasan mengapa darah perjuangan mengalir kuat di keluarganya. Sejak sebelum era pergerakan nasional, keluarga besar Bung Karni telah menanamkan jiwa nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah. Itulah juga yang ikut membentuk Bung Karni menjadi sosok sentral yang menentukan sejarah bangsa Indonesia.
Pada tahun 1945, usia Bung Karni masih sangat muda, yaitu 29 tahun. Namun, usianya yang muda tidak menggoyahkan prinsip yang dia pegang. Bung Karni selalu melawan dan tidak pernah menunjukkan ketakutan kepada penjajah kolonial.
”Sejak sebelum kemerdekaan, Bung Karni sudah menjadi pimpinan kelompok Indonesia Muda yang sangat nasionalis dan terus membangkitkan semangat melawan kolonialisme,” kata Bondan.
Sukarni bukan hanya pelaku sejarah, melainka juga penentu sejarah. Dia adalah sosok yang hidup di generasi istimewa karena generasi tersebut memenuhi panggilan sejarah. Mereka tidak mementingkan kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan bangsa.
”Kisah hidup Sukarni juga menjadi lebih menarik karena dia hidup di lima zaman. Sejak masa penjajahan Belanda, Jepang, revolusi, Orde Lama, hingga Orde Baru,” lanjut Bondan.
Emalia Iragiliati mengatakan, semasa hidupnya banyak pandangan keliru mengenai Bung Karni. Sosoknya sebagai pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) kerap dianggap komunis. Padahal, menurut dia, partai itu didirikan oleh Sukarni beserta tokoh lain, yaitu Tan Malaka, Chaerul Saleh, dan Adam Malik, berdasarkan ideologi agama, nasionalisme, dan sosialisme. Anggapan keliru yang menstigma Sukarni sebagai tokoh komunis ini yang masih kerap membuat keluarga marah.
”Bapak begitu cinta pada Bung Karno dan selalu menanamkan cinta Tanah Air kepada anak-anaknya,” ungkap Emalia.
Di dalam buku tersebut, Emalia juga meluruskan narasi sejarah yang keliru pada detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan. Di dalam buku-buku sejarah, Sukarni kerap diceritakan sebagai sosok yang menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Saat itu, memang ada desakan dari golongan muda untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan karena ada kekosongan kekuasaan usai Jepang kalah perang.
Namun, fakta yang terjadi bukanlah penculikan. Itu hanyalah upaya negosiasi yang dilakukan kelompok muda agar Bung Karno dan Bung Hatta mau mempercepat proklamasi kemerdekaan.
”Waktu itu, bapak satu mobil dengan Bung Karno. Kemungkinan, kesepakatan dan persetujuan bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945 itu muncul di dalam mobil saat menuju Rengasdengklok itu,” kata Emalia.
Tri Agung Kristanto mengatakan, buku yang ditulis Emalia itu memberikan pencerahan terhadap sosok Sukarni. Sukarni adalah penentu sejarah kemerdekaan Indonesia dan perannya sangat sentral. Bung Karni adalah sosok yang mendesak agar kemerdekaan RI dimajukan 72 jam. Tanpa peran dan kegigihan Sukarni, mungkin proklamasi Indonesia mundur menjadi 20 Agustus 1945.
”Buku ini dapat membawa kami secara cerdas melihat siapa sosok yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Bagaimana sosok tua dan muda saat itu tidak mendahulukan kepentingan pribadi, tetapi kepentingan bangsa,” kata Tri Agung.
Selain itu, bagian menarik lainnya yang ditulis di buku tersebut adalah dialektika dan perdebatan antara kaum muda dan tua dalam menentukan sejarah bangsa. Saat itu, perbedaan pandangan yang terjadi di tokoh-tokoh pergerakan nasional sangat kentara. Namun, perdebatan itu dapat menghasilkan konsensus yang benar-benar berorientasi jangka panjang untuk kepentingan bangsa.
Salah paham
Bondan menambahkan, buku tersebut juga menjadi penepis anggapan negatif yang selama ini masih melekat pada sosok Sukarni. Meskipun kiprahnya sentral sebagai penentu proklamasi, Sukarni baru ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2014. Itu salah satunya karena masih adanya anggapan bahwa Sukarni adalah sosok yang memegang ideologi komunis. Selama bertahun-tahun, isu tersebut terus digoreng sehingga menihilkan peran perjuangan Sukarni.
”Pengakuan tentang jasa pahlawan atau tokoh sejarah memang kerap sarat kepentingan politik. Sejarah kerap digunakan sebagai hegemoni kekuasaan. Buku ini menepis isu-isu negatif mengenai sosok Sukarni yang memang layak ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” kata Bondan.
Pengakuan tentang jasa pahlawan atau tokoh sejarah memang kerap sarat kepentingan politik. Sejarah kerap digunakan sebagai hegemoni kekuasaan. Buku ini menepis isu-isu negatif mengenai sosok Sukarni yang memang layak ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Selain berjasa terhadap proklamasi kemerdekaan, Sukarni yang pernah menjabat Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia itu juga menjadi perantara yang mengegolkan pendanaan dari Peking untuk pembebasan Irian Barat. Meskipun demikian, relasinya bersama pemerintah Orde Lama juga diwarnai ketegangan. Sukarni pernah dituduh melakukan kudeta karena kekritisannya terhadap pemerintahan Bung Karno sehingga Sukarni juga pernah beberapa kali dipenjara di era tersebut.
Sementara itu, Jaka Perbawa mengatakan, buku tersebut akan memperkaya sumber sejarah bagi museum. Sebab, selama ini masih banyak generasi muda, terutama anak-anak usia sekolah dasar, yang belum mengenal betul siapa dan kiprah Sukarni. Bahkan, mereka kerap menganggap Sukarni itu adalah sosok perempuan.
Sesuai Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum, museum difungsikan sebagai lembaga yang melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikan kepada masyarakat. Cara mengomunikasikan sejarah dan koleksi tersebut harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang pesat. Museum juga harus selalu menyesuaikan fakta-fakta sejarah sesuai perkembangan sejarah terkini. Dengan demikian, buku mengenai Sukarni tersebut sangat bermanfaat sebagai sumber edukasi sejarah terutama di Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
”Apa yang didapatkan anak-anak terutama yang duduk di bangku sekolah dasar tentang sosok Sukarni singkat sekali sehingga buku ini akan menjadi pedoman bagi museum untuk membedah dan menjelaskan siapa sosok Sukarni,” ucap Jaka.