Perpanjangan Jabatan Hakim Konstitusi Abaikan Etika Demokrasi
Perpanjangan masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi disepakati. Selain mengabaikan prinsip demokrasi, hal ini memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun. Kesepakatan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini dinilai mengabaikan prinsip sekaligus etika demokrasi yang mensyaratkan pembatasan kekuasaan.
Pembahasan RUU MK yang dimulai pada Senin lalu itu diteruskan hingga Jumat (28/8/2020). Dari lima kali rapat pembahasan, dua rapat di awal, yakni pembacaan keterangan presiden dan DPR, terbuka untuk umum. Begitu juga dengan penyerahan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh pemerintah. Namun, setelah tiba pada pembahasan inti berupa persandingan DIM dari pemerintah dengan draf RUU MK yang diinisiasi DPR, rapat panitia kerja tertutup untuk umum.
Rapat lanjutan yang dilakukan Jumat dan dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir digelar tertutup untuk umum. Hadir mewakili pemerintah ialah Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana.
Sebagian besar DIM pemerintah disetujui oleh DPR. Sejumlah poin yang disetujui antara lain mengenai usulan agar hakim MK minimal berusia 55 tahun. DPR di dalam draf RUU MK menginginkan usia hakim MK minimal 60 tahun. DPR juga mengamini DIM pemerintah yang mengusulkan usia pensiun hakim konstitusi 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Usulan pemerintah lainnya, yakni penambahan anggota Mahkamah Kehormatan MK dari unsur akademisi yang berlatar belakang hukum, juga disetujui DPR. Sebelumnya, DPR mengusulkan anggota MK berasal dari Komisi Yudisial dan hakim konstitusi.
Anggota Panitia Kerja RUU MK DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Sudding, mengatakan, kesepakatan-kesepakatan itu dicapai melalui pembahasan yang alot. Sekalipun soal-soal menyangkut isu krusial berkenaan dengan usia hakim MK dan masa jabatan hakim telah disepakati, ada pula pembahasan lain menyangkut kewenangan MK.
”Tadi memang sudah disepakati batasan maksimal usia pensiun di angka 70 tahun dan maksimal menjabat 15 tahun. Itu kami (DPR) sebelumnya usulkan umur 60 tahun, karena dianggap pada usia itu betul-betul menunjukkan kenegarawanan seseorang. Namun, pemerintah mengatakan usia tidak memberikan jaminan sikap kenegarawanan hakim konstitusi dan banyak contoh yang disampaikan. Pada akhirnya semua fraksi setuju akan hal itu,” katanya.
Sudding menambahkan, pembahasan DIM pemerintah relatif cepat dan dapat dilakukan dalam tiga hari kerja karena materi DIM memang tidak terlalu banyak dan substansinya secara umum menyangkut soal usia hakim MK.
Ia menampik adanya dugaan barter politik dalam pembahasan RUU MK yang terkesan cepat. Sebelumnya, kalangan masyarakat sipil menyinyalir adanya konflik kepentingan dalam pembahasan RUU MK ini, sebab sejumlah UU dan RUU yang kini dibahas di DPR berpotensi dibawa ke MK. Ada kekhawatiran RUU MK rentan konflik kepentingan dan dijadikan alat memanjakan hakim MK.
”Saya pikir tidak ke arah situ ya, karena masa sidang ini raker tidak terlalu banyak. Kalau memang dalam pembahasan tidak ada persoalan substantif, dan di dalam DIM yang dibahas itu sudah disepakati oleh semua fraksi, kenapa tidak disegerakan,” katanya.
Menurut Sudding, banyak hal menarik yang sebenarnya juga dibahas di dalam rapat panja, antara lain mengenai constitutional complaint (pengaduan/keluhan warga). Hal itu diusulkan untuk masuk menjadi kewenangan MK sehingga warga negara dapat mengadukan jaminan atau hak-hak konstitusionalnya yang tidak terpenuhi.
Namun, usulan itu tidak jadi dimasukkan di dalam RUU MK karena sejumlah pertimbangan, termasuk kemungkinan MK akan menerima banjir perkara.
”Katakanlah masalahnya adalah pengangguran. Di dalam UUD 1945, warga negara dijamin haknya untuk mendapatkan pekerjaan. Kalau ada banyak pengangguran protes ke MK, lalu bagaimana, apakah MK siap menangani hal itu. Cakupannya sungguh luas constitutional complaint ini sehingga banyak pertimbangan kawan-kawan soal kewenangan ini,” ujarnya.
Anggota panja dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, perdebatan mengenai constitutional complaint itu perlu ditindaklanjuti oleh DPR dan pemerintah dalam kelompok diskusi terarah (focus group discussion). Sementara itu, masukan pemerintah mengenai usia minimal hakim dan pensiun hakim serta keberadaan anggota MKMK dari akademisi, menurut Basari, disepakati DPR karena dinilai memiliki argumentasi yang kuat.
Pembatasan kekuasaan
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, perpanjangan masa jabatan hakim tidak linier dengan semangat pembatasan kekuasaan yang menjadi ciri demokrasi.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun dibatasi hanya dalam dua periode. Namun, kini hakim MK yang merupakan anak kandung Reformasi, dan semestinya mencerminkan semangat demokratisasi, justru diperpanjang masa jabatannya menjadi 15 tahun atau pensiun 70 tahun.
”Semakin ditambah usia itu, potensi penyalahgunaan wewenang makin besar. Banyak studi mengatakan, kalau masa jabatan itu tidak proporsional, penyalahgunaan wewenang sangat mungkin terjadi. Semangat pembatasan kekuasaan ini seharusnya juga dipikirkan pembentuk undang-undang,” ujarnya.
Di satu sisi, dengan kesepakatan yang mengerucut antara pemerintah dan DPR dalam pengaturan usia dan pensiun hakim ini, beban berada di pundak MK untuk juga bersikap negarawan ketika menyidangkan uji materi terkait UU yang menyangkut kepentingan hakim-hakimnya.
”Tinggal MK dalam konteks ini menunjukkan kenegarawanannya, yakni dengan berani dia mengatakan aturan perpanjangan usia itu tidak sesuai dengan maksud MK sebagai penjaga demokrasi. Bahwasanya di dalam demokrasi ada regenerasi kekuasaan, dan lebih dari itu ialah membatasi kekuasaan,” katanya.
Kenegarawanan MK itu, lanjut Bayu, diuji ketika ada uji materi terkait dengan substansi UU MK yang baru nantinya.
Lebih jauh, dalam pembahasan RUU MK yang tertutup ini, pembentuk UU tidak sensitif dengan membahas soal usia dan masa jabatan hakim di tengah kesulitan rakyat menghadapi pandemi Covid-19. Substansi RUU MK dipandang tidak berdampak langsung pada perbaikan kinerja dan kelembagaan MK.
”Di saat penghematan anggaran dilakukan, dan Indonesia menghadapi resesi, mereka malah membahas lamanya masa jabatan hakim dan usia pensiun hakim. Presiden di satu sisi juga sedang menata kelembagaan negara dan aparatnya, tetapi RUU justru tidak menunjukkan upaya perbaikan kelembagaan. Apalagi ini menyangkut lembaga pengadilan tertinggi yang putusannya final dan mengikat,” ujar Bayu.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, mengatakan, proses pembahasan yang tertutup mencederai semangat reformasi dan demokrasi.
”Kita memang membutuhkan revisi UU MK, tetapi yang menyangkut soal kelembagaan, seperti penguatan dewan etik, kepatuhan terhadap putusan MK, hukum acara, dan kewenangan MK. Namun, sayang sekali yang dibahas di dalam revisi UU MK ini hanya soal usia hakim,” ujarnya.