Selama 75 tahun Indonesia merdeka, pemenuhan hak-hak asasi manusia masih menjadi problem. Persoalan yang menonjol di antaranya terkait dengan masalah-masalah hak sosial ekonomi seperti masalah tanah dan pelayanan publik.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 75 tahun Indonesia merdeka, pemenuhan hak-hak asasi manusia dinilai masih menjadi problem. Persoalan yang menonjol di antaranya terkait dengan masalah-masalah hak sosial ekonomi seperti masalah tanah dan pelayanan publik. Selain itu, pemenuhan hak perempuan dinilai masih belum banyak perubahan.
”Pengaduan itu seperti puncak gunung es. Setiap tahun ada sekitar 2.000 pengaduan masyarakat ke Komnas HAM. Yang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua terkait konflik agraria,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab dalam diskusi secara daring bertajuk, ”Wajah HAM dalam Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan RI”, Jumat (28/8/2020).
Dengan banyaknya pengaduan itu, ia mengambil kesimpulan bahwa ada perkembangan investasi perkebunan yang cukup masif di banyak daerah di luar Jawa. ”Bagaimana kita melindungi masyarakat asli, hak kesejahteraan dalam bidang tanah. Kalau tidak tertangani, akan jadi problem sosial yang lain,” ujarnya.
Masalahnya relatif berbeda di Jawa. Menurut Amiruddin, di Jawa yang kerap menjadi pengaduan masyarakat adalah kinerja pemerintah di daerah yang masih kurang baik. Komnas HAM juga menggarisbawahi meningkatnya perilaku yang diskriminatif dan banyak aksi intoleransi. ”Ada sekelompok orang yang melakukan tindakan pada yang lain karena paham keagamaan. Ini suatu gejala yang mulai banyak,” kata Amir.
Adapun I Gusti Agung Putri Astrid, Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyoroti adanya ketimpangan yang serius yang dialami perempuan. Menurut dia, hal ini menjadi dasar dari kekerasan yang dialami perempuan dan anak.
”Kekerasan terjadi akibat kemiskinan dan ketimpangan,” kata Agung Putri.
Ia mengatakan, saat ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tengah menyiapkan mekanisme untuk perlindungan perempuan dan anak. Ia mencontohkan, ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan yang membutuhkan visum, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang membayar visum itu. Hal ini sangat penting terutama kalau kekerasan itu dialami oleh perempuan yang kurang secara ekonomi.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, mengatakan, masih ada juga masalah psikologis. Ia mengatakan, ada sekitar 80 persen perempuan yang mengalami kekerasan yang tidak melapor. Menurut dia, belum banyak perubahan dalam pemenuhan hak-hak perempuan dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, terjadi kemunduran akibat meningkatnya konservatisme.
”Buat perempuan, kemerdekaan adalah hak atas rasa aman, bebas dari diskriminasi dan pemenuhan hak-hak dasar,” kata Andy.
Sekretaris Institute for Criminal Justice Reform Anggara menilai, saat ini undang-undang pidana malah semakin menjauh dari kebijakan pidana yang berbasis hak asasi manusia.
Hal ini muncul dalam bentuk aturan yang dinilainya intrusi terhadap kehidupan privat atas nama moralitas. Selain itu, ada tendensi untuk mematikan masyarakat adat dan bersifat menghukum.