Konsolidasi demokrasi di Indonesia belum tuntas. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Petugas pemungutan suara menunjukkan kartu suara saat simulasi pemungutan suara dalam pemilihan serentak 2020 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Rabu (22/7/2020). Simulasi dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pemikir kebangsaan menilai, setelah 22 tahun reformasi berjalan, Indonesia masih perlu melakukan konsolidasi demokrasi. Sebab, dalam implementasinya, demokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto dalam diskusi ”Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan untuk Konsolidasi Demokrasi” yang diadakan Aliansi Kebangsaan, Jumat (28/8/2020), mengatakan masih ada sejumlah kelemahan internal yang menjadi tantangan demokrasi di Indonesia.
Sesuai Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sejumlah masalah yang terjadi pascareformasi adalah lemahnya penghayatan dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman agama yang keliru dan sempit. Selain itu, pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan masih kurang.
Kemudian, kata Satya, ada pengabaian terhadap kepentingan daerah serta munculnya fanatisme kedaerahan. Di sisi lain, penegakan hukum juga belum berjalan secara optimal. Berbagai masalah itu ada yang sudah diselesaikan, tetapi masih ada juga yang menjadi tantangan ke depan.
Sementara dari sisi eksternal, ada ancaman globalisasi yang semakin meluas sehingga persaingan antarbangsa semakin tajam. Kapitalisme kian menguat sehingga intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional juga semakin kentara.
Kompas
Satya Arinanto
”Di Indonesia, konsolidasi itu ternyata tidak cukup dilakukan hanya dengan pemilu yang bebas dan berjalannya mekanisme pasar. Masih ada banyak pekerjaan rumah dan agenda reformasi yang belum berjalan dengan baik,” papar Satya.
Satya menambahkan, setidaknya ada lima syarat yang harus dilakukan untuk konsolidasi demokrasi. Masyarakat sipil harus otonom dan diberikan jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat. Masyarakat sipil harus diberi ruang untuk bersaing secara sehat dan terbuka untuk menjalankan kontrol kekuasaan. Birokrasi juga harus memiliki pemahaman, mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Selain masyarakat politik, negara juga harus memfasilitasi terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara negara dan masyarakat dalam menjalankan perekonomian. Tak kalah penting, negara harus menganut ideologi supremasi hukum di mana negara harus menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang menjadi tanggung jawabnya.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Nasional, Diana Fawzia, menyampaikan, salah satu prasyarat konsolidasi demokrasi adalah berfungsinya partisipasi masyarakat sipil. Keberadaan masyarakat sipil yang bebas, aktif, dan mandiri terhadap pemerintah dapat berfungsi sebagai checks and balances.
DOKUMENTASI/JARINGAN MUDA SETARA
Jaringan Muda Setara dan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang, Selasa (7/7/2020), di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta.
Konsolidasi itu dapat dibangun oleh negara, masyarakat sipil, serta pasar dan dunia bisnis. Ketiganya adalah kaki yang dapat menguatkan bangunan sistem ketatanegaraan dalam rangka konsolidasi demokrasi.
”Partisipasi masyarakat dibangun kuat dari akar rumput sehingga dapat memperkuat demokrasi dan kebangsaan. Negara, masyarakat sipil, dan ekonomi adalah mitra sejajar dalam merekonstruksi sistem ketatanegaraan untuk konsolidasi ekonomi berbasis pada ideologi Pancasila,” kata Diana.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago menyoroti penyimpangan makna atas politik dari mengelola urusan bersama atau publik menjadi persoalan cara mendapatkan kekuasaan, membagi, dan mempertahankan kekuasaan. Praktik tersebut terjadi di kebanyakan negara demokrasi.
Negara seolah berubah hanya menjadi arena bagi elite dan kekuatan yang sadar politik untuk berebut kekuasaan. Penyimpangan tersebut akhirnya melahirkan masalah yang lebih luas, yaitu sistem pemerintahan, sistem pemilu, hingga transaksi politik yang dianggap lazim dan sah saat pemilu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Andrinof Chaniago
Amendemen UUD 1945
Dengan banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam demokrasi di Indonesia itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, muncul tuntutan kuat pada perubahan kelima (amendemen) UUD 1945. Ada kebutuhan merumuskan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai keputusan administratif di bawah konstitusi. Sebab, menurut Jimly, saat ini Indonesia tidak hanya butuh hukum sebagai pengatur perilaku masyarakat dan pemerintah (rule of law), tetapi juga rule of ethics.
”Ini menjadi gejala di seluruh dunia tidak hanya di Indonesia. Bagaimana menegakkan hukum, tetapi juga penegakan kode etik di seluruh lembaga negara,” kata Jimly.
Sejumlah masalah yang disoroti Jimly adalah soal partai politik yang lama-kelamaan menjadi oligarki. Regenerasi parpol minim dan mengarah pada dinasti kekuasaan, berlama-lama menjadi penentu kebijakan. Jika hal itu terus dibiarkan, menurut Jimly, akan berbahaya bagi masa depan demokrasi.
Oleh karena itu, parpol perlu dimodernisasi, mulai dari pemisahan partai politik dan organisasi massa underbow-nya, pendanaan parpol, hingga relasi antara parpol dan media. Tanpa pembenahan yang menyeluruh, fenomena tersebut hanya akan mengarah kepada praktik pemerintahan yang totalitarian.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Jimly Asshiddiqie
”Dalam hal pendanaan, misalnya, parpol seharusnya didanai oleh APBN dan juga perusahaan dalam bentuk seperti corporate social responsibility. Jadi, tidak ada lagi perusahaan yang menyumbang besar ke parpol tertentu hanya untuk menjalankan agenda politiknya yang akan melahirkan oligarki,” kata Jimly.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif sepakat bahwa setelah 22 tahun reformasi, perlu peninjauan ulang tentang sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia. Peninjauan ulang itu dilakukan untuk memastikan negara berjalan di rel yang benar. Sejak reformasi, cakupan negara terus membesar. Sementara sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem presidensial Amerika Serikat.
Sistem presidensial dinilai tidak bisa optimal berjalan karena Indonesia juga menganut sistem multipartai. Akhirnya, presiden banyak tersandera oleh mekanisme parlemen. Sementara itu, keberadaan parpol dinilai belum bisa merepresentasikan aspirasi masyarakat Indonesia yang terbentuk dari berbagai macam golongan.
”Ini sudah disadari oleh para pendiri bangsa dulu. Kemudian mereka mendesain satu sistem keseimbangan di mana ada sistem parlementer dengan kepala negara presiden yang diiringi oleh MPR,” kata Yudi Latif.
NUT
Yudi Latif
Untuk mengonsolidasikan demokrasi, ujar Yudi, Indonesia harus meninjau ulang paradigma adopsi demokrasi tambal sulam dari berbagai negara. Jika pendiri bangsa lebih banyak menggunakan referensi demokrasi di Eropa, pascareformasi demokrasi lebih banyak berkiblat ke Amerika.
Menurut Yudi, Indonesia harus kembali pada konstitusi untuk menentukan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan mana yang sesuai dengan perkembangan zaman dan karakteristik bangsa.