Hilangkan Virus Intoleransi dengan Kebijakan Inklusif
Masalah intoleransi terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kultur intoleransi tidak saja merasuk ke masyarakat, tetapi juga aparatur pemerintahan.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Masalah intoleransi terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kultur intoleransi tidak saja merasuk ke masyarakat, tetapi juga aparatur pemerintahan. Solusinya adalah kebijakan yang inklusif dengan penekanan tentang kewarganegaraan yang setara tanpa membedakan agama dan etnis.
Hal ini disampaikan Ahmad Najib Burhani saat orasi pengukuhan profesor riset di LIPI, Kamis (27/8/2020), dengan tema ”Agama, Kultur Intoleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia”.
Najib mengatakan, adanya fantasi eksklusif tidak saja terjadi di Indonesia. Mengutip Slavoj Zizek, peneliti sosiologi Slovenia yang menjelaskan fantasi eksklusif dengan, ”kalau tidak ada mereka di sini, kehidupan akan jadi sempurna dan masyarakat harmonis akan terwujud kembali”, pembedaan antara mereka dan kita dibuat berdasarkan agama, keyakinan, etnis, atau warna kulit yang berbeda.
”Yang sering terjadi, korban adalah minoritas,” kata Najib.
Solusi untuk mengatasi masalah intoleransi ini adalah penekanan dan pendekatan hak asasi manusia serta penekanan tentang kewarganegaraan yang setara tanpa membedakan agama dan etnis. Para pemuka agama juga perlu melakukan pendekatan teologis sifat toleran.
”Perlu juga ada pendidikan perdamaian dan pemberlakuan kebijakan yang nondiskriminatif,” kata Najib.
Cahyo Pamungkas yang juga dikukuhkan sebagai profesor riset di LIPI dalam orasinya mengatakan, mayoritas konflik pada tahun 1999-2004 adalah konflik berbasis etnis dan agama. Namun, konflik bergeser menjadi persekusi terhadap minoritas dan intoleransi keagamaan yang hadir sejak 2016.
Cahyo berpendapat, konflik berbasis indentitas digerakkan oleh ekosistem yang terdiri dari persepsi ancaman dan religiosentris yang disertai dengan konservatisme agama. ”Konflik komunal berbasis sentimen agama dapat diselesaikan dengan pendekatan rekonsiliasi berbasis kultural,” katanya.
”Ke depan, intoleransi beragama jadi masalah utama bersama konflik di Papua,” kata Cahyo.
Ia mengatakan, intoleransi, radikalisme, dan politik identitas yang semakin terbuka telah mengancam prinsip kebinekaan, semangat kebangsaan, dan etika kewarganegaraan.
”Mengutip Clifford Geertz, negara bangsa perlu menempatkan sentimen keagamaan dalam posisi yang tidak bertentangan dengan nation (bangsa),” katanya.
Najib menyebutkan beberapa contoh tindakan intoleransi yang tidak saja melibatkan masyarakat, tetapi juga pejabat negara. Sebut saja Bupati Bogor yang ditekan masyarakat untuk melarang upacara agama Ahmadiyah, satpol PP yang menyegel pasaeran di Kuningan, atau tudingan Syiah yang membuat sekelompok orang berdoa di Solo dibubarkan. Etnis Tionghoa juga sering jadi sasaran.
”Terjadi ketidaksukaan terhadap sesuatu yang berbeda, kultur intoleransi terjadi,” kata Najib.
Kultur intoleransi, kata Najib, menyebabkan masyarakat jadi permisif ketika ada intoleransi terhadap kaum minoritas. Hal ini juga terjadi di kalangan aparat pemerintah. Padahal, intoleransi sebenarnya bisa diselesaikan lewat kebijakan publik dan kebijakan hukum.
Bahkan ada istilah-istilah yang, menurut dia, menunjukkan bahwa minoritasisasi adalah reproduksi teknokrasi. ”Misalnya, disebut mereka yang minoritas harus dibawa kembali ke jalan yang benar,” ujarnya.
Ia pun menunjukkan beberapa bentuk kultural intoleransi. Pertama, tendensi untuk merasa menjadi juru selamat. Hal ini terlihat saat para penjajah Barat menyatakan, dirinya membangun peradaban bangsa Asia dan Afrika. Padahal, tindakan mereka adalah melakukan kolonialisasi. Hal ini diulang oleh para misionaris dan pemuka agama lain.
”Kafir jadi dekat maknanya dengan orang yang tak beradab,” kata Najib.
Bahkan ada bentuk pemikiran yang salah, misalnya merusak tempat ibadah diyakini bukan kejahatan, melainkan untuk memenuhi panggilan keagamaan. Selain itu, istilah harmoni digunakan sebagai penghalus intoleransi.
Terakhir, konstruksi mental konservatif yang cenderung menyetujui intoleransi bahwa kelompok minoritas yang diserang memang pantas diperlakukan seperti itu karena mengganggu masyarakat pada umumnya.
”Ini berbahaya karena bisa memicu kekerasan, bahkan terorisme. Pikiran ini menyebar di pemerintah, DPR, MPR, guru, aparat, dan wartawan,” kata Najib.
Laksana Tri Handoko sebagai Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam sambutannya secara daring mengucapkan selamat dan terima kasih atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Selain Najib dan Cahyo, dua peneliti lain juga dikukuhkan sebagai profesor riset LIPI, yaitu Goib Wiranto dalam bidang elektronika dan Dwi Susilaningsih dalam bidang bioproses.