Peretasan terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah serta kehadiran pendengung media sosial menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Hal itu seolah jadi ujian kedewasaan demokrasi di ruang siber.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Pertanyaan tentang nasib demokrasi mengemuka setelah muncul fenomena peretasan yang sebagian menyasar orang-orang yang dipandang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, munculnya para pendengung (buzzer) dan pemengaruh (influencer) juga mengundang tanya soal posisi mereka dalam konteks kebebasan berpendapat dan dampaknya bagi demokrasi. Hal-hal itu seolah jadi ujian bagi demokrasi di era digital.
Dalam bincang Satu Meja The Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (26/8/2020) malam, di Kompas TV, para narasumber menyampaikan pendapat mengenai demokrasi serta fenomena peretasan dan buzzer serta influencer. Narasumber yang hadir ialah Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra; pengajar ilmu komunikasi Universitas Media Nusantara, Ignatius Haryanto; Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati; dan tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral.
Munculnya peretasan di media sosial (medsos), menurut Asfinawati, bukan hal baru. Sejak 2019, fenomena itu muncul, terutama pada September 2019, ketika akun sejumlah aktivis dan akademisi juga diretas. Peretasan diduga terkait dengan aksi mereka yang mengkritisi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kini, peretasan kembali menjadi perhatian publik karena tidak hanya aktivis yang akunnya diretas, tetapi juga media massa arus utama seperti Tempo.co, Tirto.ID, dan tokoh-tokoh yang kritis pada kebijakan tertentu, seperti epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono.
Fenomena ini, menurut Asfinawati, harus dilihat sebagai bagian dari pembungkaman dan penyempitan ruang demokrasi. Problemnya, siapa yang melakukan peretasan itu belum diketahui pasti. Dalam kondisi ini, ketika negara tidak serius mengungkap siapa pelakunya, maka negara turut bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Dalam penanganan peretasan, menurut Asfinawati, juga ada perbedaan perlakuan, antara korban peretasan yang kritis terhadap pemerintah dan mereka yang membela kebijakan pemerintah. Pada kasus peretasan yang menyasar pihak yang dianggap pendukung pemerintah, termasuk institusi negara, penegakan hukumnya sangat cepat. Ini berbeda dibandingkan masyarakat yang dinilai kritis pada pemerintah.
”Ravio Patra melaporkan peretasan yang membuatnya dikriminalisasi, pada 27 April 2020. Sampai sekarang, sudah empat bulan baru pemeriksaan saksi. Kalau kita bandingkan dengan kasus peretasan website Polri, dalam empat bulan sudah ada tersangka yang ditahan,” katanya.
Donny menilai, penuntasan kasus peretasan harus dilihat kasus per kasus. Ini karena ada kasus-kasus yang bukti dan saksinya mudah didapatkan sehingga dapat cepat diungkap. Namun, bagi kasus-kasus yang belum dapat diungkap pelakunya, tidak serta-merta menjadikan negara turut sebagai pelaku atau ikut bertanggung jawab atas peretasan itu.
Sebab, peretasan tidak selalu dibangun dengan pola pikir vertikal, yakni antara negara dan rakyatnya, tetapi juga bisa dengan pola sebaliknya, yakni rakyat yang meretas negara atau institusi negara. Peretasan bisa saja mengikuti pola horizontal, yakni antar-rakyat saling meretas, atau salah satu pihaknya bukanlah aktor negara.
”Tapi, kan, ini semuanya asumsi. Makanya betul proses hukum dijalankan, supaya kita tahu siapa aktornya. Karena kalau tidak, orang akan berpikir bahwa ini adalah afiliasi, orang berpikir bahwa ini yang bermain kekuasaan, dan sebagainya. Karena memang begitu ada peretasan terhadap media lalu yang ditunjuk hidung selalu kekuasaan,” kata Donny.
Dampak pada demokrasi
Terkait isu peretasan, Haryanto mengatakan, target-target peretasan begitu spesifik, yakni terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Peretasan terhadap Tempo dan Tirto.ID, misalnya, tidak bisa secara naif dipisahkan dari pemberitaan. Sebelum diretas, Tempo mengulas tentang buzzer dan influencer, sementara Tirto.ID memuat berita tentang kebijakan vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan pemerintah. Terkait pemberitaan itu, kalaupun ada pihak yang keberatan, seharusnya tidak meresponsnya dengan meretas.
”Perbedaan pendapat itu biasa. Kenapa harus direspons lewat model peretasan seperti itu,” katanya.
Munculnya buzzer dan influencer, menurut Haryanto, juga dipandang tidak masalah sepanjang dia menyampaikan sesuatu yang positif atau kampanye terkait sesuatu. Namun, hal itu menjadi persoalan ketika terjadi twitwar atau perang pendapat di medsos, yang ketika ada perbedaan pendapat terkait program pemerintahan, lalu ramai-ramai dia diserbu dan dijatuhkan martabatnya.
Azyumardi mengatakan, peretasan dan munculnya buzzer serta influencer yang mendiskreditkan pihak berpendapat berbeda, sama-sama berdampak buruk bagi demokrasi. Hasil kajian lembaga internasional, seperti Freedom House dan The Economist, menempatkan demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang cacat (flawed democracy), bahkan illiberal democracy, yakni demokrasi yang abai pada kebebasan sipil. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) juga memberi skor rendah pada kebebasan berekspresi atau berpendapat.
”Karena ketika berbeda pendapat atau berpikiran kritis, lalu dihadapkan pada dua hal. Pertama, diadukan kepada Bareskrim (Polri) sebagai pencemaran nama baik untuk membungkam orang. Karena kalau sudah dipanggil polisi, kan, dia sudah agak kapok, malas berurusan dengan polisi. Jadi ini pembungkaman. Kedua, melalui peretasan. Ini gejala yang sangat disayangkan,” katanya.
Buzzer dan influencer, menurut Azyumardi, kadang kala terlalu bersemangat sehingga cenderung mendiskreditkan pihak-pihak lain. ”Yang ketiga, yang saya kira juga merugikan dari sudut demokrasi ialah para pejabat tinggi di pemerintahan itu berpura-pura tidak tahu saja. Mereka tidak berbicara sepotong pun agar praktik-praktik seperti itu dihentikan karena itu akan merusak demokrasi kita,” ujarnya.
Donny tidak sependapat dengan penilaian demokrasi Indonesia mundur. Adanya kritisi masyarakat terhadap buzzer dan influencer serta peretasan juga membuktikan demokrasi di Indonesia masih berjalan baik. Negara juga mengusut kasus-kasus peretasan.
Selain itu, dia mengatakan, pemanfaatan buzzer atau influencer dilakukan pemerintah hanya pada tujuan baik, seperti sosialisasi destinasi wisata, dan pendidikan literasi digital. Menurut dia, tidak bisa serta-merta buzzer dikatakan berafiliasi dengan pemerintah, sebab ada pula warga yang bersimpati pada kebijakan pemerintah.
”Orang selalu mengatakan influencer ini adalah influencer pelat merah kan, tapi bisa saja ya kita lihat ada yang ’pelat hitam’ mengaku ’pelat merah’. Jadi sebenarnya ada swasta yang dengan inisiatif sendiri membela pemerintah. Tapi tidak lantas ini dibayar dan dimobilisasi,” katanya.
Hanya saja, Asfinawati mengatakan, pendapat yang disampaikan karena pesanan pihak lain bukan bagian dari kebebasan berpendapat. Sebab, pendapat itu tak lahir dari kesadarannya sendiri.