Sejarah bangsa Indonesia sejak dahulu didasarkan pada kesadaran kebinekaan dan keberagaman. Hal itu terlihat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang tak bisa dilihat dari golongan tertentu saja, tetapi juga semua.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari golongan tertentu. Sejarah membuktikan berbagai kalangan termasuk peranakan Tionghoa ikut dalam proses perjuangan kemerdekaan. Ini merefleksikan sejarah bangsa Indonesia sejak dahulu telah didasarkan pada kesadaran kebinekaan dan keberagaman.
Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Saidurrahman, dalam diskusi virtual yang digagas oleh Aliansi Universitas Indonesia Toleran (Auto), Selasa (25/8/2020), mengatakan, kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki nilai universal. Seluruh anak bangsa berhak memilikinya. Indonesia tidak berdasar pada satu golongan tertentu, tetapi Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur dari beragam agama dan budaya.
"Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Tidak ada persatuan tanpa kerukunan. Kesadaran pluralitas itu telah terbangun sejak sebelum Indonesia merdeka dan harus dijaga hingga sekarang," ujar Saidurrahman.
"Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan. Tidak ada persatuan tanpa kerukunan. Kesadaran pluralitas itu telah terbangun sejak sebelum Indonesia merdeka dan harus dijaga hingga sekarang"
Selain Saidurrahman, hadir di dalam diskusi, di antaranya sejarawan Peter Carey, cendekiawan Islam Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang, serta Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Inti) Azmi Abubakar.
Zainul Majdi sependapat dengan Saidurrahman bahwa tidak boleh ada kelompok yang merasa berjasa bagi Indonesia. Sebab, kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan secara bersama-sama, bukan sendiri.
"Jadi, semua meletakan pondasi yang terbaik sehingga bisa dinikmati saat ini," ucap Zainul Majdi.
Peran ulama
Secara spesifik, Zainul Majdi menjelaskan peran ulama bagi pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ada sejumlah ulama yang menjadi pahlawan nasional, di antaranya pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy\'ari. Berdirinya NU pada 31 Januari 1926 tidak bisa lepas dari peran ulama besar tersebut. Selain itu, ada pula KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi Islam bernama Muhammadiyah.
Zainul Majdi bercerita, kedua ulama itu ketika berada di tanah suci, Mekkah, Arab Saudi, belajar tentang Islam dan semangat kemerdekaan. Semangat kemerdekaan ini berkaitan dengan memerdekakan diri dari penjajah.
Pada saat yang bersamaan, ketika itu terdapat ide Pan-Islamisme, yang bertujuan membentuk satu sistem politik tunggal bagi seluruh umat islam di seluruh dunia. Tak hanya itu, ide Khilafah juga sudah ada.
"Tetapi, bukan itu yang mereka bawa ketika pulang ke Indonesia karena tidak cocok di sini. Mereka lebih memilih untuk mengedepankan prinsip yang universal," ujar Zainul Majdi.
Di dalam kaca mata para ulama saat itu, yang paling mendasar dari islam dan harus diperjuangkan adalah taaruf. Itu merupakan nilai dasar dari interaksi manusia, yaitu saling mengisi, saling melengkapi, dan saling belajar.
"Jadi, semua keberagamaan ini untuk kita taaruf, saling belajar, saling mengisi, saling melengkapi. Kita dalam interaksi memegang teguh prinsip itu," katanya.
Islam, lanjut Zainul Majdi, juga berprinsip pluralitas sosial. Oleh karena itu, segala persoalan harus dicari titik temu atau konsesus. Itu merupakan konsep kewarganegaraan. Kesamaan dalam hak dan kewajiban berbagi beban sesama anak bangsa.
"Jadi, semua keberagamaan ini untuk kita taaruf, saling belajar, saling mengisi, saling melengkapi. Kita dalam interaksi memegang teguh prinsip itu"
"Artinya, harus kita jaga dan kita rawat pluralitas ini. Jangan sampai ada hal-hal yang mendestruksi keindonesiaan kita," ujar Zainul Majdi.
Peran peranakan Tionghoa
Sementara itu, Peter Carey juga menyampaikan bahwa tak ada problem etnis atau agama di Indonesia. Sejak awal semua didasarkan pada semangat kemajemukan.
Salah satunya, peran peranakan Tionghoa bagi bangsa Indonesia. Peran mereka, menurut Peter Carey, sangatlah besar.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Azmi Abubakar. Banyak kisah tersembunyi terkait peran peranakan Tionghoa tetapi tak masuk dalam sejarah bangsa ini. Sejarah budaya Tionghoa sangat minim informasinya.
Sejak 1999, Azmi Abubakar rajin mengumpulkan bukti pendukung peran serta Tionghoa bagi bangsa Indonesia. Ia menemukan, ternyata mereka tidak hanya berkontribusi di sektor olahraga tetapi juga di berbagai sektor, seperti budaya, pendidikan, bahkan militer.
"Kita harus melihat keberanian media tersebut memasukkan kata Indonesia. Ini tidak sembarangan. Mereka berani memasukkan istilah Indonesia. Suatu istilah yang bagi Belanda sangat menakutkan dan mengkhawatirkan posisi mereka saat itu"
Dari sisi pendidikan, misalnya, di era kebangkitan nasional pada 1908 terkenal berdirinya sebuah organisasi, Budi Utomo. Padahal, pada 1900, telah berdiri Tiong Hoa Hwee Kwan atau rumah perkumpulan Tionghoa. Sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan didirkan setahun setelahnya, yaitu pada 1901.
"Ini adalah lembaga pendidikan yang mnjd inspirasi bangsa ini. Tetapi jarang disebutkan, bahkan namanya terasa asing bagi kita," ucap Azmi Abubakar.
Ia juga menyebutkan peran surat kabar Tionghoa, Sin Po, yang berperan kali pertama memasukkan istilah Indonesia pada 26 Mei 1926. Artinya, itu dua tahun sebelum peristiwa Sumpah Pemuda.
"Kita harus melihat keberanian media tersebut memasukkan kata Indonesia. Ini tidak sembarangan. Mereka berani memasukkan istilah Indonesia. Suatu istilah yang bagi Belanda sangat menakutkan dan mengkhawatirkan posisi mereka saat itu," katanya.