Jika Terbukti Langgar Etik, Firli Bahuri Diminta Mengundurkan Diri
Ketua KPK Firli Bahuri dianggap bisa diminta mengundurkan dari dari jabatan sebagai Ketua KPK apabila terbukti melanggar etik bergaya hidup hedonistik dengan menyewa helikopter mewah untuk kepentingan pribadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri dapat diminta mengajukan pengunduran diri jika terbukti melanggar etik dengan menunjukkan gaya hidup hedonistik. Kelompok masyarakat sipil meminta Dewan Pengawas KPK menggali lebih jauh penggunaan helikopter oleh Firli untuk kepentingan pribadi dalam perjalanan di Sumatera Selatan pada akhir Juni lalu.
Firli Bahuri menjalani sidang etik oleh Dewan Pengawas KPK, Selasa (25/8/2020), dalam kasus dugaan pelanggaran etik, penggunaan helikopter mewah untuk keperluan pribadi, akhir Juni 2020. Firli beralasan penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan mobilitas. Biaya sewa helikopter juga dari kantong pribadinya.
Terkait sidang itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, publik melihat Firli menggunakan helikopter merupakan perbuatan yang tidak lazim sebagai Ketua KPK meskipun ia memakai dana pribadi. Sebab, penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk hedonisme yang melanggar kode etik.
”Dewas (Dewan Pengawas) harapannya tidak memeriksa secara formil saja. Jangan langsung percaya apa kata teperiksa, tetapi gali lebih jauh persoalan tersebut,” kata Kurnia saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, aturan tersebut ada dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Pada bagian Integritas, Pasal 4 Ayat (2) huruf m disebutkan larangan menunjukkan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat terutama kepada sesama Insan Komisi.
Adapun pada Pasal 9 Ayat (2) disebutkan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran ringan, sedang, atau berat berdasaran pada dampak atau kerugian yang ditimbulkan.
Sementara itu, Pasal 9 Ayat 3 disebutkan klasifikasi dampak atau kerugian seba
gaimana dimaksud pada Ayat (2); huruf a, dampak atau kerugian terhadap kedeputian dan/atau Sekretariat Jenderal termasuk pelanggaran ringan, b, dampak atau kerugian terhadap komisi termasuk pelanggaran sedang, dan c dampak atau kerugian terhadap negara termasuk pelanggaran berat.
Menurut Kurnia, untuk membuktikan apa yang telah dilakukan Firli, Dewas KPK harus melakukan pencarian material dan tidak berhenti hanya dari pengakuan terperiksa.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, etik menjadi penjaga moral komisioner dan insan KPK lainnya di masa lalu. Beberapa personel KPK dipecat karena pelanggaran etik. Bahkan, ada penyidik yang pernah dipecat dan dipidana.
”Integritas moral seorang komisioner KPK menjadi sangat penting dalam memberantas korupsi. Ibaratnya, sapu tidak boleh kotor, jika ada bagian yang kotor harus dibersihkan,” kata Fickar.
Menurut Fickar, naik helikopter bukan peristiwa yang aneh. Namun, hal itu bisa jadi persoalan berat jika yang naik helikopter seorang pimpinan penegak hukum yang dipinjami dan difasilitasi pengusaha. Apabila itu yang terjadi, hal tersebut adalah gratifikasi yang merupakan tindak pidana korupsi.
Dia juga mengingatkan, Firli memiliki rekam jejak etik yang kurang baik di masa lalu. Salah satunya menemui seseorang yang sedang diperiksa KPK di luar kantor saat ia menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
Adapun seusai diperiksa, Firli tidak mau berkomentar terkait pemeriksaannya. ”Saya sudah sampaikan biar nanti Dewas yang menyampaikan semua. Mohon maaf. Saya tidak memberikan keterangan di sini. Semuanya tadi sudah saya sampaikan ke Dewas,” kata Firli.
Sebelum diperiksa, Firli menepis tudingan bahwa dirinya bergaya hidup mewah dengan menyewa helikopter saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan akhir Juni lalu. Firli beralasan, penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan tugas.
Usai mengikuti sidang, Boyamin meragukan alasan Firli menyewa helikopter tersebut untuk memenuhi tuntutan kecepatan mobilitas. Sebab, tak ada hal mendesak yang menjadi agenda KPK saat Firli ke Baturaja, Sumatera Selatan. Ia juga pernah mencoba perjalanan dari Palembang menuju Baturaja hanya butuh 4 jam dengan menggunakan mobil.
Boyamin juga mengatakan dalam sidang, dirinya menyampaikan permohonan agar Firli Bahuri dicopot dari jabatan sebagai Ketua KPK dan diturunkan menjadi Wakil Ketua KPK. Ini terutama jika Firli terbukti melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK. ”Jadi, ketua digantikan orang lain,” katanya.
Sidang akan dilanjutkan, Senin (31/8). Anggota Dewas KPK, Syamsudin Haris, mengungkapkan, sidang etik Firli masih akan dilanjutkan karena saksi-saksi yang dipanggil Dewas KPK berjumlah enam orang dan hadir dua orang.
Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean menambahkan, belum ditentukan waktu sidang putusan. Dari informasi yang diperoleh Kompas, sidang putusan akan dilaksanakan pada September.