Di tengah persoalan ganda yang dihadapi kelompok masyarakat sipil, kolaborasi menjadi penting. Untuk itu, persoalan fragmentasi yang muncul sejak reformasi dan problem lain yang menghambat konsolidasi perlu diatasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/DIAN DEWI PURNAMASARI/RINI KUSTIASIH/EDNA C PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi di antara kelompok masyarakat sipil menjadi solusi di tengah tantangan penyempitan ruang kebebasan sipil dan keterbatasan ruang gerak fisik akibat pandemi Covid-19 yang dihadapi masyarakat sipil saat ini. Kolaborasi mendorong kerja-kerja advokasi lebih efektif dan gaung dari isu yang diperjuangkan lebih luas.
Membangun kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil lain salah satunya ditempuh Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang. Kolaborasi ini digiatkan secara daring, terutama setelah pandemi Covid-19 mulai merebak di Tanah Air, Maret lalu.
Direktur Pusako Feri Amsari saat dihubungi, Senin (24/8/2020), mengatakan, kerja sama dengan kelompok masyarakat sipil lain sudah lama dirintis oleh Pusako. Di kala pandemi Covid-19, kerja sama ini tetap terjalin. Perbedaannya, kolaborasi lebih sering digelar secara daring.
”Hasilnya memang belum semaksimal biasanya karena terbiasa offline dalam berbagai kegiatan. Namun, kita menganggap inilah perubahan arah pergerakan masyarakat sipil yang harus diterima di masa pandemi atau dunia masa depan yang penuh gadget,” kata Feri.
Organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah termasuk di antara kelompok masyarakat sipil yang juga intens membangun kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil lainnya selama ini sering berbuah hasil.
”Muhammadiyah selama ini sudah bekerja sama dalam isu-isu demokratisasi, penegakan hak asasi manusia, dan kebebasan sipil lainnya. Banyak di antaranya yang berhasil dengan baik,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Andi Najmi Fuaidi menambahkan, dengan kolaborasi, aspirasi ataupun isu yang diperjuangkan lebih didengar pemerintah atau DPR. ”Dengan kolaborasi terhadap isu yang menjadi konsentrasi publik ini, aspirasi akan didengar oleh pemerintah maupun DPR,” katanya.
Tak sebatas itu, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, kolaborasi membuat tugas advokasi menjadi lebih ringan. Gaung dari isu yang diperjuangkan pun bisa lebih luas. Hanya saja, persoalan yang kerap dijumpai, terutama di tengah pandemi, tidak semua orang dapat menggunakan teknologi digital atau bekerja dan berkoordinasi secara daring.
Problem lainnya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, bergantung pada sikap keterbukaan dari para pengambil kebijakan. Sebagai contoh saat ICJR berkolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil lain, termasuk di dalamnya akademisi, untuk mengkaji revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Agenda yang diperjuangkan bersama tak digubris, dan pihak eksekutif ataupun legislatif tetap berjalan dengan agenda mereka.
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani berpandangan, keberhasilan kolaborasi tidak selalu dalam bentuk output kebijakan pemerintah. Menjadi perbincangan publik, kemudian menjadi isu bersama yang dianggap penting pun sudah menjadi keberhasilan.
”Sebab, terkadang isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi itu masih dianggap sebagai isu pinggiran. Meskipun menyangkut hak dasar, masih banyak masyarakat menganggap isu itu berjarak dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dengan kolaborasi yang berkelanjutan, diharapkan pemahaman masyarakat akan sama tentang isu-isu tersebut,” katanya.
Problem fragmentasi
Sekalipun sejumlah kelompok masyarakat sipil telah berkolaborasi, Ismail masih melihat masih banyak yang kesulitan untuk bekerja sama.
Ini karena setelah reformasi 1998, muncul fragmentasi di kalangan masyarakat sipil. Masuknya sejumlah aktivis ke lingkaran pemerintah terkadang juga dapat memecah belah kelompok masyarakat sipil. Oleh karena itu, ke depan masalah koordinasi dan kolaborasi ini diharapkan dapat terus diperbaiki.
Salah satu pendiri Lokataru Foundation, Nurkholis Hidayat, pun menekankan pentingnya kolaborasi tersebut. Sebab, menurut dia, masyarakat sipil menghadapi fenomena pengerdilan ruang ekspresi yang dapat mendelegitimasi kerja-kerja mereka atau disebut shrinking civicspace. Ini ditandai dengan seretnya pendanaan, kesulitan merekrut sukarelawan, terbatasnya kualitas aktivis, keterbelahan di masyarakat, hingga fragmentasi di kalangan mereka sendiri.
Tahun 2019, tak hanya masyarakat sipil di Indonesia yang merasakan fenomena ini, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Belum sempat bangkit, ancaman lain muncul, yaitu pandemi Covid-19. Pandemi sedikit banyak membatasi ruang gerak konsolidasi, koordinasi, dan advokasi yang dilakukan masyarakat sipil. Dengan kolaborasi bersama berbagai pemangku kepentingan, diharapkan kerja-kerja mereka dapat lebih efektif.
Pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mengingatkan, demokrasi akan sehat manakala ada keseimbangan antara state atau negara dan kekuatan masyarakat sipil.
Keseimbangan itu dapat dicapai ketika unsur masyarakat sipil yang ditopang oleh tiga pilar, yakni lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan kampus atau akademisi, semakin mencirikan dirinya sebagai subyek penyeimbang dan membuat kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan atas nama negara lebih bermakna.
”Pekerjaan rumah ke depan ialah bagaimana masyarakat sipil itu diperkuat dan jangan malah di internal masyarakat sipil ada fragmentasi. Sebab, sebagai sebuah otokritik, masyarakat sipil kita sekarang ada yang menyampaikan misi yang justru kontraproduktif dengan demokrasi. Misalnya, karena ada masyarakat sipil yang mengeruhkan isu-isu identitas, seperti agama dan kesukuan,” kata Arie.
Masyarakat sipil yang terfragmentasi dan sebagian juga telah terkooptasi dengan kepentingan para oligarki pun turut menyumbang sulitnya konsolidasi masyarakat sipil.
Arie meyakini, konsolidasi dan kolaborasi masyarakat sipil dapat dilakukan. Sebab, dalam beberapa kali gerakan membuktikan kolaborasi itu berhasil.
Misalnya, tentang isu antikorupsi, perlindungan terhadap kebebasan pers, pembaruan desa, penyelenggaraan pemerintahan bersih, dan desakan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan.
Gerakan kolaborasi terhadap isu-isu tersebut terbukti cukup berhasil dan berbagai kepentingan yang berbeda-beda dapat disatukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil.
”Kalangan masyarakat sipil punya pengalaman konsolidasi sehingga hal itulah yang harus dihidupkan kembali. Masyarakat sipil punya tantangan yang harus dijawab, yakni membersihkan ruang publik dari kekumuhan yang ditandai oleh fragmentasi politik warisan oligarki, termasuk otokritik untuk diri mereka sendiri,” katanya.