Bu Tejo, Medsos, dan Empat Pilar MPR
Tak hanya untuk bersenang-senang, medsos bisa digunakan untuk sosialisasi dan diseminasi informasi. Pembuat kebijakan pun meliriknya, termasuk menggunakan jasa ”influencer” yang efektivitasnya perlu dikaji kembali.
Media sosial di Tanah Air amat dinamis dalam sepekan terakhir. Seusai refleksi perayaan kemerdekaan RI yang penuh keprihatinan di tengah situasi pandemi Covid-19, tiba-tiba mencuatlah sosok Bu Tejo yang memantik senyuman sekaligus kegemasan warganet. Siapakah Bu Tejo? Bagaimana sosoknya memberikan hiburan dari kesempitan akibat pandemi ini?
Urusan kebangsaan memang tidak ada kaitan langsung dengan sosok Bu Tejo, salah satu tokoh dalam film pendek berjudul Tilik produksi Ravacana Films. Film Tilik yang berarti ”menjenguk” itu viral dan dibagikan secara berantai di berbagai platform media sosial (medsos). Grup-grup percakapan di Whatsapp (WA) dengan cepat membagikan kanal Youtube Ravacana Films yang mengunggah film produksi 2018 itu pada 17 Agustus 2020.
Twitter mencatat, pembicaraan dengan tanda pagar (hashtag) #BuTejo dilakukan oleh lebih dari 7.000 akun hingga Jumat (21/8/2020) malam. Meme Bu Tejo ramai di medsos, berikut stikernya di WA, dengan berbagai ungkapan cadas, seperti, ”dadi wong ki sing solutif ngono lho” (jadi orang yang solutif gitu lho) dan ujaran lain yang dipelintir menjadi ”takkareti bebermu lho” (kuikat karet bibirmu lho), atau stiker berbunyi ”sregepo moco berita soko internet” (rajinlah membaca berita dari internet). Di Instagram (IG), hingga Jumat, ada lebih dari 100 unggahan foto dan video soal Bu Tejo. Film Tilik sendiri ditonton hampir 4 juta kali di Youtube.
Ya, Bu Tejo mengisi keriuhan medsos setidaknya dalam lima hari terakhir. Sosok ini tampil dari kerumunan ibu-ibu di dalam bak truk milik Gotrek, yang sedang melaju dari suatu pedukuhan di Yogyakarta. Mereka akan menjenguk Bu Lurah di rumah sakit, yang berada di pusat kota. Bersama-sama dengan tokoh Yu Nah, Yu Ning, Bu Tri, dan Yu Sam, sosok Bu Tejo itu mencuplik sebagian realitas pengguna medsos di Indonesia, yakni kelompok perempuan berlatar perdesaan, tidak sepenuhnya mengakrabi internet dan medsos. Kalaupun menggunakan medsos, itu terbatas pada platform tertentu, yaitu Facebook, dan tidak semuanya melek literasi digital.
Percakapan mengalir dengan kata-kata menohok dari Bu Tejo, yang dibalas dengan sikap positif Yu Ning yang berusaha menetralkan berbagai pikiran negatif tentang Dian yang keburu menghinggapi ibu-ibu. Argumentasi Bu Tejo yang bernada menuduh rupanya lebih meyakinkan rekan-rekan mereka. Yu Ning yang tidak mudah percaya pada medsos dan internet pun kalah. Apakah penonton gemas? Ya! ”Masyaallah lambene Bu Tejo kudu tak kuncir…” (Ya ampun, mulut Bu Tejo pengin kuikat saja…), tulis seorang penonton di kolom komentar.
Sikap netizen yang diwakili sosok Bu Tejo dengan segala dugaan, dan persepsinya yang menelan mentah-mentah isi medsos, mencerminkan rendahnya literasi digital.
Sikap netizen yang diwakili sosok Bu Tejo dengan segala dugaan, dan persepsinya yang menelan mentah-mentah isi medsos, mencerminkan rendahnya literasi digital. Dalam posisi yang demikian ini, medsos menjadi wahana bagi tumbuhnya realitas semu, meminjam pemikiran Jean Baudrillard, filsuf Perancis. Menurut dia, realitas semu itu kerap dipikirkan sebagai suatu realitas yang lebih ”riil” daripada realitas sesungguhnya atau hyperreality.
Dalam konteks Bu Tejo, realitas Dian di dalam pikirannya itu dikontruksikan melalui tanda-tanda (signs) berupa foto-foto mesra di ponsel, komentar di medsos, informasi dari Bu Tri soal Dian jalan-jalan di mal, pengakuan Bu Tri mendapati suaminya berbincang dengan Dian, pengalaman melihat Dian muntah-muntah di malam hari, serta pikirannya sendiri soal pekerjaan, susuk, dan harta benda Dian yang cepat diraih.
Semua ”potongan” realitas itu menurut Bu Tejo adalah realitas sejati tentang Dian: Dian yang perempuan nakal dan perebut suami orang. Dahsyatnya, medsos menjadi faktor kunci dari realitas semu ini karena Bu Tejo percaya mutlak, internet yang dibuat oleh orang pinter pasti bener. Apakah Bu Tejo benar atau salah soal Dian? Ini persoalan lain lagi.
Medsos dan kebijakan
Tentu tidak semua pengguna internet seperti Bu Tejo, yang percaya begitu saja dengan medsos. Namun, mengandaikan sebagian pengguna medsos di Indonesia sama polanya dengan Bu Tejo, medsos perlu dikelola dengan bijak. Pemahaman terhadap medsos, dampak, dan pengelolaannya mesti dikaji guna memastikan efektivitasnya. Konteks medsos kian menarik, terlebih ketika belakangan ini medsos dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan untuk sosialisasi dan diseminasi informasi, bahkan untuk kebijakan krusial dan fundamental, seperti ideologi dan konstitusi.
Belakangan ini medsos dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan untuk sosialisasi dan diseminasi informasi, bahkan untuk kebijakan krusial dan fundamental, seperti ideologi dan konstitusi.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, misalnya, memanfaatkan medsos untuk sosialisasi empat pilar MPR, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Ia mengaktifkan Bamsoet Channel di Youtube. Bamsoet, panggilan akrab Bambang, berkolaborasi dengan sejumlah artis dan youtuber, yang memiliki jutaan pengikut (follower). Tujuannya membuat empat pilar MPR lebih luas tersosialisasikan, terutama kepada generasi muda. Artis yang diajaknya berkolaborasi antara lain Atta Halilintar, Denny Cagur, Irfan Hakim, Ayu Ting Ting, Baim Wong, dan Andre Taulany.
Pada Juni 2020, misalnya, Bamsoet pernah ngevlog dengan Jessica Iskandar, yang diikuti 23,2 juta akun di IG, sedangkan di Youtube ada 1,8 juta subscriber. Bamsoet juga berkolaborasi dengan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang punya 42,4 juta pengikut di IG dan 16,5 juta subscriber di Youtube. Sosialisasi empat pilar dari para artis itu diharapkan mampu mengenai jutaan orang sekaligus yang mengikuti atau berlangganan konten mereka.
Baca juga : Penggunaan ”Influencer” yang Menjadi Pembicaraan Lagi
”Kolaborasi dengan mereka dalam menyosialisasikan empat pilar MPR ditujukan untuk menyasar generasi muda ataupun kalangan masyarakat yang aktif bermedia sosial melalui Youtube. MPR tak boleh ketinggalan zaman, harus selalu kreatif agar penanaman empat pilar MPR semakin membumi, dan yang tak kalah penting, selalu up to date,” kata Bamsoet.
Sosialisasi melalui medsos akan melengkapi cara konvensional, seperti seminar, diskusi publik, dan lomba. Hal itu dipandang sebagai langkah kreatif dan segar untuk membuat MPR lebih dekat dengan rakyat. Menurut Bamsoet, saat ini masyarakat Indonesia, khususnya generasi Z dan milenial, lebih senang menyaksikan video daripada membaca.
Penggunaan medsos dalam kampanye program pemerintah adalah pilihan menarik. Keberhasilan kampanye di medsos akan sangat ditentukan pada cerita besar atau narasi yang dibangun dan kemampuan influencer, termasuk artis, yang menyampaikan pesan-pesan tersebut.
Dalam kolaborasi dengan Ayu Ting Ting, misalnya, Bamsoet menanyakan sejauh mana pengetahuan Ayu soal empat pilar, peran MPR, bahkan meminta artis itu menyanyikan lagu ”Garuda Pancasila”. Pertanyaan-pertanyaan serupa juga diajukan Bamsoet saat bertemu dengan artis dan influencer di medsos lainnya.
Analis data Iwan Setyawan mengatakan, penggunaan medsos dalam kampanye program pemerintah adalah pilihan menarik. Keberhasilan kampanye di medsos akan sangat ditentukan pada cerita besar atau narasi yang dibangun dan kemampuan influencer, termasuk artis, yang menyampaikan pesan-pesan tersebut.
Hal ini penting karena medsos juga sempat diramaikan dengan penggunaan influencer atau orang yang berpengaruh di medsos untuk mengampanyekan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi akhirnya berujung pada permintaan maaf karena mereka tidak paham isi RUU Cipta Kerja dan akhirnya mundur setelah banyak tentangan di medsos.
”Influencer harus memahami materi atau narasi yang dibangun. Jangan hanya karena dibayar mereka melakukan itu. Sebab, itu memicu ketidakpercayaan orang terhadap pesan mereka. Karena pasti ada pikiran, ah, itu bayaran, dan itu bagian dari kampanye dan sebagainya. Internalisasi nilai-nilai harus terjadi di dalam diri influencer sehingga mereka mendukung kebijakan itu karena tulus dan pilihan rasional, tidak semata-mata karena kontrak,” katanya.
Efektivitas kampanye di medsos itu harus diukur. Monitoring dilakukan dengan melihat berapa orang yang posting di IG, berapa yang like atau dislike, serta bagaimana komentar netizen, positif atau negatif.
Efektivitas kampanye di medsos itu harus diukur. Monitoring dilakukan dengan melihat berapa orang yang posting di IG, berapa yang like atau dislike, serta bagaimana komentar netizen, positif atau negatif. Hal lain yang lebih penting, apakah kampanye itu dapat memancing orang mempraktikkan dan tidak berhenti pada tataran pengetahuan.
Baca juga : Nasib Bisnis ”Influencer” di Tengah Pandemi Covid-19
Hal senada dikatakan pengajar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto. Dalam kampanye empat pilar, misalnya, artis sebaiknya memahami apa yang mereka bicarakan.
”Internalisasi itu akan terlihat, tecermin pada ekspresi simboliknya, apakah itu sungguh karena mereka paham atau tidak,” ujarnya.
Isu-isu berat, seperti konstitusi, dasar negara, dan kebangsaan, menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura, memang tidak mudah disampaikan karena itu semua bukan sekadar pengetahuan atau ucapan, melainkan praktik hidup yang memerlukan keteladanan. Agar tidak jatuh menjadi gimmick di permukaan, kampanye empat pilar seharusnya melibatkan semua lembaga negara sebagai juru bicara dan influencer. Merekalah yang mestinya memberi teladan empat pilar.
”Selama lembaga negara masih menunjukkan bagi-bagi kursi kekuasaan dan pembuatan legislasi tidak mengindahkan amanat rakyat serta nilai moral konstitusi, ya, kampanye itu akan percuma. Tidak perlu juga influencer dan artis sebab lembaga negaralah yang mestinya berperan menjadi influencer bagi publik,” kata Charles.
Setiap upaya menguatkan kebangsaan, dasar negara, dan konstitusi tentulah diapresiasi. Medsos adalah instrumen dan bagian dari strategi komunikasi. Namun, publik tentu berharap, jangan sampai kita semua terjebak seperti lambe lamis Bu Tejo, yang ciamik berkata-kata, berpropaganda, tetapi ketika tiba bagiannya untuk turut mendorong truk yang mogok, dia malah berpangku tangan….
Baca juga : Blunder Pemerintah soal ”Influencer”