Pencalonan Mantan Napi Korupsi, Indikasi Kegagalan Kaderisasi Partai
Meski dimungkinkan secara legal, pencalonan mantan napi kasus korupsi sebagai calon kepala daerah menjadi praktik pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat. Hal ini bisa dibaca sebagai sikap permisif pada korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencalonan mantan narapidana korupsi oleh partai politik untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 mengindikasikan bahwa partai mengalami krisis kader. Bahkan, itu menunjukkan partai masih sangat permisif terhadap praktik korupsi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Jumat (21/8/2020), mengatakan, potensi pencalonan mantan napi korupsi sangat besar setelah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diterbitkan. Dalam PKPU tersebut, mantan napi korupsi diperbolehkan mengikuti kontestasi pilkada setelah lima tahun keluar dari penjara.
Kondisi ini, menurut Titi, tentu sangat ironis di tengah korupsi yang menjadi tantangan dan masalah besar bangsa Indonesia. Sistem demokrasi pun mensyaratkan tata kelola pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan transparan. Oleh karena itu, semestinya komitmen memerangi korupsi dilakukan secara menyeluruh, termasuk parpol.
”Pencalonan mantan napi korupsi oleh parpol meski dimungkinkan secara hukum, tetapi ini merupakan pendidikan politik yang buruk bagi publik, terutama ketika kita berusaha secara maksimal memerangi perilaku koruptif di masyarakat,” ujar Titi.
Pendaftaran calon kepala daerah yang akan berlaga di 270 wilayah dalam Pilkada Serentak 2020 dibuka pada 4-6 September mendatang. Masa kampanye mulai 26 September dan pemungutan suara pada 9 Desember.
Titi menyampaikan, pencalonan kembali mantan napi korupsi memberi impresi kepada publik bahwa parpol mengalami krisis kader. Ini sangat disayangkan karena kader tersebut sebenarnya sudah gagal di dalam melakukan kepemimpinan politik akibat perilaku korupsi yang pernah dibuatnya.
”Seharusnya, kalau mereka memang punya kaderisasi yang baik, maka diberi ruang bagi kader-kader yang sebenarnya punya rekam jejak bersih dan tanpa korupsi untuk dicalonkan,” kata Titi.
Pencalonan mantan napi korupsi ini juga bisa ditangkap oleh pemilih sebagai sikap permisif parpol pada praktik korupsi. Ini merupakan pendidikan politik yang tidak baik di dalam demokrasi.
Selain itu, lanjut Titi, pencalonan mantan napi korupsi ini juga bisa ditangkap oleh pemilih sebagai sikap permisif parpol pada praktik korupsi. Ini merupakan pendidikan politik yang tidak baik di dalam demokrasi.
”Korupsi adalah perilaku yang sangat mencederai hati rakyat yang dan perilaku yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi,” ucap Titi.
Menurut Titi, parpol tidak bisa serta-merta menyebut pilihan akhir tetap di tangan pemilih. Sebab, seharusnya parpol menjadi garda terdepan dalam menunjukkan komitmen antikorupsi. Masyarakat hanya di hilir, hulunya ada di parpol sehingga partai seharusnya menunjukkan komitmen antikorupsi itu dan menjadi alat penyaring kehadiran figur-figur bersih di pilkada.
”Tidak bisa dengan sikap pragmatis, parpol mengatakan, nanti masyarakat yang akan menentukan. Itu adalah sikap tidak bertanggung jawab dari parpol. Jangan menggunakan pendekatan pragmatis yang justru menjerumuskan masyarakat dengan tetap mencalonkan figur-figur yang kurang merefleksikan komitmen antikorupsi,” kata Titi.
Selain itu, tutur Titi, berkaca pada sejumlah peristiwa selama ini, kasus korupsi berulang. Kepala/wakil kepala daerah yang sudah pernah divonis korupsi kembali melakukan korupsi saat menjabat kepala/wakil kepala daerah.
Kepala/wakil kepala daerah yang sudah pernah divonis korupsi kembali melakukan korupsi saat menjabat kepala/wakil kepala daerah.
Kasus terbaru, Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang ditangkap tangan KPK karena diduga menerima hadiah atau janji pengisian jabatan, Juli 2019. Pada 2014, Tamzil divonis bersalah dalam kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kudus. Setelah bebas pada 2015, dia maju pada Pilkada Kudus 2018 dan terpilih.
”Belajar dari Kudus, masa jeda itu tidak ada jaminan bahwa mereka akan melakukan kepemimpinan yang bersih. Karena itu, sangat penting parpol tidak menjerumuskan pemilih dengan pilihan-pilihan yang berisiko,” ujar Titi.
Apalagi, menurut Titi, pilkada kali ini digelar di tengah masa krisis. Publik memerlukan kepemimpinan yang mampu membawa daerah keluar dari dampak krisis akibat pandemi.
”Mempertaruhkan kepemimpinan daerah kepada mantan napi korupsi sama saja dengan membawa ketidakpastian daerah keluar dari situasi krisis. Jadi, pilkada yang berisiko dan mahal ini seharusnya didekati dengan upaya maksimal dari partai dengan melahirkan kader-kader terbaik,” ucap Titi.
Mengungkapkan kepada publik
Di dalam Pasal 4 Ayat (1) Huruf g tertulis, bagi mantan napi yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya wajib secara jujur atau terbuka mengemukakan kepada publik.
Secara rinci, di Pasal 4 Ayat 2a disebutkan bahwa pengumuman kepada publik itu dilakukan dalam bentuk iklan pegumuman di media massa harian lokal sesuai dengan daerah calon yang bersangkutan mencalonkan diri dan/atau nasional yang terverifikasi pada Dewan Pers.
Isi pengumuman tersebut, yaitu latar belakang jati dirinya sebagai terpidana tidak dalam penjara atau mantan terpidana, jenis tindak pidananya, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Iklan pengumuman pun dilakukan dengan ketentuan paling sedikit satu kali dalam rentang waktu sejak masa pendaftaran sampai dengan sebelum masa perbaikan. Iklan tersebut paling kecil berukuran 135 milimeter kolom x 4 kolom atau setara dengan 1/8 (satu per delapan) halaman koran yang dimuat di halaman satu, halaman tiga, atau halaman terakhir.