Di era otonomi daerah, inovasi dan kreativitas pemda dalam membuat program-program yang mampu mengungkit kekayaan SDA untuk kesejahteraan wilayahnya jadi tantangan besar. Ini penting guna mengatasi ketertinggalan daerah.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fakta masih terjadinya ketimpangan keadilan sosial antara bagian barat dan timur Indonesia menuntut respons pemerintah daerah agar lebih inovatif dan kreatif dalam mengatasi keterbatasan. Program-program pengentasan rakyat dari kemiskinan, perluasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta perbaikan demokratisasi yang selama ini menyumbang pada terjadinya ketimpangan di wilayah timur Indonesia semestinya dijadikan skala prioritas oleh setiap kepala daerah untuk ditangani.
Kesenjangan dalam pemenuhan keadilan sosial terpotret dari Indeks Keadilan Sosial Indonesia (IKSI) tahun 2018 yang diluncurkan Indonesia Social Justice Network (ISJN). Indeks yang memotret kualitas keadilan sosial 34 provinsi di Indonesia itu diukur dari delapan dimensi, yakni pengentasan warga dari kemiskinan, akses layanan pendidikan, layanan kesehatan, kohesi sosial, dan nondiskriminasi. Selain itu, lapangan kerja inklusif, keadilan antargenerasi, penegakan hukum serta demokrasi, dan tata kelola publik.
Secara nasional, skor IKSI 63,46 dari total 100. Artinya, sekitar 63 persen warga Indonesia terpenuhi keadilan sosialnya. Skor tinggi IKSI didominasi provinsi-provinsi di Jawa dan Sumatera, misalnya DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Kepulauan Riau. Sebanyak 13 provinsi memiliki skor IKSI di bawah rata-rata nasional. Provinsi dengan skor IKSI terendah adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Kalimantan Barat (Kompas, 21/8/2020).
Pengajar Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Heruanto Hadna, yang dihubungi, Jumat (21/8/2020), mengatakan, banyak aspek yang memicu terjadinya ketimpangan antara bagian barat dan timur Indonesia. Bahkan, sebenarnya ketimpangan sosial itu juga terjadi di setiap daerah, baik di wilayah timur maupun barat Indonesia. Namun, secara umum memang Indonesia bagian timur menghadapi persoalan ketimpangan yang mencolok jika dibandingkan dengan Indonesia bagian barat.
”Beberapa hal menjadi pemicu, misalnya tentang ketersediaan infrastruktur, misalnya panjang jalan, ketersediaan bandara dan pelabuhan, serta akses kepada pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar masyarakat, selain keterbatasan pada akses sumber daya alam (resources),” katanya.
Selama ini ada persoalan inovasi di daerah. Sebagian pemda masih terkungkung pada pola atau sistem administrasi yang kaku. Hal itu membuat mereka kurang kreatif dan inovatif.
Pada kenyataannya, menurut Agus, kawasan timur Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) ternyata belum mampu menjadi modal pendorong bagi kemajuan atau kesejahteraan sosial warga setempat. Ketimpangan kesejahteraan masih terjadi antara wilayah barat dan timur Indonesia. Dalam kondisi ini, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah (pemda) setempat dalam membuat program-program yang mampu mengungkit kekayaan SDA itu menjadi modal berharga bagi kesejahteraan wilayahnya menjadi tantangan besar. Terlebih lagi di era otonomi daerah.
”Selama ini ada persoalan inovasi di daerah. Sebagian pemda masih terkungkung pada pola atau sistem administrasi yang kaku. Hal itu membuat mereka kurang kreatif dan inovatif. Ketika berhadapan dengan kata inovasi, di benak mereka adalah setiap program yang ada kaitannya dengan digitalisasi, atau yang programnya dimulai dengan huruf ’e’, seolah menandai program itu sudah inovatif karena menerapkan mekanisme elektronik atau digital,” tutur Agus.
Pemahaman yang terbatas tentang inovasi itu membuat kepala daerah tidak cukup membuka cakrawala mereka bahwasannya inovasi lebih dari sekadar program berbasis teknologi informasi atau digitalisasi. Namun, titik berat inovasi ialah pada kekuatan berpikir dan menemukan ide-ide terobosan baru yang bisa membawa kesejahteraan rakyat dan perbaikan bagi pelayanan publik.
Optimalisasi pada potensi daerah, baik SDA, budaya, sejarah, industri, maupun kekayaan pangan, misalnya, membawa nilai tambah bagi daerah bersangkutan untuk bisa menaikkan kesejahteraan warganya, dan dengan sendirinya mengurangi ketimpangan dengan daerah lain. Namun, diakui Agus, wilayah timur Indonesia menghadapi tantangan tidak ringan karena aksesibilitas yang terbatas karena infrastruktur belum memadai, dan kondisi geografis yang berbukti-bukit, atau dikelilingi lautan.
Inovasi itu pun sebaiknya dilembagakan dan tidak semata-mata bergantung pada kepala daerah. Banyak daerah yang semula cukup inovatif karena dipimpin oleh kepala daerah yang visioner, perlahan mengalami kemunduran karena kepala daerah pengganti tidak memiliki spirit yang sama dengan kepala daerah sebelumnya.
Kedua, menurut Agus, inovasi itu pun sebaiknya dilembagakan dan tidak semata-mata bergantung pada kepala daerah. Banyak daerah yang semula cukup inovatif karena dipimpin oleh kepala daerah yang visioner, perlahan mengalami kemunduran karena kepala daerah pengganti tidak memiliki spirit yang sama dengan kepala daerah sebelumnya. Kondisi ini mensyaratkan inovasi itu untuk dilembagakan ke dalam suatu aturan sehingga sekalipun kepala daerah berganti, program inovatif itu masih dapat diteruskan.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Abdullah Azwar Anas mengatakan, pemda di wilayah timur Indonesia perlu membuat skala prioritas di wilayahnya masing-masing, terutama yang terkait dengan pendidikan, kesehatan, demokratisasi, dan aspek-aspek lain yang masih tertinggal dari kawasan barat Indonesia. Skala prioritas itu memungkinkan kepala daerah di wilayah timur untuk mengatasi ketertinggalan dari daerah lain pada aspek-aspek tertentu. Selain itu, inovasi dan kreativitas dalam menggerakkan potensi daerahnya juga amat menentukan perkembangan daerah.
”Di sisi lain, teman-teman kepala daerah di wilayah timur itu mengalami kendala dalam anggaran, terutama untuk daerah-daerah pemekaran baru. Oleh karena itu, tantangan memang berat karena anggarannya masih bergantung pada pemerintah pusat. Ini realitasnya. Di satu sisi pemekaran itu dilakukan untuk mempercepat kesejahteraan warga. Namun, karena ada keterbatasan anggaran, maka terjadi kendala soal itu,” katanya.
Selain itu, untuk sektor pendidikan dan kesehatan, yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, ketersediaan pegawai juga tidak mudah dipenuhi, khususnya dari kalangan aparatur sipil negara (ASN). Sebagai contohnya untuk wilayah timur Indonesia, penyediaan tenaga guru dan dokter juga masih jauh dari harapan. Kondisi ini memerlukan kebijakan afirmatif dari pemerintah pusat.
”Dalam hal penyediaan guru dan dokter, ini memerlukan kebijakan afirmatif dari pemerintah pusat. Distribusi SDM diharapkan lebih merata, yakni tidak hanya di Jawa, tetapi juga di daerah lain. Seperti yang kerap terjadi, PNS (pegawai negeri sipil) yang diangkat di Papua, misalnya, hanya bertahan dua sampai tiga tahun di sana, lalu dipindahkan ke Jawa. Bila ini terus berlanjut, tentu sulit menyediakan tenaga yang berkapasitas di wilayah timur,” tutur Azwar Anas yang juga Bupati Banyuwangi, Jawa Timur.
Pemerintah pusat, menurut Azwar Anas, mulai memberikan perhatian atas penyediaan PNS di kawasan timur. Demikian pula untuk kebijakan afirmasi pada sisi anggaran. Sebagai contohnya ialah dana otonomi khusus (otsus) di Papua yang dipandang cukup menolong bagi keterbatasan anggaran daerah. Namun, untuk mengungkit kemajuan daerah, peran pemda amat dibutuhkan untuk memastikan dana itu termanfaatkan dengan baik.
”Sebaiknya dana itu tidak hanya untuk membangun infrastruktur di daerah, tetapi juga disesuaikan dengan skala prioritas pembangunan di daerah. Kami harapkan teman-teman (kepala daerah) bisa menguraikan skala prioritas itu dari kebutuhan masyarakatnya sehingga kesenjangan itu dapat diminimalkan,” ujarnya.
Problem klasik
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, ketimpangan antara wilayah barat dan timur Indonesia merupakan persoalan klasik, dan seharusnya hal itu tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi. Untuk mengatasi hal itu, perlu segera ada koreksi struktural yang mendasar terkait politik pembangunan secara nasional.
Ketimpangan antara wilayah barat dan timur Indonesia merupakan persoalan klasik, dan seharusnya hal itu tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi. Untuk mengatasi hal itu, perlu segera ada koreksi struktural yang mendasar terkait politik pembangunan secara nasional.
Robert mengatakan, banyak daerah yang tergantung pada pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat juga perlu memberikan perhatian dan memastikan negara hadir di daerah.
”Bukan berarti daerah diurus oleh pusat, karena bukan demikian maksud otonomi daerah. Namun, sebaiknya juga harus ada evaluasi, dan monitoring, serta pembinaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pencapaian target-target pembangunan. Dengan demikian, ada kepastian ukuran dalam menilai kinerja pemda,” katanya.
Menurut Robert, pencapaian pada kebutuhan dasar, yakni seperti tertuang dalam 17 item Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) bisa menjadi kerangka acuan bagi pemerintrah pusat untuk mengontrol sejauh mana dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) yang ditransfer ke daerah itu dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.