Oposisi dibutuhkan dalam demokrasi sebagai penyeimbang. Gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia pun ingin berperan sebagai alat kontrol. Mampukah KAMI jadi kekuatan penyeimbang atau justru cuma intrik politik?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Sejumlah tokoh mendeklarasikan gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Sejumlah keprihatinan dilontarkan, termasuk soal menguatnya politik oligarki. Akankah KAMI mampu jadi kekuatan penyeimbang dalam demokrasi RI?
Dalam demokrasi, oposisi dibutuhkan sebagai penyeimbang. Sejak Partai Gerindra bergabung dengan pemerintah, tinggal Partai Keadilan Sejahtera yang berperan sebagai oposisi di parlemen. Ketidakseimbangan ini membuat DPR dipandang sebagai stempel pemerintah saja. Hingga pada akhirnya, muncul gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI yang ingin berperan sebagai kontrol sosial.
KAMI dideklarasikan di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada 18 Agustus 2020. Sejumlah tokoh hadir dalam deklarasi tersebut, di antaranya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, Din Syamsuddin, Meutia Hatta, Titiek Soeharto, Ichsanuddin Noorsy, Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, dan Ahmad Yani.
Bahkan, deklarasi ini juga dihadiri Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al-Shun. Namun, pada akhirnya Kedutaan Besar Palestina memberikan keterangan resmi bahwa Zuhair hadir karena menganggap kegiatan tersebut acara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada delapan tuntutan KAMI, mulai dari praktik oligarki, politik dinasti, hingga pemulihan ekonomi. Deklarasi itu mengundang polemik. Tidak sedikit yang menilai KAMI merupakan barisan sakit hati terhadap Presiden Joko Widodo atau hanya sekadar intrik.
Tidak sedikit yang menilai KAMI merupakan barisan sakit hati terhadap Presiden Joko Widodo atau hanya sekadar intrik.
Dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV bertema ”KAMI, Intrik atau Kritik?”, Rabu (19/8/2020), yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, gerakan KAMI diperbincangkan. Narasumber yang hadir adalah deklarator KAMI, Said Didu; politisi PDI Perjuangan, Aria Bima; Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi; dan Pemimpin Redaksi Tirto.id Sapto Anggoro.
Kebuntuan aspirasi
Said Didu mengungkapkan, justru KAMI yang sedang kena intrik. Sebelum hingga setelah deklarasi, intrik tersebut masih berjalan dengan berbagai gelar yang disematkan kepada mereka. Bahkan, aplikasi Whatsapp deklarator KAMI dibajak dan aplikasi Zoom yang mereka gunakan dibobol.
”Kami tidak tahu apakah diperhitungkan oleh pemerintah, tetapi orang yang bisa melakukan itu punya kebebasan melakukan apa pun,” kata Said.
Ia menegaskan, KAMI lahir setelah berbagai tokoh secara individual menyampaikan keprihatinannya atas berbagai masalah di Indonesia. Namun, saluran untuk menyampaikan aspirasi tersebut telah putus karena terjadi oligarki kekuasaan.
Menurut Said, apa yang diinginkan oleh pemerintah akan disetujui DPR. Misalnya, pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan, ideologi negara Pancasila pun berani diotak-atik. Hal tersebut dinilai sangat berbahaya.
Setelah berkumpul selama tiga bulan, mereka menganggap, kalau tidak ada kelompok yang menyelamatkan NKRI, fondasi negara ini akan rusak. Karena itu, beberapa orang bersatu untuk menyelamatkan NKRI.
Said menampik ada agenda tertentu di balik berdirinya KAMI seperti keinginan untuk menjatuhkan pemerintah. KAMI hanya ingin menjadi penyambung aspirasi rakyat karena jalur aspirasi saat ini telah buntu. Sebab, DPR telah menjadi bawahan presiden.
Namun, menurut Aria Bima, apa yang dikatakan Said hanya sensasional dan tidak argumentatif. ”Kritik itu oke. Harusnya kritik itu solutif. Yang kita tunggu adalah kritik argumentatif yang solutif,” ujar Aria.
Menurut Aria, jika hanya sensasional dan spekulatif, akan membuat rakyat bingung. Ia juga melihat ada beberapa orang di dalam KAMI yang memiliki karakter destruktif yang bisa memainkan intrik dengan ciri tendensius.
Meskipun demikian, gerakan ini dinilai oleh Aria sebagai cermin di DPR. Namun, ia tidak ingin gerakan ini bertujuan untuk memvonis pemerintah.
Kritik itu oke. Harusnya kritik itu solutif. Yang kita tunggu adalah kritik argumentatif yang solutif.
Ia berharap publik memahami situasi pandemi Covid-19 yang terjadi pada saat ini. Situasi yang tidak normal ini telah membuat pemerintah harus mengeluarkan kebijakan dengan cepat untuk mengatasi persoalan seperti penyebaran dan dampak Covid-19.
Oposisi diperlukan
Terlepas dari pro dan kontra terhadap profil tokoh yang ada di dalam KAMI, Sapto Anggoro menegaskan, oposisi diperlukan dalam demokrasi.
”Kita tahu bahwa secara komposisi tinggal PKS saja. Ini tidak hanya berlaku di pusat. Di daerah pun saya melihat sekitar 30 daerah yang melakukan pilkada kemungkinan akan dihadapkan dengan lawan kotak kosong,” tutur Sapto.
Ia menegaskan, sebagai negara yang memilih demokrasi, pemerintahan tidak boleh dikuasai oleh satu pihak mana pun sehingga perlu ada pihak yang menjadi penyeimbang. Karena itu, ketika ada pihak yang memberikan kritik, seharusnya pemerintah menerimanya, termasuk yang tidak solutif. Selanjutnya, pemerintah menyelesaikan permasalahan yang ada.
Akan tetapi, perlu waktu untuk melihat apakah kehadiran KAMI bisa menjadi penyeimbang dalam demokrasi di Indonesia. Sebab, masih banyak syarat yang harus dipenuhi KAMI untuk menjadi sebuah gerakan besar.
Saat ini, menurut Sapto, KAMI masih sebatas gerakan moral dan belum terlalu jauh ke arah gerakan politik. Sebab, dalam beberapa bulan ke depan, tokoh-tokoh yang ada di dalam KAMI kemungkinan bisa berbeda pendapat.
Ia juga melihat tuntutan dari gerakan ini masih standar dan belum fokus. ”(Gerakan) ini masih (bersifat) kritik, belum sampai lari ke intrik. Saya lihat dari output-nya dulu, belum sampai intriknya,” ujar Sapto.
Saya melihat KAMI menjadi semacam oposisi ekstra parlementer, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi banyak aktor atau elite yang memiliki agenda politik berbeda-beda, termasuk dalam rangka (Pemilu) 2024.
Menurut Burhanuddin Muhtadi, sejak bergabungnya Partai Gerindra ke pemerintah, kekuatan Presiden Joko Widodo di parlemen sangat kuat. Alhasil, tidak ada kejutan terhadap proposal kebijakan apa pun yang dibawa oleh pemerintah ke parlemen. Bahkan, di akhir pemerintahan Presiden Jokowi pada periode pertama sebelum Partai Gerindra masuk, semua partai nyaris sama mendukung revisi UU KPK.
Burhanuddin sepakat, kehadiran KAMI baik untuk demokrasi. Namun, gerakan ini masih seperti kapal besar yang membawahkan beragam isu. Hal tersebut terjadi karena banyaknya elemen yang ada di dalamnya.
”Saya melihat KAMI menjadi semacam oposisi ekstra parlementer, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi banyak aktor atau elite yang memiliki agenda politik berbeda-beda, termasuk dalam rangka (Pemilu) 2024. Apa itu salah? Tidak. Apalagi, ada katup penyalur yang tersumbat di parlemen,” ujar Burhanuddin.
Bagi Burhanuddin, pemerintah seharusnya tidak menutup kritik dan membuka dialog. Dalam demokrasi, kritik sekeras apa pun, bahkan tanpa solusi, harus didengarkan karena kritik berbeda dengan menghina. Kritik dibutuhkan agar ada diskursus publik yang bermanfaat untuk perbaikan.
Catatan redaksi:
Ada revisi berupa kata "tidak" pada kalimat: Ia menegaskan, sebagai negara yang memilih demokrasi, pemerintahan boleh dikuasai oleh satu pihak mana pun sehingga perlu ada pihak yang menjadi penyeimbang. Dengan demikian, kalimat yang benar adalah: Ia menegaskan, sebagai negara yang memilih demokrasi, pemerintahan tidak boleh dikuasai oleh satu pihak mana pun sehingga perlu ada pihak yang menjadi penyeimbang. Terima kasih.