Penjara Melebihi Kapasitas, Risiko Penularan HIV/AIDS Tinggi
Aparat penegak hukum mengandalkan strategi pemenjaraan untuk menghentikan kekerasan sehingga menyebabkan penjara-penjara kelebihan penghuni. Perlu dipikirkan pidana alternatif sebagai solusi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perbuatan yang berisiko menularkan HIV/AIDS dinilai tidak tepat jika dikenai ancaman pidana. Sebab, hal itu berpotensi memperparah penularan penyakit tersebut di tengah kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang melebihi kapasitas. Perlu dipikirkan pidana alternatif sebagai bentuk hukuman.
Dari data yang diperoleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), setidaknya 17 persen dari komposisi penghuni di lapas dan rutan saat ini adalah pengguna narkotika, di antaranya pengguna napza suntik (penasun).
Sementara total penghuni rutan dan lapas adalah 236.000 orang. Padahal, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, kapasitas rutan dan lapas hanya 132.000 orang.
Di tengah situasi itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa warga binaan pemasyarakatan (WBP) merupakan populasi kunci penularan HIV/AIDS. Pada triwulan I-2020, transmisi penularan mencapai 0,9 persen.
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, dalam webinar bertajuk ”Bom Waktu Pemasyarakatan”, Selasa (18/8/2020), mengatakan, risiko penularan penyakit semakin besar karena kondisi overkapasitas rutan dan lapas.
”WBP sudah masuk transmisi HIV/AIDS. Artinya, ada kerentanan tersendiri yang harus dikendalikan agar tak tersebar di rutan dan lapas,” ujar Genoveva.
Dalam webinar itu, ICJR memaparkan hasil riset di delapan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan di DKI Jakarta. Sebagai informasi penguat, ICJR juga mengundang Surya Anta, bekas narapidana yang divonis sembilan bulan penjara karena mengibarkan bendera bintang kejora, simbol dari gerakan Papua merdeka, saat berunjuk rasa di Istana Negara, Jakarta, Agustus 2019. Surya beberapa waktu lalu membeberkan sejumlah persoalan yang dijumpainya saat ditahan di Rutan Salemba, Jakarta.
Hadir sebagai penanggap di antaranya kriminolog dari Australian National University Leopold Sudaryono; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkumham Sri Puguh Budi Utami; anggota Komisi III DPR dari Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan; serta Kepala Subdirektorat Penerapan dan Penegakan Hukum dan HAM Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Reza Faraby.
Memprihatinkan
Dari hasil riset, Genoveva memaparkan, kondisi lapas di DKI Jakarta terbilang buruk. Setidaknya empat dari delapan UPT, tahanan atau napi tidak diberikan pakaian dalam. Bahkan, ada dua UPT tidak memberikan pembalut, bra, dan alas kaki secara berkala kepada tahanan serta napi.
Selain itu, tujuh dari delapan UPT hanya memberikan matras sesuai kapasitas kamar, bukan setiap orang memiliki satu matras. Akibatnya, satu matras bisa saja digunakan lebih dari satu orang.
Baca juga: Keliaran-keliaran di Penjara yang Terus Berulang
Dari sisi kesehatan, tujuh dari delapan UPT memiliki klinik. Namun, kondisinya buruk karena minim tenaga kesehatan dibandingkan dengan jumlah penghuni. Tak hanya itu, anggaran dana kesehatan juga terbatas.
Misalnya, di Lapas Salemba, Jakarta, per hari ini, jumlah tahanan dan napi mencapai 1.693 orang. Sedangkan jumlah tenaga kesehatan atau dokter di sana hanya lima orang.
Ironisnya, Genoveva menyebutkan, dari semua UPT, tak ada konseling prates HIV/AIDS. Semua UPT di Jakarta hanya mencatat informasi dasar berkaitan HIV/AIDS yang dialami napi atau tahanan. Konseling prates terkait HIV/AIDS tidak ada.
”Tidak ditemukan adanya pemisahan yang diberlakukan berdasarkan status positif atau negatif, kecuali ada penyakit menular dan wajib isolasi,” ucap Genoveva.
Kendala lain di antaranya ketersediaan akses terhadap alat kontrasepsi tidak dijamin. Pencegahan transmisi virus lewat jarum suntik yang steril juga tak ditemukan di semua UPT. Alasannya, jumlah penasun terus menurun.
”Bagi kami agak naif ketika menurunnya penasun dijadikan alasan. Padahal, penasun masih ada, tetapi tidak ada pelayanan tersedia untuk mengurangi risikonya,” kata Genoveva.
Genoveva menilai kondisi ini semakin parah ketika beberapa perbuatan perilaku berisiko penularan HIV/AIDS terus dijatuhi ancaman pidana. Misalnya, hubungan seksual antara lelaki dan perempuan di luar perkawinan, perbuatan cabul sesama jenis, pekerja seks, dan tindak pidana narkotika.
Menurut dia, perbuatan tersebut seharusnya tidak serta-merta dimasukkan ke dalam penjara, tetapi direhabilitasi atau dicarikan alternatif pidana lain.
”Ketika mereka masuk ke pemasyarakatan karena perbuatan yang melakukan berisiko, akhirnya dia bisa melakukan hal yang sama. Semakin parah ketika rutan dan lapas tidak memiliki kemampuan menangani mereka akibat overcrowded napi dan tahanan,” kata Genoveva.
Realita lebih buruk
Surya Anta menilai, secara khusus di Rutan Salemba, realitasnya lebih buruk dibandingkan dengan hasil riset itu. Ketika ia masuk Rutan Salemba, kapasitasnya 1.500 orang, tetapi diisi hampir 4.300 orang.
Ketika Surya masuk di barak penampungan selama sebulan, setidaknya di sana ada 420 orang di mana kapasitasnya hanya sekitar 100 orang. Dengan isi tahanan yang melebihi kapasitas itu, hanya terdapat dua WC dan air hanya keluar tiga hari sehari. Banyak tahanan juga tidak bisa tidur di matras.
Ketika Surya di penampungan, ia pertama kali melihat transaksi narkoba. ”Malam hari, saya melihat tali naik-turun untuk transaksi sabu. Jadi, transaksi handphone, ganja, dan lain-lain,” ujarnya.
Itu pun terbukti ketika Surya mulai ditempatkan di blok tahanan. Bahkan, ia menyebut, di kamar-kamar terdapat apotek tempat para warga binaan membeli narkoba jenis sabu atau ganja. ”Di setiap blok rata-rata ada apotek,” ujar Surya.
Soal fasilitas kesehatan, Surya pun melihat klinik di Lapas Salemba sangat jorok. Praktik pungli pun tak terhindarkan untuk mendapatkan obat yang lebih baik. ”Biasanya, kami diperiksa dokter, lalu dokter hanya menanyakan, sakit apa? Lalu, kami dikasih obat dan rata-rata sama obatnya. Padahal, sakitnya beda-beda,” kata Surya.
Sistem peradilan pidana
Leopold Sudaryono melihat persoalan kapasitas rutan dan lapas sudah ada sejak 2007. Meskipun total tahanan dan napi pada saat itu belum tinggi, ditemukan 70 persen persoalan kapasitas berlebih ini terletak di luar pemasyarakatan.
”Ada pada sistem peradilan pidana terintegrasi, integrated criminal justice system,” ucapnya.
Baca juga: Narkoba Masih Menjadi Masalah Utama di Lapas dan Rutan
Kesalahan terjadi, menurut Leopold, karena pemerintah dan penegak hukum mengandalkan strategi pemenjaraan untuk menghentikan kekerasan. Ancaman pidana dianggap paling efisien dan mudah untuk menghentikan kekerasan. Masyarakat pun melihat strategi ini cara paling tepat untuk menegakkan keadilan.
Ini, lanjutnya, menyebabkan Indonesia meleset dari cita-cita 22 tahun lalu, yang ingin menjadi negara hukum. Akhirnya, Indonesia malah menjadi negara hukuman. ”Kita masih punya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kolonial dan sangat mengandalkan pada pemenjaraan,” tutur Leopold.
Leopold menyampaikan, sebenarnya rancangan KUHP mulai mengenalkan pidana alternatif, seperti kerja sosial dan pengawasan. Namun, hambatan-hambatan dalam pelaksanaan juga ada, misal bersifat opsional tergantung dari hakim. Pasal-pasal yang punitif juga mulai dimunculkan kembali.
”Ini inkonsistensi dalam rancangan KUHP. Jadi, ingin maju ada pidana alternatif, tetapi ditempel juga pasal-pasal sangat punitif yang sangat terbelakang. Jadi, menurut saya, rancangan KUHP ini disahkan saja dulu, tetapi pasal-pasal yang bermasalah dan butuh pembahasan lebih jauh disisihkan,” kata Leopold.
Rehabilitasi
Sri Puguh Budi Utami membenarkan overkapasitas di lapas dan rutan menjadi permasalahan nyata saat ini. Menurut dia, ini terjadi karena amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak dijalankan dengan baik. Seharusnya, penyalah guna narkoba direhabilitasi, bukan dipenjara.
Sri Puguh juga tak menampik persoalan sanitasi yang memprihatinkan di lapas dan rutan. Tak heran, lambat laun ini akan berdampak pada kesehatan napi dan tahanan.
”Berikutnya lagi, sudah pasti gangguan keamanan dan ketertiban. Penyimpangan akan ada, baik oleh oknum petugas maupun oknum penghuni. Dan, yang harusnya tidak terjadi, terganggunya fungsi pelayanan dan pembinaan,” kata Sri Puguh.
Pemerintah, lanjut Sri Puguh, sebenarnya telah menggelontorkan anggaran untuk menambah kapasitas lapas dan rutan, tetapi besarnya anggaran tidak bisa mengejar jumlah orang yang ditahan masuk ke lapas atau rutan.
Kuncinya, menurut dia, sejak awal aparat penegak hukum tidak asal memasukkan pelaku kejahatan ke lapas dan rutan. Penjara seharusnya sebagai pilihan terakhir. Di KUHAP, sebenarnya juga memberikan kesempatan kepada polisi dan kejaksaan untuk melakukan tahanan rumah dan tahanan kota, tetapi upaya itu pun tak dilakukan dengan maksimal.
”Bukan seperti sekarang, malah justru alternatif utama atau pertama. Alhasil, setiap permasalahan diselesaikan dengan menempatkan mereka di rutan,” katanya.
Sri Puguh berharap pidana alternatif bisa dijalankan agar kapasitas rutan dan lapas tidak kian berlebih.
Baca juga: Ombudsman RI Berharap Kemenkumham Benahi Lapas dan Rutan
Sementara itu, Hinca Pandjaitan pun menyampaikan, Komisi III berkomitmen akan menuntaskan rancangan KUHP. Perubahan juga dilakukan pada UU Narkotika. Itu diharapkan dapat membenahi persoalan yang terjadi saat ini di lapas dan rutan.
Menurut dia, ketika napi atau tahanan masuk ke lapas dengan kondisi badan sehat, maka mereka juga harus sehat ketika keluar dari pemasyarakatan.
”Fakta di lapangan tak bisa tutup mata bahwa warga di lapas belum merdeka. Bahkan, posisinya sangat mengenaskan,” ujar Hinca.