Praktik Ketatanegaraan Belum Sepenuhnya Ikuti Konstitusi
Peringatan Hari Konstitusi setiap 18 Agustus dapat menjadi momentum untuk mengevaluasi praktik ketatanegaraan saat ini, juga merefleksikan apakah perjalanan bangsa sudah sesuai dengan tujuan pembentukan negara RI.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik ketatanegaraan dinilai belum sepenuhnya mengikuti kaidah konstitusi. Peringatan Hari Konstitusi diharapkan bisa menjadi momentum untuk semua pihak, utamanya penyelenggara negara dan pemegang kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, agar lebih konsekuen dalam menerapkan semangat dan moral konstitusi.
Upaya untuk memastikan gerak langkah semua elemen bangsa agar sesuai konstitusi ini diangkat menjadi tema bagi peringatan Hari Konstitusi 2020 yang diadakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Peringatan kali ini mengambil tema ”Kita Laksanakan UUD NRI Tahun 1945 untuk Wujudkan Indonesia Maju.”
Peringatan yang dilakukan di Gedung Nusantara IV MPR di Jakarta, Selasa (18/8/2020), itu dihadiri secara virtual oleh Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin dan diikuti pimpinan lembaga negara lainnya, baik secara virtual maupun fisik.
Turut hadir secara virtual Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin. Hadir pula secara fisik Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Nyala Mattalitii, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, dan Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus.
Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam sambutannya mengatakan, peringatan proklamasi kemerdekaan RI merupakan satu-kesatuan dengan peringatan Hari Konstitusi Indonesia pada 18 Agustus 1945. Sebab, pada hari lahirnya konstitusi itu dinyatakan pula cita negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, pada 18 Agustus 1945 juga ditetapkan tujuan negara Indonesia merdeka di dalam pembukaan UUD 1945.
”Peringatan Hari Konstitusi harus menjadi momentum bagi semua elemen masyarakat, bangsa, dan negara untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap sistem ketatanegaraan. Misalnya, ketiadaan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) dalam konstitusi dirasakan telah membuat bangsa ini kehilangan arah dalam mencapai tujuan sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur. Atas dasar itulah, MPR terus menyerap aspirasi masyarakat tentang perlunya PPHN dalam konstitusi,” kata Bambang.
Peringatan Hari Konstitusi harus menjadi momentum bagi semua elemen masyarakat, bangsa, dan negara untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap sistem ketatanegaraan.
Wacana hadirnya PPHN di dalam konstitusi itu merupakan salah satu rekomendasi dari MPR periode 2014-2019. Namun, rekomendasi itu masih dikaji oleh MPR, termasuk dengan menyerap aspirasi masyarakat. Dihubungi setelah acara peringatan, Bambang mengatakan, perkembangan PPHN itu amat bergantung pada dinamika politik di parlemen dan pemerintah.
”Sangat tergantung dari pemerintah dan pimpinan partai politik yang ada di parlemen,” ujarnya.
Bambang mengatakan, wacana perubahan konstitusi harus dikaji saksama dan cermat karena hal itu menyangkut hukum negara, dan hukum tertinggi yang mengatur semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. MPR secara konstitusional diberi kewenangan di dalam Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yakni untuk mengubah dan menetapkan UUD.
Sementara itu, Wapres KH Ma’ruf Amin mengatakan, pembentukan konstitusi haruslah menjadi semangat yang menjiwai seluruh energi bangsa dalam menghadapi berbagai macam tantangan, termasuk dampak-dampak dari pandemi Covid-19.
Pembentukan konstitusi haruslah menjadi semangat yang menjiwai seluruh energi bangsa dalam menghadapi berbagai macam tantangan, termasuk dampak-dampak dari pandemi Covid-19.
Pemerintah pun mengklaim telah membuat capaian dalam mewujudkan empat tujuan bernegara yang dituangkan di dalam konstitusi, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
”Meneladani prestasi gemilang hasil kerja keras, kerja cerdas, dan gigihnya semangat kejuangan para pendiri bangsa, saya mengajak kita semua, para penyelenggara negara, para pimpinan partai, organisasi, tokoh masyarakat serta segenap elemen bangsa Indonesia untuk menggelorakan kembali semangat juang kita sebagai bangsa Indonesia,” tutur Wapres.
Menurut Wapres, krisis tak semestinya membuat warga bangsa lemah ataupun lengah, apalagi menyerah, putus asa dan kehilangan arah. Persatuan dan solidaritas nasional yang menjadi kunci keberhasilan mencapai kemerdekaan semestinya diterapkan pula dalam menghadapi krisis akibat Covid-19.
Dihubungi terpisah, pakar hukum tata negara yang juga mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, mengatakan, wacana mengubah konstitusi dan memasukkan aturan mengenai haluan negara sebaiknya disertai pula dengan kajian akademis yang kuat. Jangan sampai hal itu lebih merupakan keinginan politik daripada kebutuhan bangsa.
”MPR harus pula menerangkan di mana posisi haluan negara itu, apakah seperti GBHN di masa lalu, ataukah berbeda. Kalau seperti masa lalu, timbul pertanyaan karena MPR bukan lagi perwujudan seluruh kedaulatan rakyat. Menurut kami, yang ketika itu merupakan anggota panitia ad hoc Badan Pekerja MPR yang mengamendemen konstitusi, haluan negara sebenarnya ialah Pembukaan UUD, dan haluan itu tinggal diejawantahkan di dalam undang-undang,” kata Palguna.
Menurut kami, yang ketika itu merupakan anggota panitia ad hoc Badan Pekerja MPR yang mengamendemen konstitusi, haluan negara sebenarnya ialah Pembukaan UUD, dan haluan itu tinggal diejawantahkan di dalam undang-undang.
Lebih jauh, Palguna menyoroti belum semua substansi undang-undang selaras dengan semangat dan moral konstitusi. Hal itu, antara lain, terlihat dari adanya substansi undang-undang yang harus dibatalkan oleh MK, di antaranya karena diskriminatif, melanggar hak dan kebebasan orang lain, membatasi kebebasan berekspresi, dan tidak sejalan dengan semangat demokratisasi.
”Terutama itu ialah undang-undang jangan hanya dibentuk karena tuntutan atau kesepakatan politik, mengabaikan semangat dan nilai konstitusi. Bukan pula soal tekstual kata per kata mengikuti konstitusi. Namun, ini soal pembacaan moral konstitusi, yang memuat konsep dan prinsip-prinsip yang mesti diikuti,” katanya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan, sebagai sebuah produk manusia, konstitusi tidak sempurna. Namun, selain mengevaluasi konstitusi, hal lain yang juga penting ialah mengevaluasi sejauh mana konstitusi diterapkan dengan konsekuen oleh penyelenggara negara.
”Yang jadi persoalan ialah para politisi tidak fair menerapkan nilai-nilai konstitusi. Selalu ada upaya merecoki nilai inti UUD, dan nilai itu akhirnya terabaikan oleh niatan dan kehendak politik yang ada,” kata Feri.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, amendemen dapat saja dilakukan oleh MPR karena konstitusi pada dasarnya adalah kesepakatan suatu bangsa pada suatu waktu. Namun, perubahan itu harus dilakukan dengan melibatkan publik seluas-luasnya.
”Pengalaman setiap kali pembahasan RUU oleh DPR yang dilakukan tidak partisipatif dan elitis yang akhirnya mendapat penolakan publik luas seharusnya dijadikan pengalaman oleh MPR,” katanya.