Tuangkan Optimisme dalam Peta Jalan Pembangunan
Optimisme dan harapan tinggi publik yang terlihat saat peringatan HUT Ke-75 RI idealnya diejawantahkan dalam peta jalan pembangunan yang konkret. Dengan demikian, cita-cita Indonesia emas 2045 niscaya akan tercapai.
JAKARTA, KOMPAS — Optimisme dan harapan yang tinggi dari publik dalam perayaan kemerdekaan ke-75 RI idealnya diejawantahkan dalam bentuk peta jalan pembangunan Indonesia yang konkret. Tujuannya, agar segala harapan itu menemukan kanalnya dalam realisasi Indonesia yang adil dan makmur.
Pemerintah dan semua warga bangsa memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama mewujudkan harapan itu dalam realisasi program dan kebijakan pembangunan yang mewadahi kesetaraan pemberdayaan dan kesempatan.
Cendekiawan Yudi Latif saat dihubungi, Senin (17/8/2020), mengatakan, optimisme dan harapan adalah sesuatu hal yang positif bagi bangsa ini. Optimisme itu akan menjadi energi yang sangat besar bagi Indonesia jika mampu diolah dan diwujudkan dalam visi pembangunan Indonesia ke depan.
Cita-cita Indonesia emas 2045 niscaya akan tercapai sepanjang ada kejelasan visi dan peta jalan dalam pembangunan Indonesia yang berorientasi pada potensi yang dimiliki Indonesia. Peta jalan itu pun seharusnya tidak sekadar mengikuti tren atau pola perkembangan negara lain. Sebab, kemajuan setiap negara didorong oleh potensi dan energi yang berbeda-beda.
Baca juga : Bhinneka Tunggal Ika di Upacara Kemerdekaan
”Misalnya, pengembangan teknologi 4.0, yang saat ini banyak disuarakan, seharusnya diarahkan untuk membantu pengembangan potensi yang dimiliki Indonesia. Kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa, sumber daya alam melimpah, yang jika itu disyukuri, yakni dengan cara diolah dengan tepat, Indonesia akan bisa mengembangkan daya saingnya di pentas global,” kata Yudi.
Teknologi 4.0 hanyalah alat dan bukan tujuan itu sendiri. Pengembangan teknologi itu pun bukan berarti fokus hanya pada teknologinya, melainkan pada hal mana teknologi itu diaplikasikan dengan tepat guna.
Tanpa penggunaan teknologi yang tepat pada potensi dan kekayaan yang dimiliki Indonesia, negeri ini akan terseok-seok dan kehilangan jati dirinya. Padahal, dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, Indonesia sangat mungkin mencapai apa yang diamanatkan dalam konstitusi, yakni masyarakat yang adil dan makmur.
”Dengan kekayaan SDA, sulit dipahami Indonesia terancam mengalami defisit pangan. Lalu, dikemanakan SDA yang melimpah tersebut? Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan posisi di daerah tropis yang memungkinkan aneka tanaman bisa tumbuh. Sayangnya, kita masih berorientasi impor pangan. Pemikiran yang digunakan ialah terus beli asalkan harganya murah dan bisa memenuhi kebutuhan pangan,” kata Yudi.
Pengelolaan dari sisi pangan adalah satu contoh saja. Yudi menyebutkan banyak hal yang mesti menjadi perhatian, termasuk sektor energi.
Selama ini, Indonesia sangat tergantung pada batubara. Padahal, banyak jenis energi lain yang jika dikembangkan akan menyumbang signifikan pada upaya pemenuhan energi nasional. Terlebih lagi jika akses pada pengelolaan energi itu dibuka seluas-luasnya kepada masyarakat atau komunitas sehingga muncul alternatif-alternatif pengelolaan energi yang tidak selalu tersentralisasi.
Pelibatan penelitian dan pengetahuan dalam pengambilan kebijakan juga menjadi kunci untuk mendorong daya saing produk Indonesia. Sebagai contoh, pengolahan produk kelapa sawit yang selama ini membuat Indonesia hanya menjadi penghasil bahan mentah.
”Kita hanya menghasilkan CPO (minyak sawit mentah), sedangkan Jepang mau mengimpor limbah kelapa sawit Indonesia itu untuk berbagai produk. Rupanya, kelapa sawit dan turunannya itu semua dapat dikembangkan dalam produk olahan. Tetapi, kita hanya mampu mengembangkannya pada bentuk CPO. Di sinilah letak penting riset dan ilmu pengetahuan dalam membantu industri pengolahan. Kalau perlu, ahli-ahli di LIPI atau lembaga riset lain diterjunkan langsung ke sektor swasta untuk membantu pengembangan produk,” tutur Yudi.
Ciptakan kesetaraan
Untuk mencapai kemakmuran itu, Indonesia pun sebaiknya tidak hanya menggantungkan pada ukuran produk domestik bruto sebab kadang kala ukuran itu tidak mewakili sepenuhnya relaitas pertumbuhan ekonomi warga. Hal lain yang harus dihitung, pengembangan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia sebagai fokus pembangunan.
”Katakanlah ekonomi kita naik sekian persen, sebenarnya ekonomi siapa yang naik? Hal itu menjadi pertanyaan besar ketika ternyata ada 1 persen penduduk menguasai 50 persen kekayaan Indonesia. Kenaikan sekian persen tidak menggambarkan sepenuhnya pertumbuhan ekonomi masyarakat,” ungkapnya.
Yudi pun mengingatkan cita-cita kemerdekaan dalam konstitusi untuk mencapai negara yang adil dan makmur. Makmur dimaknai tidak sekadar kaya secara ekonomi, tetapi juga ada unsur perbaikan kemaslahatan sosial dan kualitas manusianya.
Dalam hal ini, kesetaraan kesempatan dan kesetaraan pemberdayaan menjadi kunci bagi orientasi pemerintah dalam merumuskan peta jalan pembangunan nasional ke depan. Kesetaraan kesempatan dan pemberdayaan memungkinkan setiap manusia Indonesia mengakses pendidikan dan kesehatan serta bentuk pelayanan lain.
Baca juga : Serba Sederhana di Peringatan Kemerdekaan
Oleh karena itu, menurut Yudi, birokrasi harus dijauhkan dari berbagai kepentingan politik yang bisa memicu mereka melakukan pembedaan perlakuan.
”Harus dipikirkan pula, bagaimana agar kontestasi lokal itu tidak menarik birokrasi dalam sikap perilaku pelayanan kepada publik yang parsial,” ujarnya.
Yudi menilai, dari sisi persatuan dan kesatuan, Indonesia memiliki modal besar karena relatif mampu mengelola perbedaan-perbedaan itu dalam harmoni.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dapat menjadi perekat yang riil di masyarakat sehingga setiap orang, apa pun suku dan adatnya, dapat memahami makna yang sama. Banyak contoh negara yang tercerai-berai karena tidak memiliki bahasa yang menyatukan.
Ujian Covid-19
Dihubungi terpisah, Rektor Universitas Paramadina Firmanzah mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi ujian bagi Indonesia yang terlebih dulu harus dihadapi sembari menyiapkan langkah selanjutnya menuju 2045. Optimisme dan harapan publik yang tinggi menjadi modal berharga bagi Indonesia untuk cepat keluar dari krisis.
”Pemerintah sebaiknya segera mencairkan stimulus ekonomi yang direncanakan untuk mendorong membaiknya perekonomian nasional. Kemampuan kita menghadapi pandemi, yakni dengan mengatasi problem kesehatan terlebih dulu, dan baru kemudian mengatasi kendala ekonomi, akan sangat menentukan apakah kita terjatuh ke dalam krisis ekonomi yang lebih dalam ataukah tidak,” ujarnya.
Optimisme itu pun, menurut Firmanzah, harus diikuti dengan tindakan nyata pemerintah dalam meningkatkan daya saing Indonesia di pentas global. Daya saing itu dapat ditingkatkan dengan memperbaiki regulasi, meningkatkan kualitas produk, dan melakukan debirokratisasi usaha.
”Indonesia sebenarnya sudah on the track dalam memastikan itu semua. Hanya saja, yang harus dihadapi dulu ialah dampak pandemi. Sepanjang stimulus ekonomi itu cepat dicairkan, ekonomi Indonesia berpotensi membaik di tengah pandemi,” katanya.
Selain memastikan fundamen ekonomi kuat, lanjutnya, Indonesia harus mulai memikirkan keberagaman dan persatuan Indonesia.
”Saat ini orang banyak berbicara soal kebinekaan, tetapi lupa juga bahwa ada ketunggalikaan. Artinya, orang hanya mengedepankan perbedaan, tetapi tidak mengingat bahwasanya yang berbeda-beda itu satu. Hal itu yang harus mulai dipikirkan oleh pemerintah, yakni bagaimana membangun perasaan bersatu sebagai bangsa. Cara yang bisa ditempuh antara lain melalui pendidikan,” katanya.
Momen persatuan
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo dalam keterangannya mengatakan, peringatan kemerdekaan ke-75 RI dalam suasana pandemi Covid-19 telah menyadarkan semua pihak bahwa bangsa Indonesia belum terlepas dari berbagai bentuk penjajahan.
Bukan penjajahan atas nama kolonialisme ataupun imperialisme dalam bentuk intervensi militer. Namun, ini merupakan penjajahan atas rasa takut terhadap kesehatan, penjajahan atas rasa takut terhadap kebodohan, dan penjajahan atas rasa takut terhadap kemiskinan.
Salah satu yang harus pula dicermati dan dijadikan bahan refleksi bagi pembangunan Indonesia di masa depan ialah masih dalamnya kesenjangan. Pendapat tersebut, lanjut Bambang, kini semakin nyata, bahwa hanya segelintir orang ang memiliki akses terhadap kekayaan.
Laporan Global Wealth Report 2020 dari Boston Consulting Group menempatkan Indonesia di peringkat keempat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.
”Walaupun kekayaan per orang meningkat enam kali lipat selama periode 2000-2016, setengah aset kekayaan di Indonesia dikuasai hanya 1 persen orang terkaya. Kesenjangan antara kaya dan miskin mencapai 49 persen. Ini memperlihatkan, kekayaan rata-rata penduduk Indonesia masih rendah,” katanya.
Baca juga : Presiden Pimpin Upacara Peringatan Kemerdekaan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, peringatan kemerdekaan harus menjadi momentum untuk menguatkan persatuan dan kerja gotong royong mewujudkan Indonesia maju.
Politik pembangunan Indonesia, ujar Puan, dapat diarahkan untuk mempercepat pembangunan manusia Indonesia, menguatkan industri pangan nasional, menata industri nasional yang kuat, memeratakan pembangunan infrastruktur, serta mengoptimalkan reformasi birokrasi.
”Indonesia maju adalah tujuan kita semua. Kita bisa mewujudkannya bersama, bergotong royong, dan mengarahkan politik pembangunan nasional kita,” katanya.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Puan mendorong pemerintah untuk meningkatkan penanganan pandemi Covid-19 agar dampaknya tidak meluas menjadi krisis ekonomi dan krisis sosial. ”Layanan kesehatan harus ditingkatkan dan merata. Kita juga harus mandiri dalam menyediakan vaksin Covid-19 dan menjaga perekonomian nasional,” ujarnya.