Tim kerja DPR dengan perwakilan buruh akan mulai membahas pasal per pasal RUU Cipta Kerja pada 18 Agustus. Perwakilan buruh yang bergabung dengan tim itu menegaskan tetap akan bersikap kritis atas substansi RUU tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kelompok buruh telah sepakat untuk membentuk tim kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam membahas pasal per pasal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, buruh diharapkan masih dalam posisi kritis untuk melihat substansi RUU Cipta Kerja. Di sisi lain, pembuat UU juga diharapkan mengkaji substansi RUU dengan cermat.
Juru bicara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono, saat dihubungi, Minggu (16/8/2020), mengatakan, pembuatan tim kerja bersama buruh dengan DPR bukan berarti buruh sepenuhnya menerima substansi RUU Cipta Kerja. Sepanjang tim kerja itu menyalurkan aspirasi buruh, KSPI dan elemen buruh lainnya, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani dan KSPSI pimpinan Yorrys Raweyai, akan dapat menerima RUU Cipta Kerja. Namun, bila tim kerja itu justru menyimpang dari masukan buruh, buruh tetap akan menolak RUU Cipta Kerja.
Sebagai contoh, pekerja sektor ketenagalistrikan yang masih mempersoalkan RUU Cipta Kerja. Keberatan mereka, antara lain, disampaikan oleh Serikat Pekerja PLN Persero (SP PLN Persero), Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP), Serikat Pekerja Pembangkit Jawa-Bali (SP PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik-FSPMI (SPEE-FSPMI), dan Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia (Serbuk).
RUU Cipta Kerja justru akan membuat ekonomi masyarakat menjadi lebih terpuruk. Hal ini disebabkan di dalam RUU Cipta Kerja terdapat pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan listrik dikuasai oleh pihak swasta atau asing.
Dalam keterangan persnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (DPP SP PLN) Persero Muhammad Abrar Ali mengatakan, RUU Cipta Kerja justru akan membuat ekonomi masyarakat menjadi lebih terpuruk. Hal ini disebabkan di dalam RUU Cipta Kerja terdapat pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan listrik dikuasai oleh pihak swasta atau asing.
”Jika hal itu terjadi, sangat bertentangan dengan konstitusi dan dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika listrik tidak lagi kuasai oleh negara, hal ini berpotensi menyebabkan kenaikan tarif listrik sehingga harga listrik akan mahal,” kata Abrar.
Ketua Umum Persatuan Pegawai PT Indonesia Power (PP Indonesia Power) PS Kuncoro menambahkan, sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Cipta Kerja, dalam momentum hari kemerdekaan ini pihaknya mendesak agar pembahasan omnibus law dihentikan.
”Semua ini semata-mata untuk memastikan agar listrik sebagai cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak tetap dalam penguasaan negara,” kata Kuncoro.
Pembentukan tim kerja bersama antara buruh dengan DPR tidak berarti buruh menerima substansi RUU tersebut.
Kahar mengatakan, pembentukan tim kerja bersama antara buruh dan DPR tidak berarti buruh menerima substansi RUU tersebut.
”Keliru kalau ada anggapan buruh sudah sepakat dengan substansi RUU Cipta Kerja. Sebab, justru melalui tim bersama itulah kami menyampaikan penolakan kami terhadap RUU Cipta Kerja dan kami menyampaikan masukan kami terhadap RUU Cipta Kerja, yakni agar tidak menyalahi kepentingan buruh. Sebaliknya, jika masukan kami tidak diperhatikan, kami tetap menolak RUU Cipta Kerja,” katanya.
Menurut rencana, buruh dan DPR akan bertemu pertama kali pada 18 Agustus 2020 dan sekaligus akan ditentukan siapa saja anggota tim kerja bersama itu. Semula telah disepakati ada 16 unsur buruh yang dilibatkan dalam tim kerja bersama itu. Adapun perwakilan DPR terdiri dari 40 orang yang merupakan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dari berbagai fraksi. Namun, anggota panja yang mengikuti rapat per rapat akan bergilir dari 40 orang itu.
Sebelumnya, dalam pertemuan buruh dengan DPR pekan lalu, buruh menyampaikan analisa kajian terhadap substansi RUU Cipta Kerja, utamanya kluster ketenagakerjaan.
”Pada pokoknya, dalam tim itu nanti kami akan menyampaikan pikiran buruh terhadap RUU Cipta Kerja. Telah ada kesepakatan dengan DPR bahwa pada prinsipnya kami tidak menginginkan pengaturan mengenai ketenagakerjaan yang ada di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diubah,” kata Presiden KSPI Said Iqbal.
Terkait dengan penolakan terhadap kluster lainnya oleh elemen masyarakat sipil, seperti masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tambang, dan agraria, menurut Said, hal itu wajar saja. ”Pembentukan tim kerja bersama tidak berarti kami tidak menolak RUU Cipta Kerja,” katanya.
DPR hati-hati
Dalam pidatonya pada pembukan masa sidang I tahun 2020/2021, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pihaknya sangat hati-hati dan transparan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
”Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara cermat, hati-hati, transparan, terbuka, dan yang terpenting adalah mengutamakan kesinambungan kepentingan nasional, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang,” ujar Puan.
”Hal ini dilakukan agar undang-undang yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat untuk menjaga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
DPR juga akan tetap melanjutkan fungsi legislasi di tengah pandemi, termasuk pembahasan RUU Cipta Kerja. Dengan mempertimbangkan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 dan kebutuhan untuk melaksanakan tugas legislasi secara maksimal, DPR mengesahkan metode rapat virtual melalui Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
DPR memproyeksikan untuk menyelesaikan seluruh RUU yang masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Dari hasil evaluasi Prolegnas yang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR, sebanyak 37 RUU akan dituntaskan tahun ini, termasuk di dalamnya yang menjadi prioritas ialah RUU Cipta Kerja.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja sangat diperlukan Indonesia di saat pandemi. RUU itu diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Paling tidak ini menjadi solusi di tengah ancaman resesi akibat pandemi. Kuartal kedua kita sudah minus 5,32 persen dan jika tidak segera diantisipasi, kuartal berikutnya kita bisa resesi. Kalau kita resesi, nanti lebih sulit lagi bangkitnya,” kata Willy.
Pembahasan RUU Cipta Kerja sangat diperlukan Indonesia di saat pandemi. RUU itu diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Lampu hijau buruh
Dihubungi terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, kesediaan buruh untuk masuk ke dalam Tim Kerja Bersama dengan DPR untuk mengkaji pasal per pasal adalah langkah bagus untuk membuka ruang komunikasi. Akan tetapi, langkah ini jika dilakukan di tengah situasi pandemi seperti sekarang di mana keleluasaan publik untuk mengontrol pelaksanaan rapat justru rentan memunculkan dugaan seolah-olah buruh melunak berhadapan dengan DPR.
”Kesediaan buruh ini juga bisa dibaca secara politik bahwa kelompok buruh yang selama ini cenderung menolak RUU Cipta Kerja sudah bisa menerimanya. Yang jadi fokus sekarang tinggal hanya bagaimana menyepakati rumusan yang bisa diterima oleh kelompok buruh untuk diatur dalam RUU Cipta Kerja,” ujarnya.
Kondisi ini pun disinyalir menjadi lampu hijau bagi DPR dan pemerintah untuk mengklaim dukungan publik atas pembahasan RUU Cipta Kerja ini karena selama ini kelompok yang terkesan disegani DPR adalah kelompok buruh tersebut. Kesediaan buruh untuk ikut membahas pasal per pasal, kata Lucius, membuat satu persoalan bagi misi percepatan pembahasan RUU Cipta Kerja ini seolah sudah terlampaui. DPR dan pemerintah boleh jadi berpikir untuk segera mengesahkannya.
”Dengan begitu, langkah kelompok buruh ini berisiko dijadikan alat legitimasi pemerintah dan DPR untuk mengklaim RUU ini diperlukan kehadirannya dan oleh karena itu mesti segera pula diselesaikan,” ujarnya.
Kelompok buruh ini berisiko dijadikan alat legitimasi pemerintah dan DPR untuk mengklaim RUU ini diperlukan kehadirannya dan oleh karena itu mesti segera pula diselesaikan.
Padahal, kelompok masyarakat yang mengkritisi RUU Cipta Kerja ini tak hanya kelompok pekerja yang diwakili kelompok buruh. Ada banyak kelompok lain yang masing-masing menyoroti isi RUU tersebut bahkan sebagian langsung menyatakan penolakan. Kelompok-kelompok ini juga merupakan bagian dari publik yang derajatnya sama dengan kelompok buruh. Dengan sudah bergabungnya kelompok buruh dalam proses pembahasan, kelompok lain dikhawatirkan dengan mudah diabaikan oleh DPR dengan menjadikan kesediaan ikut membahas dari kelompok buruh sebagai bukti dukungan publik.
”Dan yang paling penting, partisipasi kelompok masyarakat lain mungkin tak bisa semaksimal kelompok buruh dalam melakukan lobi ataupun aksi ke parlemen karena kondisi pandemi yang masih mengkhawatirkan,” ujar Lucius.
Lucius mengingatkan DPR agar jangan sampai kesediaan kelompok buruh membentuk tim kerja bersama DPR dijadikan senjata pamungkas untuk mengklaim RUU ini sudah menjawab persoalan partisipasi publik. DPR harus tetap membuka ruang bagi masukan dari kelompok lain dengan menyediakan waktu yang tepat agar tak justru mengundang kelompok massa yang bisa mengancam potensi penularan Covid-19.