Kejaksaan Diharapkan Transparan seperti Kepolisian
Kejaksaan Agung dinilai lambat dan tertutup dalam menangani dugaan keterlibatan oknum jaksa dalam kasus pelarian terpidana kasus hak tagih piutang Bank Bali, Joko S Tjandra.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses hukum yang dijalankan Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung terkait dengan kasus Joko Soegiarto Tjandra dinilai berkebalikan. Proses di kejaksaan yang dinilai lambat dan tertutup akan menimbulkan pertanyaan publik.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, ketika dihubungi, Minggu (16/8/2020), mengatakan, publik saat ini dapat melihat proses hukum yang dijalankan Polri dan kejaksaan terkait dengan Joko Tjandra bertolak belakang. Badan Reserse Kepolisian (Bareskrim) terus mengembangkan kasus itu, termasuk dengan menetapkan dua perwira tinggi Polri, sementara proses hukum di kejaksaan tampak tertutup.
”Kepolisian, menurut saya, sangat cepat karena dulu saya mengira anggota kepolisian yang terlibat hanya akan diproses etik dan itu pun rasanya sangat berat. Tapi, ternyata perwira tinggi yang terlibat, yakni PU dan NB, pun ditetapkan jadi tersangka,” kata Boyamin.
Badan Reserse Kepolisian (Bareskrim) terus mengembangkan kasus itu, termasuk dengan menetapkan dua perwira tinggi kepolisian, sementara proses hukum di kejaksaan tampak tertutup.
Boyamin mengatakan, kepolisian telah bertindak cepat dengan mencopot tiga perwira tinggi yang diduga terkait dengan perkara surat jalan dan penghapusan red notice Joko Tjandra dari jabatannya. Mereka adalah Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo (PU), Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho S Wibowo, dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte (NB).
Dalam kasus pembuatan surat jalan serta surat keterangan kesehatan, Bareskrim telah menetapkan PU, ADK, dan JST sebagai tersangka. ADK diketahui sebagai Anita Dewi Kolopaking, sementara JST adalah Joko S Tjandra.
Sementara itu, pada kasus penghapusan red notice Joko Tjandra, Bareskrim menetapkan dua tersangka penerima suap atau hadiah, yakni PU dan NB, serta tersangka pemberi suap, yakni JST dan TS, dengan barang bukti 20.000 dollar AS atau sekitar Rp 298 juta.
Penetapan tersangka terhadap dua perwira tinggi tersebut memperlihatkan bahwa Bareskrim bergerak dengan cepat dan transparan.
Menurut Boyamin, penetapan tersangka terhadap dua perwira tinggi tersebut memperlihatkan bahwa Bareskrim bergerak dengan cepat dan transparan. Sebab, dirinya sempat khawatir, oknum perwira tinggi yang terlibat hanya akan diproses secara etik, bukan pidana.
Selain itu, lanjut Boyamin, Bareskrim sedari awal telah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian, KPK akan mengetahui proses berikutnya, termasuk jika ada hal yang hendak ditutupi.
”Dengan berani terbuka kepada pihak eksternal, yakni KPK, maka itu menandakan kepolisian berani dikontrol,” ujar Boyamin.
Berkebalikan dengan itu, menurut Boyamin, proses hukum di Kejaksaan Agung tampak tertutup. Hal ini dilihat dari sedari awal permintaan Komisi Kejaksaan RI untuk mengklarifikasi Jaksa Pinangki tidak dikabulkan. Sementara laporan hasil pemeriksaan (LHP) terhadap Jaksa Pinangki tidak segera diberi ketika diminta Komisi Kejaksaan.
Demikian pula proses peningkatan perkara dugaan tindak pidana korupsi ke tahap penyidikan dinilai lambat. Hal itu terlihat dari penetapan tersangka yang baru Jaksa Pinangki saja. Sementara Joko Tjandra yang diduga menjanjikan hadiah atau pemberian 500.000 dollar AS belum ditetapkan tersangka.
Jangan-jangan Kejaksaan Agung tidak rela karena ada sesuatu yang ditutupi sehingga tidak memungkinkan bagi pihak luar untuk megetahui, entah itu dari KPK atau Komisi Kejaksaan. (Boyamin Saiman)
Bahkan, lanjut Boyamin, Jaksa Pinangki hanya dijerat dengan pasal yang dinilai ringan, yakni Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana paling lama 5 tahun penjara. Semestinya Jaksa Pinangki juga dijerat dengan Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 UU tentang Tindak Pidana Korupsi.
”Jangan-jangan Kejaksaan Agung tidak rela karena ada sesuatu yang ditutupi sehingga tidak memungkinkan bagi pihak luar untuk megetahui, entah itu dari KPK ataupun Komisi Kejaksaan,” ujar Boyamin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, penetapan tersangka hanya terhadap Jaksa Pinangki tersebut patut dipertanyakan. Sebab, dalam sebuah perbuatan koruptif, tidak mungkin hanya dilakukan satu orang.
”Siapa pemberi suapnya? Lalu, dana yang diterima oleh Pinangki, apakah dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi kejaksaan yang juga turut menerima bagian,” kata Kurnia.
Terkait dengan itu, kejaksaan harus menelusuri dugaan adanya relasi antara Jaksa Pinangki dan oknum di Mahkamah Agung. Sebab, hal itulah yang membuat Pinangki dapat menjanjikan bantuan berupa fatwa kepada Joko Tjandra.
Di sisi internal, menurut Kurnia, Kejaksaan juga harus mengusut dugaan adanya oknum petinggi kejaksaan yang selama ini bekerja sama dengan Pinangki. Oknum tersebut diduga mengetahui sepak terjang Pinangki, tetapi tidak melakukan tindakan apa pun.
”Untuk itu, penting bagi Kejaksaan untuk terus-menerus memberitahukan kepada publik terkait perkembangan penyidikan Jaksa Pinangki,” kata Kurnia.
Meski demikian, sampai berita ini ditulis, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono tidak memberikan jawaban ketika dikonfirmasi Kompas melalui aplikasi pesan singkat. Hari dikonfirmasi mengenai perkembangan penyidikan kasus dugaan tipikor dengan tersangka Jaksa Pinangki.
Sementara itu, kuasa hukum Joko Tjandra, Otto Hasibuan, mengaku belum menerima pemberitahuan resmi tentang penetapan tersangka Joko Tjandra untuk dua kasus berbeda, yakni kasus pembuatan dan penggunaan surat jalan dan kasus dugaan tipikor penghapusan red notice.
”Saya mendengarnya melalui berita-berita di media massa. Secara resmi belum,” kata Otto ketika dihubungi.