Lanjutkan Pembahasan RUU Cipta Kerja, DPR Disebut Khianati Rakyat
Baleg DPR memperkirakan pembahasan RUU Cipta Kerja bisa rampung September. Langkah ini dikecam kelompok masyarakat sipil. "Ini betul-betul pengkhianatan kepada rakyat, sebagai wakil rakyat,” ujar Ketua YLBHI Asfinawati.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pembahasan Rancangan Undang-Undang "omnibus law" Cipta Kerja tetap dilanjutkan di tengah ramainya penolakan sejumlah elemen masyarakat. Kalangan masyarakat sipil menilai hal tersebut menunjukkan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat abai terhadap aspirasi publik.
Kalangan masyarakat sipil menyampaikan somasi ke DPR pada Senin (10/8/2020) di Jakarta. Masyarakat sipil yang tergabung dalam tim advokasi di antaranya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka meminta pembahasan RUU Cipta Kerja dihentikan.
Tim Advokasi untuk Demokrasi menyoroti diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja di masa reses DPR. Tindakan itu dinilai menyalahi UU tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3.
Kemarin Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan saat ini pembahasan RUU Cipta Kerja sudah sekitar 85 persen. Jika tidak ada halangan, maka RUU Cipta Kerja diperkirakan selesai dibahas paling lambat awal September mendatang. Pengesahannya akan dilakukan segera setelah itu (Kompas.id, 14/8/2020).
Terkait hal itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (15/8), mengatakan, seharusnya anggota DPR sebagai wakil rakyat mendengarkan segala aspirasi publik yang muncul belakangan ini terkait RUU Cipta Kerja. Aksi penolakan terhadap RUU tersebut meluas di sejumlah daerah serta melibatkan berbagai elemen.
Misalnya, kata dia, Gerakan Buruh Bersama Rakyat pada Jumat, menggelar aksi demonstrasi di Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Bandung, Solo, Semarang, Cirebon, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Banten, Medan, Jambi, Lampung, Kendari, dan Palu. Perlawanan terhadap RUU Cipta Kerja juga dilakukan di dunia maya dengan tagar #JegalOmnibusLaw. Setidaknya, ada 25 ribu cuitan di Twitter terkait tagar itu.
"Jadi, sangat aneh dan mencolok sekali ketika DPR tetap maraton membahas RUU ini. Mereka tidak membawa kepentingan rakyat. Ini betul-betul pengkhianatan kepada rakyat sebagai wakil rakyat," ujar Asfinawati, yang juga perwakilan Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Menurut Asfinawati, anggota DPR telah membohongi publik karena tetap membahas RUU Cipta Kerja di tengah masa reses, yang seharusnya menjadi kesempatan anggota dewan menyerap aspirasi konstituen.
Padahal, kata Asfinawati, dalam aksi penolakan RUU omnibus law Cipta Kerja pada 16 Juli 2020, DPR berjanji kepada massa dari jaringan buruh tak akan membahas RUU itu saat reses. Bahkan, salah satu unsur pimpinan DPR menyatakan jika pembahasan dilakukan di masa reses, hal itu melanggar aturan.
Tak hanya itu, pada 24 April 2020, Presiden dan DPR sepakat menunda pembahasan kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja demi merespons tuntutan buruh. Namun, menurut Asfinawati, hal itu hanya tipuan politik semata karena kenyataannya pembahasan RUU tetap dilanjutkan bahkan ditargetkan selesai pada awal September.
"Sejak awal, kan, mereka mengatakan kluster ketenagakerjaan tak dibahas dulu. Itu semacam menipu sehingga buruh tidak jadi aksi di awal Mei (Hari Buruh). Padahal, kluster ketenagakerjaan akan tetap dibahas, cuma terakhir. Bukan tidak dibahas. Ini strategi politik DPR dan pemerintah supaya memuluskan pembahasannya," ucap Asfinawati.
Tim Advokasi untuk Demokrasi, lanjut Asfinawati, meminta kepada anggota DPR agar menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Anggota dewan harus mampu menunjukkan bahwa mereka hadir sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai politik atau wakil pemerintah.
Somasi yang telah dikirimkan Tim Advokasi untuk Demokrasi, Senin (10/8), dinilai menjadi bukti cacat formil pembahasan RUU omnibus law. Itu akan menjadi bukti ketika tim ingin menggugat RUU itu ke Mahkamah Konstitusi.
"Setidak-tidaknya dari sana akan terlihat bahwa secara formil sudah tidak memenuhi peraturan perundang-undangan apalagi materiilnya. Namun, kami sebetulnya berharap, tak harus sampai RUU ini disahkan," kata Asfinawati.
Presiden dianggap abai
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menilai, Presiden Joko Widodo abai terhadap kewajiban menyejahterakan masyarakat lewat pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Itu, salah satunya, terlihat dari rencana pengesahan RUU Cipta Kerja.
Padahal, kewajiban menyejahterakan masyarakat lewat pembaruan agraria dan pengelolaan SDA diatur di Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang ditetapkan 9 November 2001.
"Dengan getolnya pemerintah dan DPR mendorong paket omnibus law, khususnya RUU Cipta Kerja, menjadi bukti bahwa produk hukum yang didorong tidak untuk kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Dengan begitu, proses legislasi berlangsung hanya sekadar untuk melayani kepentingan investasi. Dan ini sangat bertentangan dengan semangat Tap MPR IX/2001," ucap Nur.
Nur berharap, di tengah pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi tidak lagi semata bersandar pada praktik ekstraktif, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan hanya menguntungkan segelintir kelompok oligarki. "Solusi semacam itu akan menjadi bom waktu. Dan krisis agraria dan ekologi yang lebih besar sudah menanti di kemudian hari," ujarnya.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno menyampaikan, pesan Ketua DPR Puan Maharani harus dipatuhi oleh seluruh anggota Baleg DPR dalam membahas RUU Cipta Kerja. Pembahasan harus dilakukan secara cermat, hati-hati, dan transparan.
"Yang disampaikan Ketua DPR, kan, jelas. DPR berkomitmen untuk membicarakan RUU ciptaker ini secara hati-hati, cermat, dan transparan. Jadi itu yang dijadikan pegangan. Pembahasannya juga terbuka kok," tutur Hendrawan.
Saat ini, DPR dan pemerintah tinggal menyelesaikan sekitar 1.700 dari 7.197 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja. Sisa DIM itu, lanjut Hendrawan, belum dibahas karena masih menuai perdebatan publik. Di antaranya, Bab IV tentang ketenagakerjaan, Bab X tentang pusat investasi pemerintah, dan Bab XI tentang administrasi pemerintahan.
"Nah, ini tentu tidak secepat membahas DIM yang tetap dan yang hanya berubah redaksionalnya saja. Artinya, perjalanannya akan banyak perdebatan," kata Hendrawan.
Oleh karena itu, Hendrawan agak menyangsikan RUU Cipta Kerja bisa selesai awal September. Ia memprediksikan paling tidak RUU itu rampung Oktober.
Hendrawan merinci, pada setiap rapat kerja, DPR dan pemerintah biasanya dapat membahas sekitar 100 DIM. Apabila tersisa 1.700 DIM, maka setidaknya membutuhkan 17 hari kerja. Lalu, ada tim sinkronisasi dan tim perumus yang bekerja minimal seminggu. Itu berarti total ada 24 hari.
Setelah dari tim sinkronisasi dan tim perumus, masih dibutuhkan seminggu lagi untuk prosedur pembentukan UU di DPR, seperti rapat kerja, rapat fraksi, dan rapat Badan Musyawarah DPR.
"Jadi, itu sebabnya, kalau semua diasumsikan lancar, ya Oktober (selesai). Tetapi, kan, kami memang harus cermat dan hati-hati membahasnya," ujar Hendrawan.
Pembahasan RUU Cipta Kerja kini masih menunggu perbaikan sejumlah pasal dari pemerintah terkait sanksi-sanksi, koordinasi antara lingkungan hidup, dan tata ruang. "Itu yang masih gantung karena pemerintah harus melakukan koordinasi lagi," tuturnya.
Sembari menunggu perbaikan pasal-pasal itu, DPR akan berdialog dengan sejumlah serikat pekerja pada 18 Agustus 2020.