Sekalipun sejumlah kelompok buruh menyepakati pembentukan tim kerja bersama dengan DPR untuk mengkaji RUU Cipta Kerja, elemen buruh dan unsur masyarakat lainnya tetap menolak karena pembahasannya dinilai tak prosedural.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serikat buruh belum satu suara menyikapi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sekalipun sejumlah kelompok buruh telah menyepakati pembentukan tim kerja bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengkaji RUU tersebut, elemen buruh dan unsur masyarakat lainnya tetap menolak RUU Cipta Kerja karena perspektif penyusunan RUU itu dinilai terlalu liberal.
Tidak hanya penolakan dari kelompok buruh, kalangan masyarakat sipil yang bergerak pada bidang lingkungan hidup, agraria, pertanahan, pertambangan, dan demokratisasi juga tetap menolak pembahasan RUU Cipta Kerja diteruskan di DPR. Sejak awal, penyusunan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dipandang menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni dengan tidak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat terkait. Proses yang demikian itu dinilai tidak demokratis dan cenderung hanya mengakomodasi kepentingan pihak tertentu.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya, yang dihubungi Rabu (12/8/2020), mengatakan, pihaknya tetap pada sikap menolak pembahasan RUU Cipta Kerja. Alasannya, penyusunan RUU Cipta Kerja sejak awal menabrak prinsip-prinsip negara demokrasi, negara hukum, dan negara keadilan. Substansi RUU Cipta Kerja itu juga dinilai mengabaikan aspek-aspek ekologis, kesejahteraan, dan kesetaraan. Isi draf RUU Cipta Kerja juga tidak memberikan perhatian kepada buruh perempuan.
Posisi kami kuat dan jelas. Kami berbeda dengan serikat buruh pimpinan Said Iqbal ataupun Andi Gani yang hanya mengedepankan kluster ketenagakerjaan. Kami melihatnya tidak dalam perspektif ketenagakerjaan semata karena kluster-kluster lain juga terancam oleh agenda regulasi yang hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan investor.
”Posisi kami kuat dan jelas. Kami berbeda dengan serikat buruh pimpinan Said Iqbal ataupun Andi Gani yang hanya mengedepankan kluster ketenagakerjaan. Kami melihatnya tidak dalam perspektif ketenagakerjaan semata karena kluster-kluster lain juga terancam oleh agenda regulasi yang hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan investor,” kata Damar.
Sebelumnya, sejumlah kelompok buruh, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, KSPSI pimpinan Yorrys Raweyai, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan serikat pekerja lain, menyepakati pembentukan tim kerja bersama DPR. Kelompok buruh itu diklaim mewakili 75 persen anggota serikat buruh di Indonesia. Said Iqbal mengapresiasi keterbukaan dari pimpinan DPR dan Badan Legislasi (Baleg) yang memberikan kesempatan kepada buruh untuk menyampaikan aspirasinya (Kompas, 12/8/2020).
Damar mengatakan, RUU Cipta Kerja tidak hanya berisikan kluster ketenagakerjaan. Upaya sejumlah kelompok buruh membentuk tim kerja bersama DPR dinilai sebagai tindakan yang mengedepankan kepentingan buruh semata. Padahal, kehidupan rakyat yang terdampak di dalam RUU Cipta Kerja itu tidak hanya terbatas pada kluster ketenagakerjaan saja. Sebagai contoh, pengaturan hak guna usaha (HGU) perkebunan yang di dalam draf RUU Cipta Kerja diberikan selama 90 tahun.
Dalam forum tripartit bentukan pemerintah, KPBI hanya hadir dalam pertemuan awal dan menyatakan walk out dalam pertemuan selanjutnya karena tidak ada titik temu dengan perwakilan pemerintah dan pengusaha di dalam forum tripartit. KSPI Said Iqbal, KSPSI Andi Gani, dan KSPSI Yorrys sempat bertahan di dalam forum tripartit, tetapi akhirnya mundur setelah tidak tercapai titik temu dengan perwakilan pihak lainnya di dalam forum tersebut. Langkah ketiga konfederasi buruh ini kemudian diikuti oleh sebagian serikat buruh lainnya.
Menurut Damar, langkah yang diambil oleh serikat buruh yang membentuk tim kerja bersama DPR itu boleh saja dilakukan karena itu merupakan bagian dari strategi kelompok buruh meloloskan aspirasinya dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
”Jika teman-teman KSPSI dan KSPI membentuk tim kerja bersama DPR, kami menghargainya. Namun, kami khawatir kalau hal yang terjadi dengan tim teknis pemerintah serupa akan terulang. Sebab, KPBI melihat posisi pemerintah dan DPR sudah satu paket. Mereka sama-sama pro-investor dan anggota DPR adalah perwakilan dari partai-partai yang mayoritas dimiliki oleh pengusaha sehingga mereka pro-pemodal dan tidak mementingkan kebutuhan buruh,” ucap Damar.
Bawa ke PTUN
Sementara itu, kelompok masyarakat sipil lainnya yang tergabung di dalam Tim Advoksi untuk Demokrasi, yang antara lain terdiri dari Jaringan Advoksi Tambang (Jatam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas surat presiden (surpres) yang dikirim kepada DPR untuk membahas RUU Cipta Kerja.
Surpres itu dinilai telah mengakibatkan draf RUU Cipta Kerja lolos ke DPR di tengah pandemi, sementara penyusunan UU tersebut dipandang tidak melibatkan masyarakat, sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, para penggugat meminta majelis hakim PTUN pada sidang lanjutan, 18 Agustus 2020, agar mengeluarkan putusan sela berupa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi. Di dalam persidangan sebelumnnya, majelis hakim juga menyebutkan telah menerima banyak surat dengan kartu pos yang berisi penolakan RUU Cipta Kerja yang dikirim dari beberapa daerah. Hakim telah memerintahkan agar surat-surat itu dicantumkan di dalam berita acara sidang.
Senada dengan KPBI, KPA juga tetap menolak pembahasan RUU Cipta Kerja. KPA tidak ingin bekerja sama dengan DPR dengan cara serupa yang dilakukan oleh kelompok buruh di bawah pimpinan Said Iqbal, Andi Gani, dan Yorrys. ”Sebab, kami yakin pasar politik di DPR dan pemerintah memang arusnya saat ini ialah ingin liberalisasi agraria. Di mana bumi, air, dan kekayaan alam hendak dimonopoli swasta serta dijadikan barang komoditas. Itu melanggar UU Pokok Agraria tahun 1960,” katanya.
KPA telah mencermati naskah akademik dan isi RUU Cipta Kerja yang mengatur tiga faktor ekonomi, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja, dengan kecenderungan untuk dimonopoli oleh pemilik modal dalam sistem ekonomi yang kapitalistik. ”Jadi, RUU Cipta Kerja bukan semata persoalan kluster ketenagakerjaan, atau masalah perbaikan tambal sulam kluster per kluster, melainkan persoalan ideologi bangsa yang tengah dirancang begitu liberal di dalam RUU ini,” ujar Dewi.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, kunci dari perbedaan pendapat terkait dengan pembahasan RUU Cipta Kerja ialah dialog. Proses demokrasi hanya bisa dimungkinkan dengan dialog. Ketika ada pihak tertentu yang sejak awal menolak dialog, kesepahaman tidak akan mungkin tercapai. Di satu sisi, pemerintah dan DPR melihat RUU Cipta Kerja ini merupakan satu formulasi untuk keluar dari krisis akibat pandemi. Namun, di sisi lain, ada pandangan yang berbeda terhadap RUU Cipta Kerja.
Kunci dari perbedaan pendapat terkait dengan pembahasan RUU Cipta Kerja ialah dialog. Proses demokrasi hanya bisa dimunginkan dengan dialog. Ketika ada pihak tertentu yang sejak awal menolak dialog, kesepahaman tidak akan mungkin tercapai. Di satu sisi, pemerintah dan DPR melihat RUU Cipta Kerja ini merupakan satu formulasi untuk keluar dari krisis akibat pandemi. Namun, di sisi lain ada pandangan yang berbeda terhadap RUU Cipta Kerja.
”Untuk bisa mencapai kesepahaman, maka frekuensinya harus sama. Tidak bisa mereka berada pada frekuensi AM dan kami di frekuensi FM. Sampai kapan pun tidak akan bertemu. Oleh karena itu, ruang dialog haruslah dibuka,” kata Willy.
Dihubungi terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, kesediaan sejumlah kelompok buruh untuk masuk ke dalam tim kerja bersama dengan DPR adalah langkah bagus membuka ruang komunikasi. Namun, hal ini tidak bisa serta-merta dimanfaatkan oleh DPR untuk melegitimasi dukungan publik terhadap RUU Cipta Kerja. Sebab, masih banyak masyarakat yang keberatan dengan RUU tersebut.
”Ada banyak kelompok lain yang masing-masing menyoroti isi RUU tersebut. Bahkan, sebagian langsung menyatakan penolakan. Kelompok-kelompok ini juga merupakan bagian dari publik yang derajatnya sama dengan kelompok buruh. Oleh karena itu, perlu diberi kesempatan yang sama oleh DPR untuk menyampaikan sikap dan pandangan mereka,” tuturnya.