Regenerasi Kepemimpinan Pekerjaan Berat Partai Politik
Stagnasi dalam regenerasi parpol tidak membangun alam kompetisi yang sehat di kalangan kader partai politik. Sudah saatnya parpol bertransformasi dari otoritas wibawa berdasarkan karisma, menuju rasionalitas politik.
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik di Indonesia harus mulai menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan di partai politik sekaligus memperkuat demokratisasi di internal parpol. Di tengah demografi masyarakat yang berubah dan semakin mengedepankan meritokrasi, partai politik yang tidak berubah bisa ditinggalkan.
Salah satu persoalan regenerasi kepemimpinan terlihat dari posisi ketua umum partai politik yang relatif tidak banyak berubah di Indonesia. Akhir pekan lalu, Prabowo Subianto kembali terpilih sebagai Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra secara aklamasi.
Sebelumnya, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional juga mengukuhkan kembali ketua umumnya. Khusus PDI-P dan Nasdem, pengisi posisi ketua umum bahkan tak tergantikan sejak kedua partai berdiri.
Pengajar Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, saat dihubungi, Senin (10/8/2020), mengatakan, pemilihan ketua umum yang sama secara aklamasi menunjukkan bahwa regenerasi parpol kurang diperhatikan dengan baik.
Baca juga: Prabowo Belum Tergantikan di Gerindra
Parpol seolah hanya didirikan untuk memenuhi kepentingan dan orientasi politik para pendirinya. Parpol, kata Airlangga, juga menjadi modal politik pendirinya sehingga fungsi lain parpol seperti regenerasi kepemimpinan ataupun demokratisasi di lingkup internal menjadi rentan dikesampingkan. Hal ini membutuhkan kelembagaan partai yang bekerja secara lebih demokratis.
”Ini harus dibenahi dalam sistem demokrasi ke depan. Tongkat estafet kepemimpinan harus berjalan. Pengambilan keputusan di internal parpol harus lebih demokratis,” ujar Airlangga.
Menurut Airlangga, dinamika bertahannya ketua umum parpol tanpa ada regenerasi salah satunya adalah adanya ketimpangan kekuasaan. Distribusi kekuasan di internal parpol tidak berjalan sehingga bukan mekanisme atau aturan kelembagaan parpol yang mengatur rotasi pimpinan politik parpol. Namun, pengambilan keputusan lebih banyak diambil oleh sosok atau kelompok tertentu. Ini, katanya, kian melanggengkan dinasti politik maupun mandeknya regenerasi di tubuh parpol.
”Dampaknya, parpol akan sangat tergantung pada sosok tersebut sehingga saat pimpinan parpol itu berhalangan akan terjadi guncangan politik. Itu karena parpol tidak terbiasa dengan mekanisme demokrasi seperti regenerasi kepemimpinan,” tutur Airlangga.
Pembelahan
Airlangga mencontohkan, pembelahan yang terjadi di Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika ada perubahan drastis dalam proses suksesi kepemimpinan, terjadi guncangan politik. Partai kemudian membelah antara yang pro dengan ketua umum terpilih Zulkifli Hasan dengan kelompok pro-Amien Rais.
Airlangga juga mengatakan, jika dibiarkan terus-menerus, ketergantungan parpol terhadap sosok tertentu ini juga akan menyulitkan. Ketika sosok tersebut berhalangan, akan menimbulkan gejolak tertentu. Parpol dapat limbung dan kehilangan arah.
Ini karena sebelumnya parpol tidak pernah mempersiapkan diri dengan program regenerasi sehingga tidak ada mekanisme untuk sirkulasi elite politik. Sirkulasi elite hanya terbatas pada satu sosok dan lingkungan keluarganya.
Padahal, seharusnya, dalam dinamika politik modern, ada pertarungan ideologi dan program kerja pemimpin sehingga masyarakat tidak hanya melihat parpol identik dengan sosok tertentu, tetapi rasional pada program kerjanya. Parpol di Indonesia sudah saatnya bertransformasi dari sekadar otoritas wibawa berdasarkan karisma menuju pada rasionalitas politik. Fungsi parpol harus dioptimalkan sehingga tidak tergantung juga pada sosok seseorang.
”Kuncinya adalah elite politik harus bersedia untuk mengubah tradisi yang ada di parpol itu,” kata Airlangga.
Memutus mata rantai
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menilai, stagnasi dalam regenerasi parpol tidak membangun alam kompetisi yang sehat di kalangan kader partai. Menurut dia, regenerasi perlu menjadi perhatian bagi partai. Sebab, era semakin berkembang, ditambah aspek demografi yang lebih banyak berisi orang-orang muda.
Demokrat, misalnya, menerjemahkan tantangan itu dengan menyerahkan tongkat estafet ketua umum secara langsung dari Yudhoyono ke anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono.
Yunarto melihat, proses aklamasi yang ditempuh Gerindra untuk menunjuk kembali Prabowo sebagai ketua umum menunjukkan pola pikir partai yang masih sebatas fokus pada figur dan memenuhi ambisi politik Prabowo yang mungkin merasa masih berpeluang maju kembali sebagai calon presiden di Pemilu 2024.
”Kita akan melihat tantangan akan muncul di semua partai. Dilema untuk melepaskan sosok lain, atau sebatas pada memaksakan dirinya kembali, atau memberikan kepada orang yang masih memiliki hubungan keluarga,” ujar Yunarto.
Untuk memutus mata rantai itu, kata Yunarto, semua diserahkan kembali kepada masyarakat. Ketika masyarakat makin meritokratis dan cenderung mulai tak percaya pada elite, otomatis partai-partai yang memakai pola seperti itu akan ditinggalkan.
”Itu berpikir jangka panjang, biarkan masyarakat menilai dan menghukum,” tutur Yunarto.
Namun, untuk memutus rantai itu dalam jangka pendek, Yunarto menilai, mau tidak mau negara harus hadir melalui aturan-aturan yang ada, misal merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Mekanisme demokrasi dari pemilihan ketua umum partai harus dipaksa melalui uji publik dan melalui mekanisme konvensi. Mekanisme terbuka itu harus dibuat sehingga partai itu tak terlihat melanggengkan dinasti politiknya.
”Jadi bisa diterjemahkan juga sekaligus dalam proses penentuan calon presiden dan kepala daerah. Itu negara memaksa proses demokratisasi terjadi lebih cepat di partai-partai. Kalau berharap pada partai, agak sulit. Nah, itu, kan, hanya bisa diuji melalui proses yang sifatnya bottom up dan proses itu enggak pernah ada sampai sekarang,” ujar Yunarto.
Karakter kepemimpinan
Menanggapi masalah regenerasi parpol, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, internal PDI-P tentu melakukan program kaderisasi untuk regenerasi kepemimpinan. Namun, saat ini PDI-P masih melihat bahwa karakter pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mampu memberikan arahan, serta memiliki kekuatan untuk menjaga ideologi dan organisasi partai. Kriteria sosok tersebut ada dalam ketua umum sekarang, Megawati Soekarnoputri.
Oleh karena itu, menurut dia, bukan masalah jika sosok ketua umum partai selalu dijabat orang yang sama. Itu adalah bagian dari strategi partai untuk menjaga keberlangsungan partainya.
”Ini tidak hanya terjadi di parpol, tetapi juga di perusahaan besar. Untuk bisa bertahan, kami membutuhkan kepemimpinan yang ideologis. Namun, bukan berarti regenerasi tidak dilakukan,” ujar Hasto.
Program regenerasi yang dilakukan oleh DPP PDI-P adalah mempersiapkan pemimpin muda baik kepala daerah di tingkat kabupaten, kota, maupun provinsi. Menurut dia, regenerasi dilakukan sejalan dengan aspirasi masyarakat. PDI-P, katanya, dinilai berhasil menelurkan banyak pemimpin berkualitas. Dengan demikian, nantinya, para kader itu dapat mengisi regenerasi parpol sesuai mekanisme yang ada.
”Proses kaderisasi dan konsolidasi partai dilakukan terus-menerus dan setiap hari. Kalau bicara tentang kepemimpinan nasional, semua memiliki kesempatan untuk regenerasi termasuk kalangan milenial,” kata Hasto.
Anak muda
Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menyampaikan, partainya saat ini sedang melakukan transformasi besar-besaran dengan tema muda adalah kekuatan. Mayoritas kepengurusan diisi oleh orang-orang muda yang mumpuni, baik di bidang pendidikan tinggi atau pengalaman politik atau kombinasi keduanya.
Dari 200 pengurus pusat, kata Teuku, rata-rata mereka berusia 42 tahun atau seusia Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau dikenal AHY. Usia termuda adalah 22 tahun hingga yang senior 59 tahun.
”Transformasi ini akan berjalan dan diikuti oleh pengurus-pengurus di daerah. Meskipun ruang untuk para senior tetap ada, mayoritas akan diisi oleh anak-anak muda,” ujar Teuku.
Partai Demokrat, menurut Teuku, juga mengembangkan pendidikan dan pengalaman melalui Akademi Demokrat untuk kader yunior dan Institut Partai Demokrat untuk para kader senior. Ke depan, dalam konteks sistem merit, politisi itu tidak hanya bersifat politis, seperti hubungan kekerabatan. Namun, politisi juga menjadi sebuah profesi yang membutuhkan keahlian tertentu.
”Sebagai sebuah profesi, maka dibutuhkan professional education. Budaya inilah yang sedang diubah oleh Mas AHY di Partai Demokrat. Dari politisi hanya bersifat politis menjadi politis dan profesional. Dari kerja one man show menjadi kerja superteam,” kata Teuku.