Cornelis Lay, Intelektual Jalan Ketiga
Karakter Cornelis Lay semasa hidup yang terlibat aktif dalam kekuasaan tanpa melupakan perannya sebagai intelektual patut jadi rujukan para cendekiawan masa kini. Kekuasaan dan ilmu pengetahuan tak seharusnya berjarak.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay berjalan kembali ke tempat duduk seusai menyampaikan pidato dalam acara pengukuhannya sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ilmu pengetahuan-intelektual, dan kekuasaan, sejak lama dipisahkan oleh pandangan yang mengatakan keduanya berada pada sisi yang berlainan. Kekuasaan sebagai sesuatu yang ”kotor”, sementara ilmu pengetahuan-intelektual haruslah pada posisi netral atau sekurang-kurangnya berjarak dari kekuasaan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Cornelis Lay, yang tutup usia pada Rabu (5/8/2020), memandang keduanya tidak pada posisi solid semacam itu, tetapi dengan sudut pandang relasional, bahkan kolaboratif.
Cornelis Lay (61) tidak pernah muncul di panggung kekuasaan. Dalam senyap, ia berkecimpung di dalam kekuasaan, setidak-tidaknya melalui pandangan, dan kemampuannya menghubungkan orang satu dengan orang lainnya. Semuanya itu dilakukan dalam konteks kerja-kerja intelektual, prinsip kemanusiaan, yang diramu ke dalam praktik politik.
Kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan sangat istimewa sehingga, menurut senior dan koleganya, Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma Daniel Dhakidae, Cornelis—yang akrab dipangggil Conny—bisa merekomendasikan dan ”menyebut” nama orang per orang untuk duduk pada posisi tertentu, termasuk juga di internal partai politik.
Baca juga : Voluntarisme dalam Politik

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay mendapat ucapan selamat dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai acara pengukuhan Cornelis sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selama ini, sebagai akademisi ilmu politik dan pemerintahan, Cornelis memang sangat dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ketika mahasiswa, ia meneliti tentang PDI, sebelum partai itu menjadi PDI-P. Kajian dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh partai itu berlanjut hingga muncul PDI-P yang dideklarasikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Cornelis juga pengagum berat Soekarno, seorang Soekarnois, dan semasa mahasiswa aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Karena pengetahuannya, Cornelis kerap menjadi rekan berdiskusi dan sekaligus sahabat Megawati. Keduanya bisa berdiskusi selama berjam-jam tentang pemikiran Soekarno dan bagaimana pemikiran itu direfleksikan ke dalam pilihan politik yang diambil oleh Megawati.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyebut persahabatan antara Cornelis dan Megawati itu dapat terjalin justru karena sikap ”bebas” Cornelis yang terus hadir sebagai sosok pemikir-intelektual. Cornelis tidak melibatkan diri dalam jabatan dan kekuasaan politik praktis. Ia lebih memilih berdedikasi mengurai dan memformulasikan sintesa gagasan Bung Karno dalam praktik politik Megawati.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan arahan di kantor DPP PDI-P, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Dari interaksinya dengan Cornelis, Hasto mengenang satu pesan penting. Bahwasanya jalan politik bukan semata-mata meraih kekuasaan, melainkan bersatu dengan rakyat dalam bahasa kemanusiaan, sebab politik itu berkeadaban. Ia mencatat satu perkataan Cornelis, seusai Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 1999 yang ketika itu dianggap sebagai suatu ”penjegalan politik”.
”Antara pemilu legislatif dan apa yang terjadi di Sidang Umum MPR 1999 seharusnya merupakan satu napas kehendak rakyat, one electoral process. Etika dan moral kekuasaan politik inilah yang harus dipegang. Untuk apa sebuah kemenangan dalam kontestasi politik, apabila harus mengoyak rasa keadilan dan rasa kemanusiaan serta mengabaikan kehendak rakyat yang disuarakan melalui pemilu. Maka politik tidak boleh kehilangan watak kemanusiaan itu,” kata Cornelis, sebagaimana dikenang oleh Hasto.
Intelektual jalan ketiga
Dari pergulatan Cornelis dengan parpol dan pemerintahan saat ini, perspektif hitam-putih, dan oposisi biner, agaknya kurang tepat untuk memahami kiprahnya. Sebab, kiprah yang demikian itu tidak menjadikannya kurang ”intelek” atau kurang ”bermoral” sebagai akademisi.
Sebagaimana diuraikannya di dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM, 2019, perspektif dikotomis itulah yang ditolaknya. Di satu kutub, cendekiawan berjarak sama sekali dari kekuasaan, sedangkan di kutub yang lain cendekiawan tercebur sepenuhnya di dalam kekuasaan sehingga lupa jalan pulang.

Potret Soekarno saat berorasi di Madiun yang diterbitkan oleh majalah Life edisi 28 Januari 1946, halaman 80.
Dalam pidato berjudul ”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan Kemanusiaan”, Cornelis mengatakan, pembilahan dikotomis tersebut membuat ”kemampuan berpikir bebas” sebagai karakter pokok intelektual tidak mendapat ruang ekspresi memadai.
Intelektual secara dangkal dinilai hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang secara absolut diwakili negara, dan yang dalam kebanyakan kasus direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah.
Cornelis menyikapi secara kritis pemahaman yang menempatkan konsep kekuasaan semata ada pada ”negara”, sementara ada kekuasaan yang dimiliki pihak lain. Bahkan, ilmu pengetahuan dan cendekiawan itu sendiri adalah pengampu kekuasaan. Mayoritas intelektual dinilai gagal memahami fungsinya sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan.
Dalam pemahamannya yang demikian, Cornelis mengusulkan kolaborasi atau peran relasional antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Cendekiawan tidak terlepas dari kekuasaan, atau semata-mata menjaga jarak, dan sekadar mengkritisi kekuasaan, melainkan turut serta, dan bersikap aktif masuk ke dalam kekuasaan itu dengan karakter ”lepas-bebas”. Inilah jalan ketiga bagi intelektual. Intelektual terlibat aktif dalam kekuasaan, tetapi ia tidak lupa pada jalan pulang.
”Jalan ketiga yang ditawarkan—masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokoknya—menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan dengan instan,” ungkapnya.
Baca juga : Sosok Pengajar Egaliter dan Nasionalis Itu Telah Tiada...

Daniel melihat posisi ”lepas-bebas” Cornelis ini menunjukkan kecendekiawanannya yang paripurna. Sebab, sebagai seorang akademisi, ia tahu kapan harus masuk dan keluar dari kekuasaan.
”Pada titik tertentu, ia tahu harus masuk dan kapan harus keluar ketika ia menilai kekuasaan tidak sesuai dengan nilai-nilai idealnya. Dan dalam hal ini, ia betul-betul melepaskan dirinya dari kepentingan uang, kedudukan, dan sebagainya. Dalam artian ini, dia menjadi cendekiawan serius,” katanya.
Pada titik tertentu, ia tahu harus masuk dan kapan harus keluar ketika ia menilai kekuasaan tidak sesuai dengan nilai-nilai idealnya.
Mentor pendengar
Karakter kecendekiawanan Cornelis tidak hanya dibuktikannya dalam lingkaran kekuasaan. Di mata anak didiknya di UGM, Cornelis adalah mentor yang memiliki kemampuan mendengar luar biasa. Ia pendidik yang memberikan kesempatan berkembang kepada para yuniornya. Ia membantu anak-anak didiknya menemukan kebebasan intelektual dan mengajaknya berpikir kritis.
”Mas Conny ini tipe pendidik, karena dia ngemong. Ngemong dalam artian dia melakukan grooming (mengader/menumbuhkan). Dia bersikap lintas generasi, dan bergaul dengan siapa saja, baik generasi sebelumnya maupun generasi muda. Kekuatan Mas Conny itu mendengar dan menampung perspektif, keluh kesah, dan dari hal itu dia menyampaikan dorongannya agar orang itu dapat berkembang,” kata Ari Dwipayana, Koodinator Staf Khusus Presiden Joko Widodo.

Karangan bunga dari Presiden Joko Widodo dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang dikirimkan ke rumah duka Cornelis Lay, di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, Rabu (5/8/2020). Cornelis Lay, Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, berpulang, di Yogyakarta, Rabu pagi.
Ari adalah salah satu mahasiswa Cornelis di UGM. Ia kemudian juga menjadi asisten Cornelis. Dari pribadi gurunya itu, Ari mengenang karakternya yang sangat suportif dengan orang lain. Untuk mendorong generasi seusia dan di bawahnya, Cornelis memiliki semacam kelompok diskusi untuk memfasilitasi mereka melanjutkan gelar doktor.
”Dia motivator yang baik. Dia membuat kelompok diskusi dan konsisten memfasilitasi teman-teman yang ingin melanjutkan gelar doktoralnya. Ia mengajak mereka mendiskusikan idenya dan mengatakan bahwa ide itu bagus dan dia mampu melanjutkannya. Teman-teman itu kemudian konfiden, dan Mas Conny membantu membangunkan jaringan yang sifatnya keluar. Bahkan ada yang sampai menjadi profesor berkat dorongan Mas Conny,” katanya.
Ari mengenang metode pembelajaran yang unik dari Cornelis. Pada saat itu, setiap mahasiswa diminta untuk membaca media dan membuat ulasan kritis mengenai isi media tersebut. Setiap mahasiwa kemudian diminta mempresentasikannya di depan kelas. Mereka juga mendiskusikannya di luar kelas.
Setiap mahasiswa tidak perlu malu mengutarakan analisisnya dan mereka bebas berpikir, mengkritisi. Metode itu mengajarkan mahasiswanya untuk tidak takut berpikir kritis sesuai dengan keyakinan mereka.

Peserta peluncuran KKN-PPM UGM Daring Periode II mengikuti pelepasan virtual mahasiswa KKN-PPM UGM Daring, di Balai Senat UGM, Yogyakarta, Senin (29/6/2020).
Selain mengajar, Cornelis memiliki kepedulian pada pemberdayaan masyarakat. Ia aktif dalam Institute of Research and Empowerment (IRE) yang bergerak dalam bidang desentralisasi, pemberdayaan masyarakat, dan demokratisasi.
Melalui institut ini, Cornelis bekerja di tengah-tengah masyarakat dan membuktikan intelektual bukan soal pengetahuan epistemologi belaka, melainkan juga merasakan realitas sosial dan memberdayakan masyarakat.
Stok pengetahuannya yang luas serta kemampuannya bergaul, membangun jejaring, dan mengamati potensi orang, membuat Cornelis sebagai orang yang penuh sumber daya dan pengetahuan. Hal itu pula yang menjadikannya tempat bertanya banyak hal, termasuk tentang kapasitas orang per orang. Presiden Jokowi intens berdiskusi dengan Cornelis, terutama pada tahun 2014.
”Dia orang yang resourceful karena memang dia meneliti lama dan terlibat langsung dengan orang-orang itu,” kata Ari.
Baca juga : Akademisi dan Politisi Kehilangan Cendekiawan Soekarnois, Cornelis Lay

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya (kiri), Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana (tengah), dan Pakar Gambut yang tergabung dalam Kelompok Kerja Gambut Universitas Gadjah Mada Azwar Maas di sela-sela memberikan keterangan kepada wartawan seusai diterima oleh Presdien Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (3/11/2015).
Sahabat Cornelis tidak terbatas pada kalangan tertentu. Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf adalah salah satunya yang kerap berinteraksi dengan Cornelis.
”Mas Conny itu intelektual par excellence. Intelektual sejati. Saya sesungguhnya secret admirer Mas Conny. Sejak saya mahasiswa dulu, saya sudah kagum dengan dia. Dia seorang Soekarnois yang sangat kuat dedikasinya pada kebangsaan. Yang istimewa dari Mas Conny adalah dia Soekarnois yang tidak jumud (stagnan), melainkan dia membumikan pikiran-pikiran Soekarno itu sehingga terus relevan,” katanya.
Tanpa dibumikan dalam kerangka pengetahuan dan praktik, gagasan Soekarno hanya menjadi ”bunyi-bunyian” dan terjebak pada slogan semata. Di sinilah Cornelis memberikan arti. Di tengah banyaknya orang yang mengaku Soekarnois, menurut Yahya, Cornelis adalah Soekarnois yang tidak hanya mengagumi, tetapi meyakini benar-benar gagasan Soekarno.
”Kenapa keyakinan itu tumbuh, saya tidak punya dugaan lain selain bahwa dia sangat mencintai Indonesia. Itu yang utama. Saya kira inilah yang harus diwarisi oleh kawan-kawan. Kita ini berpolitik bukan untuk cari menang, cari kekuasaan. Kita melakukan semua ini karena kita mencintai Indonesia. Karena kita berjuang untuk mencapai masa depan yang lebih baik untuk Indonesia. Itu yang harus dicontoh dari Mas Conny,” katanya.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay didampingi sang istri menyapa tamu undangan dalam acara pengukuhannya sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cornelis tidak berhenti menjalankan perannya sebagai intelektual jalan ketiga meskipun ketika raganya didera sakit dan hidupnya beberapa tahun belakangan bergantung pada alat pacu jantung. Teman-temannya secara berkelakar menjuluki Cornelis dengan bionic man. Hidupnya seperti bergantung pada baterai dan listrik.
”Itu karena dia sangat bergantung pada listrik. Di mana pun berada, dia tidak boleh jauh dari listrik. Karena alat pacu jantungnya memerlukan listrik. Dalam kondisi yang demikian, saya dengar dari teman, sekitar 3 atau 4 hari lalu, dia baru saja menyelesaikan bab terakhir dari sebuah buku,” kenang Daniel.
Putra dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu telah berpulang ke keabadian. Dalam senyap dia menggenapi apa yang selama ini dipercayainya, sebagaimana dideklarasikan filsuf dan ilmuwan berkebangsaan Inggris, Sir Francis Bacon: Ipsa scientia potestas est. Pengetahuan adalah kekuasaan.