Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyempatkan diri berziarah ke Makam Pahlawan Raden Aria Wangsakara di Tangerang, Banten. Wangsakara merupakan ulama pendiri sekaligus bupati pertama Tangerang yang memerintah tahun 1600-an
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
Kesibukan sebagai pendamping Presiden Joko Widodo tak membuat Wakil Presiden Ma’ruf Amin melupakan rutinitas berziarah ke makam leluhur. Bersama dengan Ibu Wury Estu Handayani, hari Kamis (6/8/2020) sore, Ma’ruf berziarah ke Makam Pahlawan Raden Aria Wangsakara.
Wapres Maruf berangkat dari kediamannya ke makam tersebut, setelah selesai melaksanakan semua agenda kegiatan di pemerintahan. Setibanya di Taman Makan Pahlawan Raden Aria Wangsakara yang terletak di Desa Lengkong Kyai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, itu, Wapres dan Ibu Wury langsung disambut salah seorang putrinya, Siti Nur Azizah.
Azizah tak sendiri karena di Taman Makam Pahlawan itu juga telah hadir juru kunci makam dan sejumlah tokoh masyarakat. Salah satunya Kiai Haji Ahmad Ghozali, pimpinan Pondok Pesantren Assa’adah, Setu, Tangerang Selatan, yang sekaligus memimpin ritual ziarah.
Tak hanya berdoa, Ma’ruf dan Ibu Wury juga menaburkan bunga di atas makam Raden Aria Wangsakara yang merupakan leluhurnya. Wangsakara merupakan ulama pendiri sekaligus bupati pertama Tangerang yang memerintah pada tahun 1600-an.
Seusai tabur bunga, Maruf menyampaikan bahwa sebenarnya ia sudah lama memendam keinginan berziarah ke makam Aria Wangsakara. Namun, karena kesibukannya sebagai wapres, baru Kamis, keinginannya untuk berdoa di makam leluhur terpenuhi.
”Baru sekarang bisa melaksanakan karena terbentur banyak kegiatan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Ma’ruf sempat berbincang dengan juru kunci makam dan para tokoh masyarakat yang turut berziarah. Juru kunci bercerita bahwa Wangsakara merupakan pejuang yang melawan pendudukan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), yang kemudian menjadi bupati pertama Tangerang.
Azizah menyampaikan bahwa Wangsakara merupakan leluhur keluarga Ma’ruf Amin. Jika dihitung dari silsilah keluarga, Wapres Amin merupakan keturunan ke-12 dari Wangsakara.
Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten disebut, Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman. Bersama dua kerabatnya, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC.
Wangsakara yang kemudian memilih menetap di tepian Sungai Cisadane diberi kepercayaan oleh Sultan Maulana Yusuf, pemimpin Kesultanan Banten kala itu, untuk menjaga Tangerang, khususnya wilayah Lengkong, dari pendudukan VOC. Sehari-hari Wangsakara yang juga pernah didapuk sebagai penasihat Kerajaan Mataram menyebarkan ajaran Islam.
Azizah juga bercerita bahwa aktivitas Wangsakara menyebarkan ajaran Islam mulai tercium oleh VOC tahun 1652-1653. Karena dianggap membahayakan kekuasaan, maka VOC mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane, persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Wangsakara.
VOC pun sampai memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara. Provokasi itulah yang kemudian memicu pertempuran antara penjajah dan rakyat Tangerang.
Kegigihan rakyat di bawah kepemimpinan Wangsakara yang melakukan pertempuran selama tujuh bulan berturut-turut itupun membuahkan hasil. VOC gagal merebut wilayah Lengkong yang berhasil dipertahankan oleh Wangsakara dan para pengikutnya. Wangsakara sendiri gugur pada tahun 1720 di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang.
”Semoga saya bisa mendapatkan inspirasi dan semangat juang yang lebih baik nantinya,” kata Azizah.