Putusan MA dalam Kasus BJB Syariah Dianggap Berjarak dengan Pedoman Pemidanaan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan dipertanyakan. Sebab, hukuman bagi koruptor yang merugikan negara Rp 1 triliun seharusnya jauh lebih berat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menganulir vonis bebas lepas atas terdakwa kasus korupsi Bank Jawa Barat Syariah, Andy Winarto, dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara. Meskipun vonis sudah lebih berat, interpretasi hakim terhadap Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 dipertanyakan. Sebab, mengacu pada Peraturan MA No 1/2020 yang dikeluarkan baru-baru ini, hukuman terhadap koruptor yang merugikan negara mencapai Rp 1 triliun itu bisa lebih berat.
Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat dikonfirmasi, Kamis (6/8/2020), mengatakan, ada berbagai faktor yang harus dilihat dalam perkara tersebut. Apabila kategori kerugian negara memenuhi, kesalahan dan peran terdakwa dalam kasus tersebut juga harus dilihat. Selain itu, juga keuntungan yang diperoleh, dampak, dan pengembalian kerugian negara. Tahapan-tahapan tersebut semuanya harus dipertimbangkan. Selain itu, juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
”Pedoman pemidanaan ini, karena masih baru, dan baru tahap sosialisasi,” kata Andi menjelaskan.
Pedoman pemidanaan ini, karena masih baru, dan baru tahap sosialisasi.
Terkait vonis yang ditingkatkan menjadi 15 tahun penjara, Andi menyatakan bahwa terdakwa Andi Winarto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan kurungan. Terdakwa juga dibebani uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 548,259 miliar. Apabila tidak dibayarkan, uang pengganti kerugian negara itu diganti dengan pidana kurungan 15 tahun.
Vonis sebelumnya diketok pada Rabu (5/8/2020) oleh Ketua Majelis Hakim Agung Prof Dr Surya Jaya. Adapun anggota majelis hakim agung lainnya adalah LL Hutagalung dan Agus Yunianto.
”Mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum, membatalkan putusan judex factie, dan mengadili sendiri. Menyatakan terdakwa Andy Winarto terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor,” ujar Andi.
Andy Winarto sebelumnya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dalam rangkaian perbuatannya saat mengajukan pinjaman ke BJB. Direktur Utama PT Hastuka Sarana Karya (PT HSK) itu memberikan agunan bodong yang ternyata sudah digunakan sebagai agunan di bank lain, yaitu Bank Muamalat. Akibat perbuatannya itu, Andi merugikan keuangan negara sebesar kurang lebih Rp 1 triliun.
Kasus tersebut untuk pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, pada 12 Juli 2019. PN Bandung menyatakan, Andi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut. PN Bandung kemudian menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, di pengadilan tingkat pertama itu, Andy juga divonis membayar uang pengganti sebesar Rp 548,259 miliar. Apabila denda tidak dibayar maksimal satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita. Apabila setelah harta bendanya dilelang tetap tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti, diganti dengan pidana penjara selama tujuh tahun.
Namun, putusan PN Bandung itu kemudian dianulir oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Majelis hakim PT Bandung menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana. Majelis hakim juga melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvelvoging). Atas putusan tersebut, jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi ke MA. MA mengabulkan kasasi dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara berikut denda uang pengganti kerugian negara.
Interpretasi hukum
Meskipun MA memvonis lebih berat daripada putusan PT Bandung, interpretasi majelis hakim agung terhadap Perma No 1/2020 dipertanyakan. Sebab, dalam perma tersebut kerugian di atas Rp 100 miliar termasuk dalam kategori korupsi paling berat. Dalam pedoman pemidanaan yang dikeluarkan MA pada akhir Juli lalu, untuk kategori kerugian negara paling berat ini, terdakwa dapat dijatuhi hukuman penjara 16-20 tahun, maksimal seumur hidup dengan denda Rp 800 juta-Rp 1 miliar.
Aspek kesalahan dalam kategori tinggi dilihat dari peran terdakwa yang signifikan, seperti penganjur dalam kasus korupsi, menggunakan modus operandi canggih, dan perbuatannya dilakukan saat keadaan bencana atau krisis ekonomi nasional.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, dalam implementasinya, Perma No 1/2020 memang masih membuka ruang interpretasi hakim. Selain itu, juga tidak ada penjelasan tegas dari MA apa sanksi yang diterapkan jika hakim tidak menggunakan perma itu sebagai pedoman pemidanaan. MA seharusnya tidak hanya mengeluarkan pedoman, tetapi juga menjelaskan apa sanksi jika hakim tidak mengikuti perma tersebut.
MA sendiri yang membuat regulasinya, tetapi sekarang dalam putusan kasasi terjadi disparitas. Kalau seperti ini, mekanisme pengawasannya bagaimana? Sebab, jaksa sudah tidak bisa mengajukan upaya hukum lagi karena sudah sampai di tingkat kasasi.
”Nah, MA sendiri yang membuat regulasinya, tetapi sekarang dalam putusan kasasi terjadi disparitas. Kalau seperti ini, mekanisme pengawasannya bagaimana? Sebab, jaksa sudah tidak bisa mengajukan upaya hukum lagi karena sudah sampai di tingkat kasasi,” kata Kurnia.
Apabila disparitas putusan dengan aturan perma terjadi di tingkat pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, misalnya, jaksa masih bisa mengajukan upaya banding. Namun, karena ini sudah sampai di tingkat kasasi, dan sudah berkekuatan hukum tetap, jaksa tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu, apakah hakim agung yang menangani perkara tersebut dapat dilaporkan ke Badan Pengawas? Menurut Kurnia, Perma No 1/2020 belum mengatur jelas apa sanksi terhadap hakim yang tidak memedomani aturan itu.
Dalam kasus ini, Kurnia mengapresiasi putusan MA yang menganulir putusan bebas lepas PT Bandung. Namun, Kurnia juga mempertanyakan perihal disparitas putusan yang dirasa masih ringan jika dibandingkan dengan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Perma No 1/2020.