Komisi Pemberantasan Korupsi berkomitmen memaksimalkan penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan korporasi. Hal ini untuk memaksimalkan pengembalian uang hasil korupsi kepada negara.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi berkomitmen untuk memaksimalkan penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan korporasi. Hal tersebut bertujuan memaksimalkan pengembalian uang hasil korupsi kepada negara.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengungkapkan, hingga 2019, KPK telah menetapkan enam korporasi sebagai tersangka. ”Dua di antaranya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap,” kata Nawawi saat membuka diskusi daring bertajuk ”Pencucian Uang, Pidana Korporasi, dan Penanganan Korupsi Lintas Negara”, Kamis (6/8/2020).
Dua korporasi tersebut ialah PT Duta Graha Indah atau PT Nusa Konstruksi Enjiniring dalam kasus tindak pidana korupsi dan PT Putra Ramadhan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Nawawi menegaskan, ke depan, KPK berkomitmen untuk memaksimalkan tindak pidana korupsi ataupun pencucian uang dengan pelaku korporasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan memaksimalkan asset recovery atau pengembalian uang hasil korupsi kepada negara.
Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung Surya Jaya mengungkapkan, korporasi sering kali menjadi tempat pelarian hasil tindak pidana korupsi. Namun, usaha untuk mengungkap kasus kejahatan korporasi tidak mudah.
”Rumit dan kompleks,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya sebagai hakim agung, Surya kesulitan mengungkap kasus kejahatan korporasi karena yang dihukum bukan korporasi tempat menyimpan uang, melainkan orang yang menempatkannya.
Ia berharap, pendekatan penegakan hukum terhadap korporasi perlu dikonsep ulang lagi melalui undang-undang yang baru atau kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) atau ketentuan lainnya. Surya menegaskan, penegakan hukum terhadap korporasi bertujuan agar persaingan di dunia usaha lebih sehat.
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan pentingnya memidana atau menghukum korporasi karena akibat kejahatan yang dilakukan korporasi tidak hanya berkaitan dengan finansial. Namun, kejahatan ini bisa mengakibatkan hilangnya nyawa dan penderitaan yang luar biasa jika dibandingkan dengan kejahatan perseorangan.
”Kejahatan korporasi bisa menghilangkan nyawa lebih banyak dibandingkan dengan kejahatan perseorangan. Kita bayangkan kanker yang melanda masyarakat akibat dari produk yang tidak sehat dikonsumsi masyarakat. Bayi menjadi cacat dan sakit akibat dari sungai yang tercemar,” kata Pohan.
Dalam pertimbangan keadilan, kejahatan berskala besar tidak cukup hanya dengan menghukum orang, pelaku, materialnya, direksi, atau direktur utama. Karena itu, perlu memidanakan korporasi agar jika ada sanksi finansial bisa dibebankan pada korporasi. Sebab, uang yang dimiliki korporasi bisa lebih banyak dibandingkan dengan perseorangan.
Cara tersebut dapat mengubah perilaku korporasi. Ia berharap, dengan adanya pemidanaan terhadap korporasi, korporasi akan menjadi lebih sehat dan jauh dari budaya kriminal. Alhasil, korporasi bisa menopang perekonomian negara dengan kokoh karena tidak didukung oleh perilaku jahat.
”Pemidanaan korporasi tujuannya tidak untuk membunuh korporasi, tetapi untuk menyehatkan korporasi agar bisa menopang perekonomian negara dengan baik,” ujar Pohan.