Wapres Ma’ruf Amin menilai, pandemi Covid-19 telah memaksa masyarakat membuat penyesuaian di seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah. MUI perlu merespons hal ini dengan cepat agar masyarakat mempunyai pedoman.
Oleh
FX LAKSANA AS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan masyarakat harus menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Dalam konteks itu, fatwa Majelis Ulama Indonesia diperlukan sebagai pedoman masyarakat.
”Pandemi ini menyebar begitu cepat sehingga banyak hal baru yang muncul sebagai akibat dari penyesuaian-penyesuaian dalam rangka menerapkan protokol kesehatan, khususnya di bidang keagamaan yang membutuhkan jawaban yang cepat dan relevan dengan situasi pandemi,” kata Ma’ruf dalam pidato kunci pada webinar yang digelar Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Rabu (5/8/2020).
Pandemi ini menyebar begitu cepat sehingga banyak hal baru yang muncul sebagai akibat dari penyesuaian-penyesuaian dalam rangka menerapkan protokol kesehatan, khususnya di bidang keagamaan yang membutuhkan jawaban yang cepat dan relevan dengan situasi pandemi.
Hal-hal baru yang muncul tersebut, menurut Ma’ruf, membutuhkan jawaban dari perspektif hukum Islam, terutama yang terkait langsung dengan tata cara ibadah. Oleh karena itu, fatwa, tausiyah, bayan, irsyadat, dan taujihat diyakini merupakan solusi atas permasalahan yang terjadi.
”Fatwa dapat memberikan bimbingan dan tuntunan bagi umat untuk melakukan penanggulangan dan mengatasi dampak pandemi Covid-19, karena fatwa yang benar akan senantiasa berorientasi pada kemaslahatan, tidak menyulitkan, dan berorientasi pada maksud diturunkannya syariat,” kata Ma’ruf.
Webinar mengusung tema ”Peranan Fatwa MUI Pada Masa Pandemi Covid-19 dan Dampak Hukumnya”. Tersambung sejumlah narasumber, antara lain, Ketua Bidang Fatwa MUI Huzaemah T Yanggo, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum UAI Suparji, dan Dekan Fakultas Hukum UAI Yusup Hidayat.
Ketentuan agama yang berlaku pada saat kondisi tidak normal, Ma’ruf menjelaskan, berbeda dengan ketentuan agama pada saat kondisi normal. Oleh karena itu, fatwa pada saat kondisi pandemi bisa menjadi berbeda dengan ketentuan hukum saat kondisi normal. Hal ini merupakan karakteristik fatwa dan fikih secara umum.
Para ulama di negara yang berpenduduk Muslim merasa perlu untuk menetapkan fatwa baru yang sesuai dengan kondisi darurat.
Oleh karena itu, para ulama di negara yang berpenduduk Muslim merasa perlu untuk menetapkan fatwa baru yang sesuai dengan kondisi darurat. Fatwa yang berlaku untuk kondisi normal dipandang sudah tidak sesuai dan tidak relevan dengan kondisi pandemi. Sebagai gantinya, para ulama melakukan ijtihad untuk menetapkan fatwa baru yang lebih relevan.
Fatwa baru tersebut, Ma’ruf melanjutkan, kemudian menjadi panduan bagi umat Islam di negara masing-masing dalam menjalankan ibadahnya di tengah pendemi Covid-19.
Huzaemah menyatakan, MUI telah menetapkan tujuh fatwa di masa pandemi untuk menjadi pedoman umat Islam. Fatwa tersebut ditetapkan atas permintaan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan Kementerian Pertanian.
Fatwa yang dimaksud, misalnya, adalah tata cara shalat bagi tenaga medis yang menggunakan alat pelindung diri yang tidak mungkin melaksanakannya dengan cara normal, tata cara pemulasaraan jenazah pasien positif Covid-19 sesuai protokol kesehatan, pemanfaatan dana zakat/infak/shadaqah untuk penanggulangan dampak Covid-19. Fatwa lainnya adalah tata cara berjemaah, shalat Jumat dan shalat Id saat pandemi Covid-19, serta tata cara pemotongan hewan kurban di saat pandemi.