Kepemimpinan yang Bervisi Kunci Keluar dari Krisis
Kepemimpinan bervisi jelas dan bermodal sosial jadi kunci keluar dari krisis. Belajar dari pengalaman sejarah, selama 75 tahun merdeka, Indonesia mampu hadapi krisis politik dan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Kepemimpinan dengan visi yang jelas dan modal menjadi kunci untuk keluar dari krisis. Belajar dari pengalaman sejarah, selama 75 tahun merdeka, Indonesia mampu menghadapi krisis, baik di bidang politik maupun ekonomi. Kini, dalam menghadapi tantangan pandemi Covid-19, kepemimpinan diuji, sekaligus arah dan visi Indonesia ke depan.
Di sisi lain, Indonesia kaya modal sosial yang bisa menjadi bekal dalam menghadapi gelombang tantangan. Rasa saling percaya, kuatnya jaringan sosial, dan hubungan baik antarmasyarakat, kesemuanya merupakan modal sosial yang dapat menopang perjalanan bangsa selama ini. Apabila ditopang dengan kepemimpinan yang baik, modal sosial itu dapat menjadi kekuatan besar untuk mengungkit bangsa dari berbagai tekanan dan krisis.
Baca juga: Pemimpin Sejati di Masa Pandemi
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam webinar yang diselenggarakan oleh Institut Peradaban bertajuk ”Merangkai Ingatan, Merajut harapan”, Rabu (5/8/2020), mengatakan, modal-modal sosial itu menjadi sumber bagi inisiatif-inisiatif luhur, yang bentuk konkretnya ialah terbentuknya organisasi-organisasi sosial yang bergerak di berbagai bidang. Contohnya Palang Merah Indonesia, gerakan pramuka, organisasi di bidang olahraga, hingga berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk ormas yang bercorak keagamaan.
Menurut para ahli, sumber modal sosial, yang disebut sebagai bond atau satu ikatan kekerabatan, yang bisa berbentuk satu kampung, satu almamater, kesemuanya itu bisa meluas ke lingkaran luarnya. Ketika ikatan itu meluas dan melebar, muncullah hubungan-hubungan yang terbangun. Muncullah organisasi kesukarelaan yang menjadi perwujudan dari modal sosial itu.
”Menurut para ahli, sumber modal sosial, yang disebut sebagai bond atau satu ikatan kekerabatan, yang bisa berbentuk satu kampung, satu almamater, kesemuanya itu bisa meluas ke lingkaran luarnya. Ketika ikatan itu meluas dan melebar, muncullah hubungan-hubungan yang terbangun. Muncullah organisasi kesukarelaan yang menjadi perwujudan dari modal sosial itu,” kata Sudirman, yang juga Sekretaris Jenderal PMI Pusat.
Namun, munculnya modal sosial itu tidak akan efektif jika tidak ditopang dengan kepemimpinan yang baik. Di satu sisi, organisasi-organisasi kesukarelaan itu juga turut menghasilkan para pemimpin di bidang masing-masing. Karakter kepemimpinan bangsa yang dapat membawa keluar dari krisis, menurut Sudirman, adalah kepemimpinan yang dilandasi kejujuran, kredibilitas, visi, serta kompetensi teknis dan manajerial.
”Kepemimpinan juga harus disertai dengan kemampuan untuk mengambil keputusan atau decisiveness, mempunyai tanggung jawab lingkungan, dan memiliki kemampuan konseptual. Kepemimpinan konseptual ini maksudnya bagaimana seorang pemimpin membuat persoalan yang sulit menjadi mudah serta bagaimana pemimpin mengatasi krisis,” katanya.
Kepemimpinan seseorang justru teruji ketika ia menghadapi krisis. Sebab, krisis muncul tanpa direncanakan dan reaksi spontan pemimpin dalam membuat suatu keputusan akan sangat menentukan bagaimana krisis itu dapat diatasi.
Modal sosial
Lebih jauh, Sudirman mengatakan, selama 75 tahun merdeka, tonggak-tonggak penting bangsa seolah mengikuti siklus 20 tahunan. Tonggak pertama, yakni Kebangkitan Nasional, ditandai dengan pendirian Budi Utomo, tahun 1908. Pada tahun 1928, atau 20 tahun kemudian, diucapkan Sumpah Pemuda. Sekitar 17 tahun kemudian, proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Tahun 1966, terjadi pergantian rezim pemerintahan dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru. Tahun 1998, muncul gerakan reformasi. Tahun 2020, pandemi Covid-19 muncul menjadi bentuk tantangan baru negara dan bangsa Indonesia.
Dari setiap peristiwa itu, menurut Sudirman, ada tokoh dan organisasi yang memainkan peran sebagai leader atau pemimpin. Menariknya, dari perlintasan sejarah itu, mereka yang muncul sebagai pemimpin ialah orang-orang dengan kekuatan modal sosial yang kental. ”Mereka bukan siapa-siapa, tetapi mereka ialah pejuang, dan kelompok intelektual,” katanya.
Di masa kini, sayangnya, wajah kepemimpinan nasional tercederai oleh peristiwa kurang menyenangkan. Sebagai contoh, hampir semua petinggi atau pimpinan lembaga negara ada yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi. ”Sebanyak 247 anggota parlemen masuk penjara. Demikian juga 26 menteri dan pimpinan lembaga setingkat menteri. Dalam kondisi ini, diperlukan kemampaun nyata, kejujuran, dan visi nyata untuk bangkit dari krisis dan mengatasi ketertinggalan,” ujar Sudirman lagi.
Pembina Institut Peradaban Salim Haji Said mengatakan, perhatian pada sejarah menjadi satu hal penting untuk memahami dan menetapkan visi Indonesia ke depan. Banyak yang tidak mengetahui atau tidak memperhatikan sejarah Indonesia sehingga mereka tidak dapat menjadikan sejarah itu sebagai pijakan untuk perbaikan di masa depan.
”Soal konsep Indonesia, misalnya, banyak yang keliru menganggap Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Itu sesuatu yang keliru karena konsep Indonesia sendiri baru muncul di abad ke-20. Konsep Indonesia baru dikenal tahun 1924 di Belanda, yakni ketika Mohammad Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia,” katanya.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia juga tidak bisa lepas dari pergulatan dengan bangsa-bangsa lain. Pengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Adriana Elisabeth mengatakan, dinamika politik luar negeri selama 75 tahun juga sangat menarik karena Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) di dunia memutuskan menerapkan politik bebas aktif. Indonesia mesti memainkan peranan itu di antara banyak kepentingan eksternal serta tetap memihak pada kepentingan kemanusiaan dan masyarakat.
Di sisi lain, dunia juga mencatat kelemahan Indonesia, antara lain adanya pertanyaan tentang demokrasi dan belum tuntasnya persoalan hak asasi manusia (HAM). ”Ini persoalan-persoalan yang harus kita lihat,” paparnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, terjadi kesenjangan luar biasa antara generasi milenial dan generasi sebelumnya, terutama dalam pemahaman sejarah. ”Mereka, misalnya, tidak mudah untuk menyebutkan nama pahlawan-pahlawan nasional,” katanya.
Dalam kenyataannya, kesenjangan itu cukup dalam karena ada perbedaan perspektif dalam melihat dunia masa kini. Kemajuan teknologi dan maraknya media sosial serta masifnya penggunaan internet diakui mempertajam kesenjangan itu. ”Saat ini, kami berupaya bagaimana membawa generasi mulai dari yang masih 1.0 sampai 5.0 ini sama-sama berkembang. Sebab, pada saat yang sama, kita menghadapi variasi karakter warga yang tidak semuanya paham tentang 4.0 dan masih banyak pula yang masih 1.0. Bagaimana kita sama-sama membangun perspektif yang berbeda ini,” ujarnya.
Tantangan ekonomi
Pembicara lain, ekonom Faisal Basri, mengatakan, ekonomi Indonesia mengalami naik turun selama 78 merdeka. Catatan pertama kali tentang ekonomi Nusantara dilakukan di era kolonial. Pada masa itu, Nusantara menjadi wilayah yang dieksploitasi oleh korporasi, yakni VOC. Di era kepemimpinan Soekarno, ekonomi belum membaik. Adapun di era Soeharto tercipta ekonomi dengan karakter konglomerasi menonjol. Karakter konglomerasi ini kemudian bergeser menjadi oligarki di era Reformasi, yakni ketika mereka tidak hanya aktif di bidang ekonomi, tetapi juga masuk dan mendominasi politik.
Para oligarki ini tidak cukup dengan mendekati atau memengaruhi tokoh politik dan partai politik. Mereka bahkan membentuk parpol sendiri.
”Para oligarki ini tidak cukup dengan mendekati atau memengaruhi tokoh politik dan partai politik. Mereka bahkan membentuk parpol sendiri,” katanya.
Baca juga: Kepemimpinan untuk Perjuangan Bersama
Kekuatan oligarki ini, menurut Faisal Basri, adalah kekuatan Orde Baru. Oleh karena itu, perbaikan di bidang politik tidak cukup signifikan. Di era Presiden Joko Widodo, pengaruh oligarki ini dinilai semakin kuat dalam penentuan kebijakan. ”Semua diperkuat, kecuali reformasi partai politik,” ujarnya.
Sementara itu, pakar pertanian Bustanul Arifin mengingatkan, ada catatan mengenai turunnya produksi dan produktivitas padi yang signifikan, pada 2018-2019. Salah satu hal yang menjadi pemicu ialah gangguan ketersediaan air, konservasi sumber daya air, dan manajemen irigasi. Problem pangan ini mesti menjadi perhatian bagi semua pihak dalam menghadapi Covid-19.