Akademisi dan Politisi Kehilangan Cendekiawan Soekarnois, Cornelis Lay
Guru Besar Ilmu Politik UGM Cornelis Lay meninggal di Yogyakarta. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia akademik dan politik, khususnya di kalangan PDI-P. Ia adalah salah satu teman diskusi Megawati.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Cornelis Lay berjalan kembali ke tempat duduk seusai menyampaikan pidato dalam acara pengukuhannya sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam acara itu, Cornelis menyampaikan pidato berjudul ”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Cornelis Lay meninggal, Rabu (5/8/2020) di Yogyakarta. Kepergian Cornelis ini menimbulkan duka mendalam bagi koleganya di dunia akademis ataupun politik. Semasa hidupnya, Cornelis yang juga pengagum pemikiran Soekarno ini kerap menjadi teman diskusi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, pertama kali mendapatkan kabar berpulangnya Cornelis, yang kerap dipanggil dengan Conny, dari Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Kesedihan sekaligus rasa terima kasih disampaikan oleh kader dan simpatisan PDI-P atas kepergian Cornelis.
”Seluruh perasaan campur aduk, kesedihan, dukacita, dan sekaligus terbentanglah seluruh rekam jejak sejarah perjalanan bersama sosok cendekiawan Soekarnois yang begitu saya kagumi,” kata Hasto dalam keterangannya Rabu (5/8/2020).
Seluruh perasaan campur aduk, kesedihan, dukacita, dan sekaligus terbentanglah seluruh rekam jejak sejarah perjalanan bersama sosok cendekiawan Soekarnois yang begitu saya kagumi. (Hasto Kristiyanto)
Menurut Hasto, Cornelis adalah sosok akademisi yang mampu membuat sintesis yang tepat antara pemikiran Bung Karno dan jalan politik Megawati Soekarnoputri. Sintesis pemikiran itu, lanjutnya, melahirkan kesadaran untuk menjadikan politik sebagai keyakinan ideologis, politik sebagai dedikasi bagi kepentingan umum, dan politik sebagai kesabaran revolusioner untuk memperjuangkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari belenggu penjajahan.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto
”Ibu Megawati Soekarnoputri dapat berdialog berjam-jam, melakukan recalling keseluruhan ide, gagasan, cita-cita, dan perjuangan Bung Karno yang dibumikan dalam alam kekinian. Keduanya intens membaca apa yang tidak tertulis, merasakan apa yang tidak tampak, dan mencari makna atas setiap peristiwa politik dengan terang dari pemikiran Bung Karno,” katanya.
Posisi Cornelis sebagai seorang akademisi yang kerap berdiskusi dengan Megawati, menurut Hasto, tidak serta-merta menjadikannya terjun ke dunia politik praktis. Namun, dengan posisinya yang bebas itu, Cornelis justru bisa menjadi sahabat Megawati, dan terus hadir dengan perannya sebagai pemikir-intelektual. Cornelis lebih memilih berdedikasi di dalam mengurai dan memformulasikan sintesa setiap gagasan Bung Karno dalam praktik politik Megawati.
Cornelis banyak hadir menemani Megawati sebagai teman, sahabat, sekaligus rekan berdiskusi bagi Megawati, termasuk ketika Megawati menghadapi pemerintahan Orde Baru.
Cornelis banyak hadir menemani Megawati sebagai teman, sahabat, sekaligus rekan berdiskusi bagi Megawati.
Hasto mengatakan, Cornelis menempatkan dirinya sebagai seorang akademisi yang tetap berdiri pada jalan intelektual. Jalan itu menjaga jarak dengan politik, tetapi menceburkan diri dengan sikap ”lepas-bebas” agar tetap bertahan pada obyektivitas dan mengawal kebenaran dalam politik.
”Apa yang dilakukan Mas Conny ini sejalan dengan sikap intelektual, yang berangkat dari makna ilmu pengetahuan yang digagas Bung Karno untuk diterapkan guna mengabdi pada perjuangan kemanusiaan,” katanya.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Ilustrasi: Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberikan arahan seusai menetapkan 48 pasangan calon untuk 1 pasangan calon provinsi dan 47 pasangan calon kabupaten/kota di kantor DPP PDI-P, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Senior dan koleganya, Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma Daniel Dhakidae, mengatakan, Cornelis terlibat dalam dan dekat dengan lingkaran dalam Megawati. Dalam posisinya sebagai akademisi, dia bisa masuk dan keluar dari lingkaran itu, terlebih secara pribadi dia memiliki nilai-nilai ideal yang kebetulan sesuai dengan PDI-P. Sikap yang diambil itu menempatkan Cornelis tidak semata-mata sebagai cendekiawan yang berada di awang-awang, tetapi dalam kondisi tertentu ketika perannya dibutuhkan pada situasi krisis, kecendekiawanannya diberikan untuk mengatasi kondisi kritis itu.
”Saya kira itulah yang ada di dalam pikirannya. Cornelis bisa menempatkan dirinya, kapan dia masuk, dan kapan dia keluar. Dia bisa masuk ke dalam sistem politik sebagai cendekiawan yang bebas, dan sewaktu-waktu dia bisa keluar juga jika dinilainya pilihan sistem itu sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai idealnya,” kata Daniel.
Cornelis menawarkan jalan ketiga bagi intelektual, yakni dengan posisinya yang tahu kapan untuk masuk, dan kapan harus keluar dari kekuasaan.
Selama ini seolah ada oposisi biner yang menempatkan akademisi pada posisi yang harus netral dan menjaga jarak sama sekali dengan kekuasaan. Adapun pada sisi lain ada akademisi yang menjadi sepenuhnya terlibat masuk di dalam kekuasaan sehingga dimanfaatkan menjadi seorang teknokrat. Cornelis menawarkan jalan ketiga bagi intelektual, yakni dengan posisinya yang tahu kapan untuk masuk, dan kapan harus keluar dari kekuasaan.
Asal-usulnya sebagai putra Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama ini menjadi salah satu basis kekuatan PDI-P, menurut Daniel, antara lain menjadi faktor lain yang memengaruhi pilihan Cornelis. Nilai-nilai ideal dan kedekatannya secara pribadi dengan partai menjadi pertimbangan Cornelis untuk terlibat aktif dalam internal partai.
KOMPAS/ ARBAIN RAMBEY
Daniel Dhakidae, Peneliti
”Dalam pikirannya, tidak bisa lagi diam dalam keadaan krisis, yakni saat Orde Baru jatuh, dan saat orang tidak tahu harus berbuat apa, dan itu pada dasarnya adalah titik gelap. Dalam ketidakpastian itu, rapat-rapat MPR memutuskan partai menjadi tiang utama bagi demokrasi Indonesia. Dalam kondisi itu, saya pikir dia mengambil jalan itu, yakni betul-betul terlibat, tetapi tidak dilihat oleh orang, dan dia menolak menjadi ketua partai, jabatan, penasihat, dan uang. Pada posisi ini, saya melihat Cornelis adalah betul-betul cendekiawan yang serius, yang tahu kapan dia harus masuk, dan kapan dia harus keluar,” paparnya.
Agustus tahun lalu, senior, kolega, dan teman-temannya yang aktif di dunia akademisi maupun politik ingin memberi kado ulang tahun bagi Cornelis, yakni dengan menerbitkan sebuah buku. Menurut Daniel, koleganya ketika itu mengkhawatirkan kondisi Cornelis yang menurun karena penyakit jantung. Beberapa tahun terakhir ia bergantung pada alat pacu jantung.
”Kami khawatir dengan kondisinya saat itu sehingga kami buatkan buku dengan judul Intelektual Jalan Ketiga. Kami niatkan sebagai kado ulang tahunnya, pada bulan Oktober tahun lalu. Tetapi, tadi pagi saya mendapat kabar duka,” katanya.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Cornelis Lay mendapat ucapan selamat dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai acara pengukuhan Cornelis sebagai guru besar, Rabu (6/2/2019), di Balai Senat UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam acara itu, Cornelis menyampaikan pidato berjudul ”Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.
Selain dikenal dekat dengan Megawati, Cornelis juga seorang pendidik yang peduli dengan yuniornya. Menurut Daniel, Cornelis banyak membantu dosen-dosen muda untuk menempuh pendidikan doktoral. Sekalipun kesehatannya menurun karena tergantung dengan alat bantu, dia juga aktif menulis.
”Saya dengar dari teman, tiga atau empat hari lalu, Cornelis sempat menyelesaikan bab terakhir dari sebuah buku,” kata Daniel.