Calon Tunggal dan Politik Dinasti Batasi Akses Warga
Sejumlah hal diusulkan untuk mencegah politik dinasti dan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Politik dinasti dan calon tunggal mengancam kualitas demokrasi.
Oleh
INGKI RINALDI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem mengusulkan sejumlah hal untuk mencegah politik dinasti dan calon tunggal yang jumlahnya terus meningkat di pemilihan kepala daerah. Upaya pencegahan perlu diambil karena keduanya mengancam kualitas demokrasi.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, dalam diskusi virtual bertajuk ”Pilkada: Antara Dinasti dan Calon Tunggal”, Selasa (4/8/2020), mengatakan, politik dinasti dan calon tunggal merupakan hal kontroversial, sekalipun konstitusional. Pasalnya praktik tersebut membatasi akses warga negara pada pengisian jabatan publik melalui pemilu dalam sebuah negara demokrasi.
Belum lagi jika ditambah dengan proses perekrutan calon yang cenderung tidak demokratis serta adanya keraguan pada kompetensi kepemimpinan politik di bawah dinasti ataupun calon tunggal. Menurut Titi, politik dinasti dalam pilkada merupakan refleksi praktik dinasti di partai politik.
Titi menyebutkan sejumlah rekomendasi kebijakan untuk menghadapi fenomena tersebut.
Salah satunya, mengubah persyaratan pencalonan. Misalnya saja, calon yang diusung partai politik mesti berstatus sebagai kader partai minimal selama tiga tahun.
Selain itu, aparatur sipil negara atau anggota TNI/Polri wajib mundur sejak tiga tahun sebelum pencalonan pilkada. Hal lain ialah jalur perseorangan murni diperuntukkan bagi calon non-partai.
Pada kesempatan itu, Titi juga menyebutkan mengenai latar belakang kehadiran calon tunggal yang di antaranya karena berat dan mahalnya syarat untuk menjadi calon perseorangan. Selain itu, beratnya persyaratan pencalonan dari partai politik dengan ketentuan syarat dukungan perolehan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara pemilu DPRD.
Karena itulah, diperlukan penataan syarat pencalonan. Misalnya, menghilangkan ketentuan ambang batas pencalonan atau menurunkan syarat dukungan calon perseorangan.
Peneliti dari Northwestern University, Yoes C Kenawas, dalam kesempatan itu mengatakan bahwa calon tunggal tetap masih harus ”berkeringat” atau berupaya keras untuk memastikan kemenangan. Yoes mengatakan bahwa tidak semua kandidat tunggal bisa berleha-leha dan memastikan kemenangan.
Hadirnya ”kotak kosong”, imbuh Yoes, penting untuk menjaga kualitas demokrasi. Pada sisi lain, perlawanan elite oposisi juga dinilai penting untuk bisa memengaruhi variasi hasil pilkada yang diikuti calon tunggal.
Yoes menambahkan, rekomendasi yang bisa diberikan lebih kepada mencegah efek buruk dari adanya politik dinasti dan calon tunggal alih-alih keberadaan praktiknya. Atau dengan kata lain, memastikan kompetisi yang berlangsung tetap adil dan setara, sekalipun yang berkompetisi merupakan bagian dari dinasti politik.