Di tengah situasi penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan agar daerah yang dipimpinnya mengalami kemajuan, diperlukan inovasi kepala daerah. Kompetensi kepala daerah memimpin pun jadi kunci saat Pilkada 2020.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kompetensi calon kepala daerah yang bertarung dalam Pilkada Serentak 2020 pada masa pandemi Covid-19 menjadi kata kunci. Hal itu menyusul diperlukannya inovasi di tengah situasi penuh ketidakpastian guna memastikan daerah yang dipimpin mengalami kemajuan.
Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad, Senin (3/8/3030) di Jakarta, mengatakan, kondisi keuangan negara yang sulit memunculkan kebutuhan tersebut. Apalagi setelah terpilih, para kepala daerah itu secara rata-rata hanya akan memimpin selama sekitar tiga tahun delapan bulan.
”(Hanya) Tiga kali (masa penyusunan) APBD. Jadi kalau tidak bisa mendatangkan atau menciptakan peluang-peluang baru dengan kemitraan bersama investor atau swasta, akan sulit bagi daerah itu melakukan percepatan pembangunan,” ujar Kamrussamad.
Jadi kalau tidak bisa mendatangkan atau menciptakan peluang-peluang baru dengan kemitraan bersama investor atau swasta, akan sulit bagi daerah itu melakukan percepatan pembangunan.
Diskusi bertema Politik Dinasti, Korupsi, dan Pilkada Serentak menyorot Praktik politik dinasti, dan skandal korupsi terkait di beberapa daerah yang akan menjadi tantangan berat dalam pilkada serentak di Kantor ICW, Jakarta, Jumat (13/1). Hadir dalam diskusi tersebut, dari kiri ke kanan; Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, Ahli Hukum dari PusakoPusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas hukum Universitas Andalas Charles Simabura, Ahli Hukum dari PUSaKO Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, Ahli Hukum dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada Oce Madril, dan Peneliti ICW Almaa Sjafrina.
Hal ini sejalan dan menjelaskan salah satu hasil temuan riset Litbang Kompas mengenai persepsi publik terhadap politik dinasti. Terlepas dari persepsi buruk anak muda ihwal politik dinasti yang berbeda dengan persepsi di kelompok usia senior kompetensi calon kepala
Kompetensi itu juga terkait dengan kemampuan untuk berkompetisi dalam Pilkada serentak 2020 di masa pandemi. Di antaranya keharusan untuk beradaptasi dengan model kampanye yang berubah, menjadi di ranah daring serta dari rumah ke rumah. Juga beradaptasi dengan kesulitan ekonomi yang dihadapi sebagian pihak sehubungan dengan konteks tersebut
Kamrussamad juga mengatakan bahwa dalam Pilkada Serentak 2020, potensi munculnya sejumlah pihak eksternal partai politik yang berhubungan dengan kekuasaan di masa sebelumnya relatif kecil dan terkait dengan politik dinasti. Ini menyusul kesulitan ekonomi dan pembatasan interaksi yang terjadi selama masa pandemi.
Sebagai gantinya, jejaring dan modal sosial yang dimiliki sebagian pihak atau keluarga tertentu dengan akses pada kekuasaan sebelumnya diperkirakan bakal dialihkan ke sebagian figur alternatif. Kamrussamad mengatakan, figur alternatif itu bakal merupakan sosok yang dianggap bisa mengamankan kelanjutan kebijakan sebelumnya dan sekaligus diterima masyarakat.
Politik dinasti manjadi persoalan karena peraktiknya di Indonesia relatif buruk dan cenderung destruktif. Pasalnya, di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tidak ada larangan terhadap praktik tersebut.
”(Hal-hal) Itu akan (jadi dasar) mempertimbangkan untuk mengarahkan dukungan ke mana,” sebut Kamrussamad menambahkan.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, menambahkan, politik dinasti menjadi persoalan karena praktiknya di Indonesia relatif buruk dan cenderung destruktif. Pasalnya, di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tidak ada larangan terhadap praktik tersebut.
Akan tetapi, praktik yang terjadi dengan tiba-tiba dan cenderung memanfaatkan privilese tanpa melalui proses penyaringan yang adil membuat praktik politik dinasti tidak disukai sebagian orang. Cenderung dominannya resistensi kaum muda terhadap praktik politik dinasti sebagaimana dicerminkan dari riset Litbang Kompas, penyebabnya diduga karena tidak terlibat dan dilibatkannya mereka dalam proses yang semestinya dilakukan dengan adil dan terbuka itu.