Cegah Disparitas Vonis Korupsi, MA Bekali Hakim Pedoman Pemidanaan
Hakim diharapkan tak berlindung di balik alasan independensi dan betul-betul mengacu pada Peraturan MA No 1/2020 dalam pemidanaan perkara korupsi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yang berisi pedoman bagi hakim untuk pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi diharapkan mampu menjawab persoalan disparitas putusan hakim yang selama ini mengemuka. Selain itu, diharapkan juga perma itu membuat putusan hakim lebih akuntabel.
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tersebut diundangkan pada 24 Juli lalu, dan dirilis ke publik oleh Mahkamah Agung (MA) pada Minggu (2/8/2020).
Secara umum, Perma No 1/2020 berisi tentang pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi, Minggu (2/8/2020), mengatakan dengan adanya pedoman pemidaan tersebut, hakim tindak pidana korupsi memiliki kepastian dan proporsionalitas pemidanaan. Hakim tipikor juga dapat menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Pedoman ini juga untuk menjaga akuntabilitas hakim tipikor saat memutus perkara Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
”Artinya, pidana yang dijatuhkan itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi keadilan proporsional, keserasian dan kemanfaatan. Terutama jika dikaitkan dengan satu perkara dengan perkara lainnya yang serupa,” ujar Andi.
Pedoman pemidaan tersebut secara rinci juga mengatur mengenai penentuan berat-ringannya hukuman yang akan dijatuhkan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tipikor harus mempertimbangkan kategori kerugian keuangan negara, tingkat kesalahan terdakwa, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana, dan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Dalam perma itu diatur tentang empat kategori kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Kategori paling berat adalah kerugian negara di atas Rp 100 miliar, kategori berat kerugian di atas Rp 25 miliar, kategori sedang lebih dari Rp 1 miliar-Rp 25 miliar, kategori ringan di atas Rp 200 juta-Rp 1 miliar, dan kategori paling ringan di bawah Rp 200 juta.
Sementara untuk tingkat kesalahan dibagi dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Aspek kesalahan dalam kategori tinggi dilihat dari peran terdakwa yang signifikan seperti penganjur dalam kasus korupsi, menggunakan modus operandi canggih, dan perbuatannya dilakukan saat keadaan bencana atau krisis ekonomi nasional.
Untuk aspek kesalahan sedang dilihat dari terdakwa merupakan orang yang turut serta dalam tindak pidana korupsi, didahului dengan perencanaan, dan perbuatan dilakukan saat bencana atau krisis ekonomi skala daerah atau lokal. Untuk aspek kesalahan rendah adalah terdakwa merupakan orang yang membantu dalam tindak pidana korupsi, kurang memahami dampak kejahatan, dan dilakukan saat tidak dalam kondisi bencana atau krisis ekonomi.
Selain itu, diatur juga tentang pedoman dampak dan keuntungan yang paling banyak diperoleh terdakwa tindak pidana korupsi. Dalam aspek dampak tinggi misalnya, perbuatan terdakwa merugikan dalam skala nasional. Dalam kategori tinggi ini keuntungan yang diperoleh terdakwa dari korupsi besarnya lebih dari 50 persen dari kerugian negara. Adapun nilai pengembalian kerugian negara besarnya kurang dari 10 persen dari harta benda yang diperoleh dalam perkara tersebut.
Untuk kategori kerugian negara paling berat, yaitu di atas Rp 100 miliar, terdakwa dapat dijatuhi hukuman penjara 16-20 tahun dan maksimal seumur hidup dengan denda Rp 800 juta-Rp 1 miliar. Bahkan, dalam Pasal 17 Perma No 1/2020 disebutkan pula hakim dapat menjatuhkan hukuman mati apabila perkara memiliki tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi. Syarat lainnya, hakim tak menemukan hal yang meringankan terdakwa.
Menurut Andi, Perma No 1/2020 digodok hampir dua tahun oleh kelompok kerja (pokja) bekerja sama dengan peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Tim berkonsultasi dan berdiskusi dengan instansi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan, KPK, dan akademisi.
Peneliti Mappi FHUI, Adery Ardhan, mengatakan, Mappi FHUI menjadi konsultan MA dalam penyusunan peraturan tersebut. Perma dibuat karena selama ini masih banyak perbedaan vonis pada kasus korupsi yang sama. Adapun di UU Tipikor belum ada petunjuk yang rinci dan jelas untuk mencegah hal tersebut. Oleh karena itu, MA berpandangan perlu dibuat panduan yang rinci.
”Ini adalah bentuk komitmen MA untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas. Ini juga berawal dari riset Mappi FHUI tiga tahun lalu yang menunjukkan masih tingginya disparitas dalam putusan perkara korupsi,” kata Adhery.
Secara terpisah, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, KPK menyambut baik lahirnya Perma No 1/2020.
Meskipun tidak dibuat untuk semua pasal tindak pidana korupsi, seperti pasal suap, pemerasan, dan tindak pidana pencucian uang, adanya pedoman pemidanaan tersebut diharapkan dapat mencegah disparitas dalam putusan yang berpatokan pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Adapun untuk menghindari disparitas tuntutan pidana, KPK saat ini sedang menyusun pedoman tuntutan tipikor untuk seluruh pasal tipikor.
Eksaminasi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melihat, persoalan disparitas putusan dalam kasus korupsi sudah lama muncul. Ini karena di antara hakim tipikor belum ada pemahaman yang sama dalam menafsirkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Dengan demikian, adanya Perma No 1/2020 diharapkan dapat mengatasi persoalan itu.
”Jangan sampai dengan alasan independensi dan imparsialitas, hakim tipikor kemudian mengesampingkan aturan di Perma 1/2020 ini,” kata Kurnia.
Lebih lanjut, dengan adanya pedoman pemidanaan ini, menurut Kurnia, masyarakat bakal lebih mudah untuk melakukan eksaminasi putusan peradilan. Eksaminasi adalah pengujian atau penilaian terhadap putusan hakim untuk melihat apakah pertimbangan hakim sudah sesuai dengan prinsip dan prosedur hukum yang benar. Eksaminasi juga untuk melihat, apakah putusan tersebut sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat.