Realisasi Keadilan Sosial Masih Harus Diperjuangkan
Tidak seperti tiga sila lain di Pancasila, realisasi dari amanat yang terkandung dalam sila ke-4 dan ke-5 Pancasila dinilai masih harus diperjuangkan.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak seperti tiga sila lain di Pancasila, realisasi dari amanat yang terkandung dalam sila ke-4 dan ke-5 Pancasila dinilai masih harus diperjuangkan. Ini tak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga kalangan masyarakat sipil.
Hal itu menjadi salah satu yang mengemuka dalam bedah buku Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan yang ditulis Yudi Latif, Minggu (3/8/2020) malam.
Yudi Latif, dalam bedah buku yang diselenggarakan Perkumpulan Gerakan Kebangsaan itu, mengatakan bahwa sila ke-1 hingga sila ke-3 Pancasila relatif sudah dikembangkan. Adapun amanah dalam sila ke-4 dan sila ke-5 masih harus diperjuangkan. Ini tidak semata-mata harus dilakukan oleh negara atau partai politik, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarat sipil.
Hal itu terutama dalam kaitannya untuk mengerjakan tugas keadilan sosial yang relatif belum dilakukan. ”(Ini) PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan,” ujar Yudi.
Yudi menambahkan, saat ini juga masih terjadi kesalahan pandangan ihwal Pancasila yang direduksi sebagian kalangan hanya berdimensi hukum. Padahal, Pancasila mengandung aspek moralitas, filosofis, serta nilai paradigmatis yang membuat dimensinya mesti disigi secara luas.
Bedah buku malam itu juga dihadiri sejumlah narasumber sebagai pembahas. Sebagian di antaranya adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat, pengamat militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, dan sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola.
Komaruddin mengatakan bahwa dalam buku Wawasan Pancasila, Yudi merumuskan dan mempertegas serta mengartikulasikan hal-hal yang dibayangkan para pendiri bangsa Indonesia. Sebagian di antaranya bahkan belum sempat dituliskan para pendiri bangsa itu.
Dalam konteks tersebut, imbuh Komaruddin, buku Wawasan Pancasila memperkaya dan mewakili cita-cita pemikir intelektual dan pejuang yang bersama-sama membayangkan tentang Indonesia. Ini merupakan sebuah realitas konseptual yang terus berlangsung sampai hari ini.
Sementara Connie menyoroti Pancasila yang idealnya menjadi working ideology. Khususnya jika ditilik dari potensi untuk membawa Indonesia menjadi salah satu kekuatan militer terbesar di dunia.
Connie menjelaskan, hal itu tidak berarti Indonesia mesti memiliki musuh bersama. Akan tetapi, dalam konteks untuk berpikir ke masa depan sehingga bisa menjadi bangsa pemenang.
Menurut dia, hal tersebut bukan mustahil. Sebab, di tahun 1960-an, Indonesia adalah negara dengan kekuatan militer terkuat di bumi bagian selatan. Hal ini dinilai berhubungan dengan implementasi sebagian nilai Pancasila.
Sosiolog Universtas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, mengatakan bahwa masalah ideologi menjadi pergulatan yang sangat ulet dan sulit di antara tiga dasar pembentuk bangsa di Indonesia. Masing-masing kelompok Hindu kuno, Islam, dan liberalis serta marxis.
Pada bagian lain, Thamrin juga memberikan masukan tentang buku Wawasan Pancasila yang dinilainya kurang memberikan argumen sosiologis untuk memberikan penjelasan. Ia menyayangkan, misalnya, tatkala Yudi menggunakan pemikiran Émile Durkheim sebagai titik tolak.
Hal ini, imbuh Thamrin, karena Durkheim dianggap sebagai tokoh paradigma positivistik dengan kecenderungan pada fasisme. Ia mencontohkan, misalnya, Orde Baru merupakan contoh konkret dipergunakannya paradigma positivistik itu.
Karena itu, sebaiknya Yudi menggunakan pemikiran sosiolog Pierre Bourdieu yang cenderung kontemporer dan dapat menjadi semacam jembatan pemikiran dari sejumlah teori besar, termasuk yang diformulasikan Durkheim. Ia mengatakan, jika pemikiran Bourdieu yang dipergunakan, dapatlah disusun langkah-langkah pembudayaan Pancasila yang bisa dilakukan.