Enam Hal Perlu Ada dalam Aturan Pelibatan TNI untuk Atasi Aksi Terorisme
Koalisi masyarakat sipil mendesak agar enam hal prinsip masuk di rancangan perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Selain itu, mereka juga mendesak pembahasan aturan itu dibuka ke publik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme dibuka ke publik. Mereka pun meminta ada batasan-batasan dalam pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Kontras, Imparsial, Elsam, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Setara Institute, HRWG, YLBHI, Public Virtue Institute, ICW, LBH Pers, LBH Jakarta, ICJR, Perludem, dan Pilnet Indonesia.
Sekretaris Jenderal PBHI Julius Ibrani, Minggu (2/8/2020), mengingatkan, sejak rancangan peraturan presiden (perpres) itu muncul, timbul kontroversi dan penolakan dari masyarakat. Rancangan perpres tersebut dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia karena memberikan kewenangan yang luas serta berlebihan kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
”Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan perpres tersebut secara terbuka. Dengan demikian, menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draf rancangan perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik. Pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-nutupi rancangan perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat,” kata Julius.
Enam substansi
Koalisi Masyarakat Sipil berpandangan bahwa rancangan perpres tersebut perlu memuat prinsip dan substansi pasal-pasal, di antaranya tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme fungsinya sebatas penindakan. Fungsi penindakan tersebut sifatnya hanya terbatas untuk menangani pembajakan pesawat, kapal, atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat.
Selain itu, penggunaan dan pengerahan TNI juga harus atas dasar keputusan politik negara, yakni keputusan presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3) juncto Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, dan jumlah pasukan dalam pelibatannya.
Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri pun harus menjadi pilihan yang paling terakhir. Hal tersebut dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme.
Hal lain yang penting, pelibatan TNI sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu. Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen karena tugas utama TNI untuk menghadapi perang.
Pelibatan TNI itu ditekankannya harus pula tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Karena itu, seluruh prajurit TNI yang terlibat dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri harus tunduk pada aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalui APBN. Mengingat fungsi TNI yang bersifat terpusat, anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar APBN untuk TNI memiliki masalah akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, rancangan perpres pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Dalam UU itu disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, teror tidak bisa ditangani secara hukum dilihat dari sifatnya, tempatnya, dan skalanya.
Misalnya, penanganan teror yang menyangkut hukum internasional atau pergesekan di antara dua negara yang mengalami teror. Atau, teror yang terjadi di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang bukan wilayah kedaulatan Indonesia. Dalam hal seperti ini, polisi tidak bisa serta-merta ikut menangani.
”Kalau kasusnya seperti itu, kalau bukan TNI, tidak bisa (menangani). Sebab, kalau terjadi di kapal atau udara, itu, kan, hak teritorialnya menurut hukum hak teritorial negara yang punya kapal. Polri, kan, tidak boleh masuk,” kata Mahfud.
Mahfud juga menekankan, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme hanya bisa dilakukan atas perintah presiden setelah dibicarakan dengan kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan pemangku kepentingan lain. Ini seperti diatur dalam UU Pemberantasan Terorisme.
Bukan hanya itu, setelah sampai pada batas tertentu, kasus yang ditangani TNI akan kembali diserahkan kepada kepolisian.
”Saya sudah berdiskusi dengan LSM, parpol, dan lintas kementerian atau lembaga. Memang tidak ada jawaban lain selain perpres itu harus segera diproses lanjut pembahasannya,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, rancangan perpres tersebut seharusnya sudah selesai pada 21 Juni 2019. Namun, saat itu masyarakat sedang menghadapi keriuhan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kemudian, pada awal 2020, masyarakat kembali dihadang dengan pandemi Covid-19.
Meskipun demikian, kini pemerintah berkomitmen melanjutkan pembahasan rancangan perpres tersebut. Mahfud menyebutkan, Covid-19 tidak akan mematikan pembahasan regulasi tersebut. Pembahasan perpres tersebut juga akan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Menurut Mahfud, di era reformasi saat ini, pertahanan dan keamanan harus diletakkan dalam bingkai perlindungan hak asasi manusia yang diatur oleh konstitusi. Hal itu harus menjadi pedoman bagi seluruh prajurit TNI dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia berharap tidak ada lagi kecurigaan bahwa militer anti-hak asasi manusia. Sebab, semua tentara sudah dibekali buku saku perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan hukum militer internasional.