Sarat Kepentingan, RUU Pemilu Disusun dengan Multivarian
Fraksi-fraksi di DPR belum sepakat terhadap sejumlah isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu. Masing-masing fraksi mengajukan norma yang menjamin eksistensi partainya serta menguntungkan kepentingannya.

Pengendara melintasi mural Komisi Pemilihan Umum untuk mengampanyekan antigolput dalam pemilu di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Minggu (7/6/2020). Sejumlah kalangan menilai puluhan juta suara pemilih berpotensi hangus apabila Rancangan Undang-Undang Pemilu mengatur ambang batas parlemen menjadi 7 persen. Pada Pemilu 2019 lalu, 13 juta lebih suara sah rakyat terbuang karena adanya aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Draf Rancangan Undang-undang Pemilu yang sedang disusun Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat berpotensi tidak mencapai titik temu dalam pengaturan isu-isu krusial. Dengan berbagai variasi pendapat fraksi, draf RUU hasil kompilasi itu berpotensi muncul dengan berbagai opsi dan tidak tertutup kemungkinan harus diselesaikan dengan mekanisme voting di rapat paripurna.
Dari ringkasan penyusunan draf RUU Pemilu yang diperoleh Kompas, ada sedikitnya 22 isu krusial atau pasal-pasal di mana terjadi perbedaan pendapat antarfraksi. Pasal-pasal itu terutama menyangkut kepentingan masing-masing parpol untuk mempertahankan eksistensinya dan memastikan parpol tetap memperoleh kursi di parlemen.
Perbedaan itu antara lain terkait dengan pengaturan ambang atas penghitungan suara parpol untuk perolehan kursi parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), sistem keserentakan pemilu, sistem pemilu, mekanisme penyelenggaraan pemilu lokal dan pemilu nasional, metode konversi suara, metode kampanye pemilu, dan besaran daerah pemilihan (district magnitude).
Ada sedikitnya 22 isu krusial atau pasal-pasal di mana terjadi perbedaan pendapat antarfraksi. Pasal-pasal itu terutama menyangkut kepentingan masing-masing parpol untuk mempertahankan eksistensinya dan memastikan parpol tetap memperoleh kursi di parlemen.
Sebagai contoh, untuk model keserentakan pemilu, ada lima varian yang berkembang. Enam fraksi menghendaki keserentakan pemilu nasional tetap dilakukan seperti Pemilu 2019, yakni pemilu presiden (pilpres) dibarengkan dengan pemilihan anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota (lima kotak). Enam fraksi yang mendukung model ini ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Adapun untuk Partai Golkar, mengusulkan dua opsi terkait keserentakan ini. Pertama, Golkar mengusulkan alternatif untuk menyerentakkan pilpres dengan pemilihan anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota (empat kotak). Kedua, Golkar mengusulkan pemilu nasional ialah pilpres dibarengkan dengan pemilihan anggota DPR dan anggota DPD (tiga kotak). Untuk opsi tiga kotak, yakni pilpres dibarengkan dengan pemilihan anggota DPR, dan anggota pemilihan DPD, juga menjadi opsi yang didukung oleh Fraksi Partai Gerindra.
Adapun Fraksi Partai Demokrat menawarkan dua opsi dalam keserentakan pemilu. Opsi pertama, Pileg dan Pilpres dilakukan tidak serentak. Opsi kedua, jika dilakukan serentak lima kotak, maka presidential threshold adalah 0 persen untuk partai yang mendudukkan wakilnya di DPR, atau partai yang mencapai suara minimal 4 persen dalam Pemilu 2019.
Perbedaan pendapat juga ditemui pada pengaturan sistem pemilu. Ada tiga varian yang muncul, yakni sistem proporsional terbuka, sistem proporsional tertutup, dan sistem campuran. Tiga fraksi menghendaki sistem proporsional tertutup, yakni PDI-P, Gerindra, dan PPP. Adapun empat fraksi menginginkan sistem proporsional terbuka, yakni PKB, PAN, PKS, dan Nasdem. Adapun Golkar mengusulkan 3 alternatif pilihan, yakni sistem proporsional tertutup, sistem proporsiona terbuka, dan sistem campuran.
Fraksi Partai Demokrat mengajukan dua opsi juga, yakni sistem proporsional terbuka dengan kombinasi daftar partai sebanyak 10 persen dan suara terbanyak. Opsi lainnya, Demokrat menginginkan sistem pemilu campuran.

Perbedaan juga ditemui dalam pengaturan norma mengenai ambang batas parlemen. Ada tiga varian, yaitu 5 persen, 7 persen, dan 4 persen. Ada tiga fraksi menginginkan parliamentary threshold 5 persen, yakni PDI-P, PKB, dan PKS. Adapun Gerindra, Golkar, dan Nasdem menginginkan PT 7 persen. Sementara Demokrat, PAN, dan PPP tetap mempertahankan PT 4 persen.
Ada variasi pendapat parpol yang tidak dapat disatukan dalam norma-norma tertentu dalam draf RUU Pemilu yang sedang disusun DPR.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa saat dihubungi Kamis (30/7/2020), membenarkan adanya variasi pendapat parpol yang tidak dapat disatukan dalam norma-norma tertentu dalam draf RUU Pemilu yang sedang disusun DPR. Perbedaan pendapat itu belum bisa dirumuskan menjadi satu norma tunggal, karena masing-masing fraksi menginginkan pendapatnya tetap dicatat sebagai bagian dari risalah pembahasan penyusunan RUU Pemilu.
”Memang variasinya banyak sekali, dan kami tidak bisa mengubah variasi itu. Untuk satu isu, misalnya, bisa ada dua, tiga, atau empat varian alternatif rumusan. Oleh karena beragamnya pendapat itu, kami di Komisi II DPR tidak bisa merumuskannya dalam satu norma tunggal,” katanya.
Solusi yang disepakati oleh Komisi II DPR ialah membawa draf hasil kompilasi antara pendapat fraksi dengan pendapat ahli itu apa adanya ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi dan disinkronisasi. Selain itu, masih terbuka kesempatan konsinyering di masa sidang berikutnya untuk membahas kembali perbedaan yang ada di antara fraksi-fraksi.

Saan Mustopa
”Kami sepakati masa sidang berikutnya, yang dibuka Agustus, kami akan bawa draf dengan berbagai varian norma itu kepada Baleg. Nanti Baleg setelah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi, draf itu dikembalikan ke Komisi II. Kami meneruskan draf itu kepada pimpinan, dan selanjutnya pimpinan yang akan membahas di dalam rapat Badan Musyawarah, apakah pembahasan dilakukan oleh Baleg, Panja di Komisi II, atau Pansus,” katanya.
Baca juga: Parpol dan Sistem Pemilu
Belum satu suara
Dalam prosesnya, karena ada berbagai varian pendapat yang tidak dapat disatukan, Baleg tidak dapat mengubah substansi norma itu. Baleg hanya berperan melakukan harmonisasi dan memastikan substansi draf itu tidak bertentangan dengan UU lain atau regulasi yang lebih tinggi. Perbedaan pendapat tetap dibiarkan apa adanya tercantum di dalam draf RUU.
Baleg tidak boleh menafikan perbedaan pendapat itu atau menjadikan norma-norma itu satu persepsi. Pasalnya, fraksi-fraksi belum sepakat dalam penyusunannya.
Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo yang juga Ketua Panja Penyusunan RUU Pemilu mengatakan, Baleg tidak boleh menafikan perbedaan pendapat itu atau menjadikan norma-norma itu satu persepsi. Pasalnya, fraksi-fraksi belum sepakat dalam penyusunannya.
”Baleg hanya melihat apakah nanti di dalam draf itu bertentangan dengan konstitusi ataukah tidak, dan ada tumpang tindih ataukah tidak dengan UU yang lain. Tetapi Baleg tidak boleh mengubah substansi yang penting,” kata Arif.

Dengan belum adanya kesepakatan terkait norma-norma tertentu, salah satu solusi yang bisa diambil jika konsinyering di masa sidang mendatang juga belum mampu menyatukan perbedaan, maka draf yang ada itu akan tetap dibahas bersama dengan pemerintah di dalam pembahasan tingkat pertama. Oleh karena itu, untuk mempercepat terjadinya kesepakatan antarfraksi, pimpinan partai diimbau untuk bertemu guna mendorong kesepahaman dalam waktu dekat.
”Ketua-ketua umum partai makanya kalau mau cepat ya harus segera bertemu untuk mendorong kesepakatan-kesepakatan yang clear gitu lho. Karena ini pasti perdebatannya panjang. Partai-partai berbeda pendapat dan tidak bisa disatukan,” ujar Arif.
Pengaturan RUU Pemilu itu menentukan nasib dan keberlangsungan partai. Semua partai bertarung ketat memperjuangkan norma yang sekiranya menjamin eksistensinya dalam peta politik nasional.
Mengenai nasib draf RUU yang belum mencapai kata sepakat di internal DPR, Saan mengatakan, itu hal yang wajar. Sebab, pengaturan RUU Pemilu itu menentukan nasib dan keberlangsungan partai. Semua partai bertarung ketat memperjuangkan norma yang sekiranya menjamin eksistensinya dalam peta politik nasional.
Baca juga: Desain Pemilu Dirumuskan
Pengalaman terdahulu, yakni ketika penyusunan RUU Pemilu, tahun 2012, variasi pendapat itu bahkan tidak mencapai titik temu ketika sudah dibahas bersama dengan pemerintah. Akibatnya, draf RUU itu dibawa ke paripurna dan dilakukan voting untuk menentukan norma mana yang paling disetujui oleh peserta rapat.
”Hal serupa bisa saja terjadi dalam pembahasan RUU Pemilu kali ini. Jadi nanti kita lihat saja bagaimana perkembangannya, apakah bisa diambil satu kesepakatan ataukah tidak mengenai norma-norma tertentu yan krusial bagi parpol itu,” kata Saan.

Frengki Amalo (48), warga Kupang, saat memberikan hak politik dalam pemilu presiden dan legislatif, 17 April 2019.
Abaikan isu lain
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, mayoritas fraksi masih berpikir bagaimana regulasi yang disiapkan itu nantinya tidak merugikan mereka. Padahal, ada kepentingan publik yang lebih luas yang mestinya dibahas.
”Salah satunya termasuk juga memikirkan bagaimana keterbelahan pemilih secara diametral akibat kontestasi politik tidak terjadi lagi. Bagaimana rekayasa sistem pemilu, termasuk juga isu keadilan pemilu terkait dengan penanganan pelanggaran politik uang yang berdaya cegah dan mampu memberikan efek jera. Isu-isu itu juga penting, tetapi soal ini fraksi-fraksi tidak banyak berdebat,” katanya.
Mayoritas fraksi masih berpikir bagaimana regulasi yang disiapkan itu nantinya tidak merugikan mereka. Padahal, ada kepentingan publik yang lebih luas yang mestinya dibahas
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan mengatakan, risiko pembahasan RUU Pemilu di DPR ialah terjadinya perdebatan yang panjang. Kondisi ini dikhawatirkan dan bisa mengulang perdebatan dalam penyusunan RUU Pemilu pada tahun 2017. Ketika itu, karena RUU Pemilu usulan DPR tidak segera muncul atau disepakati, akhirnya usulan itu diambil oleh pemerintah. Sebab, pemilu sudah dekat, dan dibutuhkan persiapan matang untuk pemilu serentak pertama kalinya dalam sejarah.
”Akibatnya, pemerintah harus menyusun RUU Pemilu, yang kini menjadi UU No 7/2017 tentang Pemilu itu dalam waktu singkat. Ketika itu perdebatan di DPR berkepanjangan dan tidak segera ada kata sepakat. Hal serupa sebaiknya tidak terulang lagi di DPR. Fraksi-fraksi idealnya menyamakan persepsi, dan tidak semata-mata mengutamakan kepentingan masing-masing,” katanya.

Lambang partai politik peserta Pemilu 2019 yang dipampangkan di kantor KPU, Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Penyusunan RUU itu pun sebaiknya tidak terburu-buru untuk diselesaikan tahun ini juga. Dengan demikian, ada cukup waktu bagi DPR untuk menimbang matang-matang pilihan sistem pemilu, desain keserentakan, maupun mekanisme teknis lainnya. Di samping itu, DPR harus pula memikirkan dampak ikutan dari pemilihan suatu mekanisme.
”Sebagai contohnya, kalau memilih sistem proporsional terbuka, sebaiknya besaran dapil (district magnitude) tidak terlalu besar, misalnya 3-8 saja. Sebab, kalau terlalu besar juga berpotensi menimbulkan vote buying. Pasalnya, dalam satu dapil ada peluang keterpilihan yang besar jika jumlah caleg terpilih lebih dari 10, misalnya. Mereka akan mati-matian melakukan segala cara, termasuk politik uang, untuk meraih kursi, karena target raihan suara untuk satu kursi tidak terlalu tinggi,” kata Erik.
Penyusunan RUU itu pun sebaiknya tidak terburu-buru untuk diselesaikan tahun ini juga. Dengan demikian, ada cukup waktu bagi DPR menimbang matang-matang pilihan sistem pemilu, desain keserentakan, ataupun mekanisme teknis lainnya
Sebaliknya, jika yang dipilih ialah sistem proporsional tertutup, besaran dapil sebaiknya tidak terlalu kecil. Sebab, dengan potensi keterpilihan kecil dalam satu dapil lantaran berdasarkan nomor urut, yang terjadi ialah potensi candidacy buying.
”Masing-masing caleg akan berebut nomor urut kecil, dan kalau tidak mendapatkan nomor kecil dalam satu dapil, mereka bisa pindah ke dapil lain dengan nomor urut kecil. Dalam konteks ini, transaksi politik akan terjadi di internal partai, karena masing-masing caleg berebut nomor teratas,” ujarnya.
Baca juga: Sejumlah Aturan di RUU Pemilu Berpotensi Langgar Konstitusi