DPR mendukung upaya pemerintah melanjutkan perampingan birokrasi dengan melebur sejumlah lembaga nonstruktural. Namun, DPR meminta perampingan lembaga tersebut dilakukan berdasarkan audit kinerja yang terukur.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah untuk menata birokrasi dengan merampingkan lembaga atau badan disambut baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian halnya dengan rencana merampingkan 18 lembaga lain pada tahap selanjutnya. Namun, pemerintah diharapkan lebih menguatkan basis rasional dalam perampingan lembaga dengan mengadakan audit kinerja.
Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang ditandatangani Presiden Jokowi, 20 Juli 2020, sebanyak 18 tim kerja, badan, dan komite dibubarkan. Pembubaran lembaga nonstruktural (LNS) itu, kata Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, masih tahap pertama. Untuk tahap kedua, Kemenpan dan RB menyerahkan pembubaran 18 LNS lain yang dinilai tak lagi dibutuhkan (Kompas, 20/7/2020).
Pemerintah harus menggunakan instrumen yang jelas untuk mengukur relevansi lembaga itu berbasis penilaian terhadap kinerja lembaga bersangkutan. Salah satunya dengan melakukan audit kinerja.
Pembubaran LNS itu diutamakan bagi lembaga atau badan yang dibentuk oleh keputusan atau peraturan pemerintah, baik berupa perpres maupun keputusan presiden (keppres), dan yang tidak sesuai dengan target negara.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, untuk meneruskan perampingan lembaga itu, pemerintah harus memiliki landasan yang rasional dan obyektif. Pemerintah diharapkan tidak hanya mendasarkan keputusannya pada asumsi atau pemikiran terhadap suatu lembaga yang dinilai tidak efisien, boros, atau memiliki tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain. Namun, lebih dari itu, pemerintah harus menggunakan instrumen yang jelas untuk mengukur relevansi lembaga itu berbasis penilaian terhadap kinerja lembaga bersangkutan. Salah satunya dengan melakukan audit kinerja.
”Program perampingan ini bisa diteruskan, tetapi tentu harus memiliki basis rasional yang jelas. Pertama, sebaiknya ada audit kinerja lembaga, apakah suatu lembaga masih relevan ataukah tidak. Tidak tertutup kemungkinan ada lembaga yang memang secara fungsi dan peran serta tanggung jawab sudah masuk ke dalam peran kementerian. Kedua, dari sisi efisiensi anggaran, sebenarnya ada lembaga-lembaga yang tidak terlalu penting, tetapi malah memakan anggaran atau biaya yang besar. Dari sisi kinerja dan beban anggaran, tentu itu penting menjadi pembahasan oleh pemerintah,” papar Saan saat dihubungi, Kamis (30/7/2020).
Saan mengatakan, banyak lembaga dan badan yang dibentuk melalui keputusan dan aturan pemerintah. Ada pula lembaga-lembaga yang dibentuk melalui undang-undang, tetapi jumlahnya tidak banyak jika dibandingkan dengan lembaga yang dibentuk dengan perpres atau keppres. Dengan pertimbangan itu, parlemen mendorong agar perampingan itu dilakukan dengan mendahulukan perampingan pada lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah.
”Dari mana proses pembubaran dilakukan? Yang paling mungkin itu, kan, dari lembaga-lembaga atau badan yang dibentuk oleh pemerintah sendiri melalui perpres dan keppres. Nah, nanti pelan-pelan masuk ke lembaga yang dibentuk melalui undang-undang,” kata Saan.
Pembubaran lembaga yang dibentuk melalui undang-undang bukan tidak mungkin dilakukan. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, harus ada proses komunikasi antara pemerintah dan DPR. Jangan sampai ada paradoks pembentukan lembaga.
Pembubaran lembaga yang dibentuk melalui undang-undang bukan tidak mungkin dilakukan. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, harus ada proses komunikasi antara pemerintah dan DPR. Jangan sampai ada paradoks pembentukan lembaga. Di satu sisi ingin merampingkan lembaga atau badan, tetapi di sisi lain justru membentuk lembaga baru melalui UU.
”Hal seperti ini yang harus dibicarakan dan diantisipasi. Jangan sampai ada paradoks pembentukan kelembagaan,” ujarnya.
Pengajar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele, mengatakan, pemerintah harus pula melihat lembaga sebagai alat dan bukan tujuan. Secara sederhana, jika visi dan misi presiden atau pemerintah telah tercapai atau berubah, lembaga yang dibentuk oleh presiden itu bisa saja dibubarkan. Sebaliknya, jika lembaga atau badan itu dibentuk karena perintah undang-undang, berarti ada proses legislasi yang harus diantisipasi.
”Sebenarnya tidak perlu semua undang-undang baru itu mensyaratkan pembentukan lembaga baru. Dari sebagian besar lembaga hasil undang-undang itu, kan, bentuknya komisi, selain juga badan. Namanya bisa macam-macam, tetapi hampir semua undang-undang lahir diikuti dengan pembentukan lembaga baru,” ujarnya.
Pembubaran lembaga melalui perpres lalu membentuk lembaga baru lagi itu contoh yang buruk, menurut saya. Pembentukan lembaga baru itu seharusnya tidak perlu.
Di sisi lain, tidak semua tujuan pemerintahan dapat diwujudkan dengan pembentukan lembaga baru. Pemerintah dan DPR dapat saja memfungsikan lembaga yang sudah ada. Pembubaran sejumlah lembaga melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 juga dikritisi. Sebab, di satu sisi membubarkan lembaga yang sudah ada, tetapi sebaliknya keppres tersebut diikuti dengan pembentukan lembaga baru yang isinya menegaskan kembali peranan masing-masing kementerian dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
”Pembubaran lembaga melalui perpres lalu membentuk lembaga baru lagi itu contoh yang buruk, menurut saya. Pembentukan lembaga baru itu seharusnya tidak perlu. Justru fungsi direksi dan koordinasi serta supervisi presiden saja yang diperkuat. Lalu, biarkan masing-masing kementerian, bekerja sesuai tupoksinya di kementerian dan lembaga, sedangkan untuk koordinasi lintas menteri menjadi tugas Kemenko. Baru ketika ada kondisi darurat diambil alih oleh presiden,” katanya.
Untuk meneruskan program perampingan lembaga, menurut Gabriel, sebaiknya tidak hanya melihat aspek efisiensi anggaran. Pelaksanaan tugas atau kinerja lembaga yang bersangkutan juga perlu dilihat.
”Pertimbangan efisiensi saja tidak cukup, harus ada perhitungan efektivitas. Misalnya, ada Komisi Perlindungan Anak. Pertanyaannya, apakah komisi ini sudah efektif atau belum kinerjanya. Harus ada pengukuran yang jelas. Misalnya, apakah setelah ada komisi itu maka kasus kekerasan terhadap anak meningkat, ataukah tidak. Jadi, perlu ada audit kinerja yang dilakukan sebelum upaya perampingan dilakukan. Tujuannya melihat urgensi suatu lembaga,” ujarnya.
Ketika hasil audit menunjukkan suatu lembaga menunjukkan kinerja yang baik, harus diteruskan. Sebaliknya, jika tidak baik, pilihannya adalah perbaikan kelembagaan, penguatan kewenangan atau otoritas, ataukah dibubarkan lantaran tidak lagi memiliki relevansi. Sebab, menurut Gabriel, ada lembaga-lembaga di pemerintahan yang tidak berkembang dengan baik karena keterbatasan kewenangan.
Audit kinerja itu pun sebaiknya tidak hanya dilakukan untuk melihat kinerja lembaga-lembaga baru. Bahkan, audit kinerja dapat dilakukan secara total atau menyeluruh bagi semua badan dan lembaga di Tanah Air.
Audit kinerja itu pun sebaiknya tidak hanya dilakukan untuk melihat kinerja lembaga-lembaga baru. Bahkan, dapat dilakukan secara total atau menyeluruh bagi semua badan dan lembaga di Tanah Air. Tidak terkecuali bagi lembaga-lembaga yang sudah lama ada.
”Misalnya LAN (Lembaga Administrasi Negara) itu, apakah masih diperlukan ataukah tidak. Sebab, peran itu bisa juga dijalankan oleh kementerian. Di masing-masing daerah juga sudah ada lembaga peningkatan kapasitas SDM, baik melalui pelatihan maupun pendidikan. Nah, sekalipun ini lembaga yang sudah lama, harus juga diaudit dan dilihat kinerjanya dibutuhkan ataukah tidak,” kata Gabriel.