Korupsi Sudah Mengakar dalam Kehidupan Sehari-hari
Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, korupsi saat ini sudah masif dan marak sehari-hari sehingga sulit didefinisikan lagi. Perlu kontrol KPK dan publik yang lebih ketat dan luas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi sulit didefinisikan lagi karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merugikan bangsa dan negara. Untuk mengatasi perbuatan korupsi, dibutuhkan pembangunan karakter sejak dini.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, korupsi sulit dikenali karena memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan, korupsi bisa terselubung di dalam hukum.
”Korupsi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Korupsi terjadi karena salahnya pengelolaan di manajerial,” kata Agus saat membuka Webinar bertajuk ”Milenial Anti Korupsi” dan bedah buku Koruptor Go To Hell!!, Rabu (29/7/2020), di Jakarta.
Korupsi sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Korupsi terjadi karena salahnya pengelolaan di manajerial.
Agus menegaskan, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran utama untuk mengontrol tindakan curang atau fraud yang terjadi. Meskipun demikian, masyarakat juga memiliki peran besar.
Oleh karena itu, budaya integritas yang mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan harus tertanam di setiap orang, terutama generasi muda yang akan menjadi tulang punggung pembangunan pada masa depan.
Mengakarnya korupsi di Indonesia diakui oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Menurut Ghufron, korupsi telah mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik. Hal itu terlihat dari istilah-istilah seperti lobi, bargain, dan referensi sering dimaknai sebagai sesuatu yang negatif.
Bahkan, lebih buruknya lagi generasi muda atau milenial mulai tidak mau melihat profil politisi. Itu karena politik yang seharusnya memiliki makna kebijakan untuk kepentingan orang banyak justru terkesan memiliki arti sempit, yakni kepentingan untuk kelompoknya dan pribadi.
”Korupsi seakan-akan berubah dari kejahatan menjadi jalan lain untuk mencari harta dan jabatan,” kata Ghufron.
Penulis buku Koruptor Go To Hell!!, Esther Roseline, mengatakan, korupsi pada unsur politik terjadi karena biaya politik yang besar. Berdasarkan data Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK tahun 2019, total biaya yang diperlukan untuk memenangi pilkada bupati di Indonesia mencapai lebih dari Rp 50 miliar.
Sebesar 76,3 persen calon kepala daerah mengaku, orang yang menyumbang atau membantu akan mengharapkan balasan dari calon tersebut saat menjabat. Sebanyak 83,8 persen mengaku akan memenuhi harapan tersebut.
Melihat besarnya biaya politik tersebut, akibatnya terjadi jual beli suara, suap, dan menggerogoti sistem demokrasi. Masyarakat pun mencoba mencari keuntungan sehingga muncul politik uang dan merusak transparansi. Menurut Esther, untuk mengatasi permasalahan korupsi pada unsur politik, dibutuhkan peran besar dari masyarakat sipil untuk memastikan adanya akuntabilitas dan evaluasi.
Pembangunan karakter
Chairman The Indonesia Institute for Corporate Governance, Gendut Suprayitno, mengatakan, integritas menjadi sangat penting sehingga perlu dibina sejak dari lingkungan keluarga. Keluarga menjadi kontrol sosial.
Institusi pendidikan dapat menjadi tempat untuk memperkuat pemahaman antikorupsi. Bagi generasi milenial, pendidikan menjadi tempat untuk memahami sistem yang transparan dan akuntabel.
Selain itu, institusi pendidikan dapat menjadi tempat untuk memperkuat pemahaman antikorupsi. Bagi generasi milenial, pendidikan menjadi tempat untuk memahami sistem yang transparan dan akuntabel.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Anthony Winza Probowo, mengungkapkan, korupsi pada unsur politik berpengaruh pada unsur kehidupan berbangsa lainnya. Untuk mengatasinya, dibutuhkan pengelolaan sumber daya manusia.
Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan karakter sebagai investasi jangka panjang. Itu karena korupsi dimulai dari hal terkecil, seperti pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Pembangunan karakter perlu dibina sejak dini, mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat.