Membuat Simpel ”Kapal” Birokrasi
Lama tak terdengar, roda penataan birokrasi dengan cara perampingan lembaga kembali berputar. Namun, untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien, tak cukup dengan hanya membubarkan lembaga.
Lama tak terdengar, roda penataan birokrasi kembali berputar. Sebanyak 18 tim kerja, badan, dan komite dibubarkan Presiden Joko Widodo dan tak tertutup kemungkinan akan lebih banyak lembaga nonstruktural yang bakal bernasib serupa. Namun, demi menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien, langkah yang telah diambil tersebut dinilai masih belum cukup.
Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Juli 2020, sebanyak 18 tim kerja, badan, dan komite dibubarkan oleh Presiden.
Presiden membuktikan pernyataannya saat bincang-bicang dengan wartawan di Istana Merdeka, Senin (13/7/2020). Saat itu, Presiden menyatakan, perampingan birokrasi dibutuhkan untuk membuat gerak pemerintahan lebih efektif dan efisien. ”Kapal itu sesimpel mungkin sehingga bergerak semakin cepat. Organisasi ke depan kira-kira seperti itu. Sebab, negara yang cepat akan mengalahkan yang lambat. Bukan negara gede mengalahkan negara kecil,” tutur Presiden.
Terlebih, pemerintah kini dihadapkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang kian besar. Saat ini, jumlahnya lebih dari 6 persen. Untuk mengatasi hal itu, perampingan jadi salah satu solusinya. Perampingan diharapkan bisa mengefisienkan belanja pemerintah sehingga sesuai target Presiden, keuangan negara kembali membaik dengan defisit tak lebih dari 3 persen pada 2023.
Baca juga : Pangkas Birokrasi, Tantangan Baru Reformasi Birokrasi
Langkah perampingan birokrasi itu pun diperkirakan belum akan berakhir setelah 18 tim kerja, badan, dan komite dibubarkan Presiden. Sebab, di luar yang dibubarkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) telah pula menyodorkan pembubaran 18 lembaga nonstruktural (LNS) yang dinilai tak lagi dibutuhkan saat ini.
”Sekarang lembaga/badan yang diajukan untuk dibubarkan ini sudah di Setneg (Kementerian Sekretaris Negara), menunggu hasil telaahan dari Setneg,” ujar Menpan dan RB Tjahjo Kumolo.
Penataan birokrasi melalui pembubaran tim kerja, badan, LNS, dan komite praktis kembali bergerak kencang setelah lama tak terdengar kabarnya. Untuk diketahui, pola penataan birokrasi semacam itu sempat kencang di awal periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Akhir 2014, misalnya, 10 LNS dibubarkan. Tugas pokok dan fungsi kesepuluh LNS itu lantas dilebur ke sejumlah kementerian. Alasannya, tugas pokok dan fungsi kesepuluh lembaga tumpang tindih dengan kementerian. Kemudian berlanjut pertengahan 2016, sembilan lembaga diintegrasikan ke kementerian dan lembaga, sedangkan dua lembaga digabungkan. Alasannya serupa, tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga ini telah dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang ada. Selanjutnya, masih pada tahun 2016, dengan tujuan yang sama, sembilan LNS lainnya dibubarkan oleh Presiden.
Semua lembaga yang dibubarkan, dilebur, atau digabungkan sejak 2014 hingga kini dibentuk dengan payung hukum perpres atau keputusan presiden (keppres). Dengan demikian, penataan lembaga-lembaga itu relatif mudah, yaitu dengan cara Presiden mengeluarkan perpres atau keppres yang membatalkan perpres atau keppres pembentukan lembaga. Karena itu pula, lembaga-lembaga dengan payung hukum perpres atau keppres sengaja lebih dulu ”dibidik” pemerintah.
Adapun lembaga yang dibentuk dengan dasar undang-undang belum ada yang disentuh. Proses pembubaran, peleburan, atau penggabungan lembaga ini lebih memakan waktu karena, seperti diketahui, harus dibatalkan pula dengan undang-undang dan hal itu butuh persetujuan DPR.
Padahal, lembaga yang dibentuk dengan undang-undang banyak jumlahnya. Berdasarkan data Kemenpan dan RB, dari total 98 LNS yang ada sekarang, sebanyak 71 LNS di dibentuk dengan undang-undang. Sisanya, enam LNS dibentuk melalui peraturan pemerintah, sedangkan 21 lainnya dengan perpres atau keppres.
Terkait LNS yang dibentuk dengan undang-undang, Tjahjo Kumolo mengatakan, LNS itu jadi bagian yang dievaluasi Kemenpan dan RB. Tak tertutup kemungkinan LNS itu juga akan dibubarkan, dilebur, atau digabungkan, tentu dengan terlebih dulu meminta persetujuan DPR.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, DPR akan mendukung jika memang hasil evaluasi dari Kemenpan dan RB, di antara puluhan LNS yang dibentuk dengan undang-undang, ada yang dinilai layak dibubarkan atau dilebur agar pemerintah efektif dan efisien.
”Intinya, kan, ini berbicara tentang efisiensi dan efektivitas kerja dari birokrasi kita. Kalau itu misinya, kita akan mendukung penuh,” ujarnya.
Namun, sebelum hal itu dilakukan, ia mendorong Kemenpan dan RB menyusun desain besar penataan birokrasi dan struktur birokrasi. Ini pula yang pernah diminta oleh Komisi II DPR dalam rapat terakhir dengan Kemenpan dan RB di DPR. ”Dari desain itu nanti terlihat mana lembaga yang perlu dievaluasi dan dihapuskan. Desain itu kami minta dipaparkan dulu di DPR,” ujarnya.
Kemudian, bersamaan dengan upaya perampingan birokrasi tersebut, Doli mengingatkan segenap pihak, baik pemerintah maupun DPR, agar sama-sama menahan diri untuk membentuk lembaga-lembaga baru. Sebab, jika lembaga baru justru terus dimunculkan, tidak akan ada artinya pembubaran, peleburan, atau penggabungan lembaga yang telah dilakukan sejauh ini.
”Lebih baik maksimalkan kerja kementerian atau lembaga yang sudah ada saja,” ujarnya.
Baca juga : Tidak Ada Pemecatan ASN akibat Perampingan Lembaga
Struktur birokrasi
Selain pekerjaan rumah mengevaluasi lembaga yang sudah ada, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia Eko Prasojo mengingatkan, penting pula untuk menata kembali struktur birokrasi di kementerian/lembaga. Sebab, tak sedikit pula yang tumpang tindih satu sama lain. Tak hanya di antara kementerian/lembaga, tetapi bahkan di tingkat internal kementerian/lembaga.
Pada 2016, menurut dia, Kemenpan dan RB pernah menghitung, potensi inefisiensi akibat tumpang tindih program kerja tanpa manfaat (outcome) dari berbagai kementerian/lembaga bisa mencapai Rp 397 triliun per tahun. Angka ini belum termasuk inefisiensi akibat struktur organisasi gemuk yang menyebabkan biaya tinggi, baik untuk membiayai para pejabat maupun jalannya organisasi.
Untuk itu, solusinya bisa dengan menyederhanakan struktur, seperti menggabungkan beberapa direktorat jenderal atau kedeputian. Selain itu, struktur organisasi perlu diubah menjadi berbasis kinerja, bukan sekadar berbasis tugas pokok dan fungsi seperti yang berlaku selama ini.
”Kalau berbasis tupoksi (tugas pokok dan fungsi), ujungnya hanya program kerja, tetapi ditanya outcome enggak tahu. Jadi, perlu diubah berbasis kinerja,” kata Wakil Menpan dan RB periode 2011-2014 ini.
Pentingnya penataan birokrasi ini menemukan momentumnya tatkala pandemi Covid-19 melanda. Pandemi, seperti diketahui, memaksa sebagian birokrasi mengubah cara kerjanya dengan kini lebih mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi. Perubahan ini tak pelak mesti diselaraskan pula dengan struktur birokrasi yang ada guna menunjang kerja-kerja baru itu.
Perubahan cara kerja tersebut, menurut Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Erwan Agus Putranto, sekaligus mendorong percepatan reformasi birokrasi secara menyeluruh. Cara kerja aparatur sipil negara (ASN) yang berbasis teknologi digital bisa lebih digenjot.
Cara kerja ini lebih cepat, presisi, dan akan mengurangi kesalahan manusia. ASN pun bisa bekerja dari mana saja. Pengerjaan tugas-tugas bisa terpantau dari log kerja komputer yang terintegrasi dengan sistem cloud computing dan big data. Evaluasi kerja ASN pun jauh lebih mudah dan transparan sehingga sejalan dengan penghitungan tunjangan kinerja ASN.
”Covid-19 memaksa sekaligus memberi bukti bahwa banyak urusan pekerjaan bisa diselesaikan dari rumah. Biaya perjalanan dinas, transportasi, dan lainnya lebih efisien. Pelayanan kepada masyarakat juga bisa lebih cepat. Jadi, memang ini momentum untuk mereformasi birokrasi total,” tutur Erwan.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Momentum Akselerasi Reformasi Birokrasi
Jika mengacu pada desain besar reformasi birokrasi 2010-2025, birokrasi Indonesia ditargetkan sudah menjadi pemerintahan berkelas dunia pada akhir 2025. Dengan waktu tersisa sekitar lima tahun, semua cara perlu ditempuh untuk meraih target tersebut. Penataan birokrasi secara menyeluruh, pemenuhan kebutuhan infrastruktur pendukung, hingga pengembangan kapasitas aparaturnya itu setidaknya yang masih jadi pekerjaan rumah pemerintahan Joko Widodo.