Syarat Pencalonan Terlalu Berat bagi Pasangan Calon Perseorangan
Dalam tiga gelombang pilkada serentak, terdapat kecenderungan penurunan jumlah pasangan calon perseorangan ataupun persentase kemenangan paslon perseorangan. Hal yang sama diperkirakan berlangsung di Pilkada 2020.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Syarat calon perseorangan yang terlalu sulit dinilai berpotensi menurunkan motivasi bakal calon perseorangan untuk mendaftar di dalam Pilkada 2020. Turunnya minat calon perseorangan selain mengurangi kesempatan kandidat nonparpol untuk berkontestasi dalam pilkada juga memperkecil alternatif pilihan masyarakat terhadap calon kepala daerah.
Dari tiga gelombang pilkada serentak, jumlah calon perseorangan cenderung turun dan potensi kemenangannya mengecil. Hasil kajian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menunjukkan tren ini.
Pada Pilkada 2015, calon perseorangan berjumlah 135 pasangan dan persentase keterpilihan 9,63 persen. Pada Pilkada 2018, calon perseorangan 68 pasangan calon dan persentase keterpilihannya turun drastis menjadi 3,53 persen. Sementara itu, pada Pilkada 2018, jumlah calon perseorangan 69 pasangan dan persentase kemenangan turun menjadi 2,22 persen.
Peneliti KoDe Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, Senin (27/7/2020), di Jakarta, mengatakan, kenaikan jumlah pasangan calon perseorangan dari Pilkada 2017 ke Pilkada 2018, yakni dari 68 pasangan ke 78 pasangan, tak mengindikasikan adanya kenaikan minat masyarakat mendaftar sebagai calon perseorangan. Kenaikan itu terjadi karena jumlah pilkada yang lebih banyak pada tahun 2018 dibandingkan Pilkada 2017. Pada Pilkada 2017, ada 101 daerah, sedangkan tahun 2018 ada 171 daerah dan di Pilkada 2015, ada 269 daerah.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum RI pada 27 Februari 2020, ada 350 pasangan calon yang berniat menyerahkan berkas dukungan pencalonan dari jalur perseorangan. Namun, hanya 147 pasangan calon yang berkasnya diterima, 54 ditolak, dan 149 batal menyerahkan. Berkas dukungan pasangan calon perseorangan itu sedang diverifikasi oleh KPU di daerah.
”Tren calon perseorangan yang naik turun lebih dipengaruhi oleh jumlah pilkada. Namun, faktor utama yang mempersulit calon perseorangan untuk maju ialah regulasi yang kurang berpihak ke mereka. Saat ini, persentase dukungan yang disyaratkan oleh UU Pilkada sangat tinggi,” kata Ihsan.
Sebagai gambaran, untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan 250.000 jiwa, bakal calon perseorangan harus didukung paling sedikit 10 persen DPT. Syarat berat juga berlaku di tingkat provinsi. Dengan jumlah penduduk di DPT sampai 2 juta jiwa, bakal calon perseorangan harus didukung sedikitnya 10 persen DPT.
”Tidak mudah mengumpulkan puluhan sampai ratusan ribu dukungan warga yang dibuktikan melalui KTP. Syarat itu bahkan jauh lebih sulit daripada syarat dukungan untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk calon DPD dengan daftar pemilih tetap (DPT) 15 juta jiwa, misalnya, hanya dibutuhkan 5.000 dukungan,” kata Ihsan.
Untuk mendorong kesempatan lebih besar bagi calon perseorangan untuk maju dalam pilkada, pembentuk UU diharapkan memberikan perhatian pada skema pengaturan syarat calon perseorangan. Idealnya, menurut Ihsan, syarat itu minimal disamakan antara calon perseorangan dengan calon DPD.
Pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, syarat calon perseorangan yang terlalu tinggi itu menyebabkan calon perseorangan kesulitan mendapatkan dukungan, bahkan sebelum kontestasi.
”Mereka ibarat bunga yang layu sebelum berkembang. Sebab, sebelum mereka bertarung, mereka sudah harus memenuhi syarat yang berat,” katanya.
Sejalan dengan upaya revisi UU Pemilu, yang juga mencakup pengaturan pilkada, menurut Adi, pengaturan mengenai calon perseorangan jangan sampai hanya menjadi dorongan politik normatif. Dengan syarat terlalu berat, kemungkinan bagi calon perseorangan untuk bersaing dengan calon dari parpol, apalagi untuk menghindari pilkada dengan calon tunggal, akan sulit dicapai.
”Sudah seharusnya pembentuk UU mempertimbangkan menurunkan threshold pencalonan dan memudahkan syarat bagi calon perseorangan,” kata Adi.
Selain mengatur calon perseorangan, RUU Pemilu harus memberikan perhatian terhadap isu-isu pencalonan lainnya, seperti menguatnya potensi calon tunggal dan dinasti politik. Dua hal itu memang tak dilarang dalam kontestasi. Namun, pembentuk undang-undang sepatutnya memikirkan pula etika politik, tidak hanya aturan formal dan prosedural.
”Sebaiknya diatur supaya politik kita ada etikanya. Bagi petahana atau pejabat yang sedang menjabat sebaiknya dibatasi agar tidak mencalonkan anaknya, istrinya, atau menantunya. Setelah mereka tidak menjabat, baru mereka bisa mencalonkan diri. Tujuannya supaya politik kita juga ada etika atau akhlaknya, tidak semata-mata mengejar kekuasaan,” kata Adi.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, saat ini RUU Pemilu telah selesai pada tahapan kompilasi antara pendapat fraksi-fraksi dengan pakar dan ahli. Draf kompilasi itu masih berisi norma-norma yang selama ini dipandang berkaitan dengan kepentingan parpol untuk meraih kursi atau suara.
Hal tersebut, misalnya, terkait dengan besaran daerah pemilihan (dapil), ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Substansi kompilasi itu pun masih berupa pendapat setiap fraksi dan belum mengerucut pada satu norma yang disetujui oleh semua fraksi.
”Untuk isu penurunan ambang batas pencalonan dan mendorong calon perseorangan, itu belum dibahas mendalam oleh fraksi-fraksi. Nanti kami juga akan membahas soal isu pencalonan terkait dengan dinasti politik dan calon tunggal. Tetapi itu nanti ketika pembahasan dengan pemerintah,” kata Saan.