Pendapat Jaksa Tak Berpengaruh jika Joko Tjandra Tak Hadir
Sidang pemeriksaan perkara PK yang diajukan buron perkara pengalihan hak tagih utang (”cessie”) Bank Bali, Joko Tjandra, kembali digelar Senin ini. Majelis hakim seharusnya menolak PK-nya jika tanpa kehadirannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO DAN DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sidang pemeriksaan perkara peninjauan kembali yang diajukan buron perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Tjandra, kembali akan diselenggarakan pada Senin (27/7/2020). Agendanya, mendengarkan pendapat jaksa. Jika Joko tidak hadir lagi, pendapat jaksa tidak akan berpengaruh.
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sekaligus jaksa Ridwan Ismawanta belum dapat membuka kepada publik terkait pendapatnya terhadap permohonan PK yang diajukan Joko. ”Besok (Senin ini) akan dijelaskan di persidangan. Saya berharap besok ada kesempatan untuk dibacakan karena ini perkara penting,” kata Ridwan ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/7/2020).
Ia pun menyerahkan sepenuhnya kepada majelis untuk mengambil keputusan jika besok Joko tidak datang lagi ke persidangan. Dalam sidang sebelumnya, Ridwan telah mengingatkan kepada majelis hakim bahwa sidang yang diselenggarakan pada 20 Juli lalu merupakan kesempatan terakhir. Apabila Joko tidak hadir, sidang akan ditolak.
Besok (Senin ini) akan dijelaskan di persidangan. Saya berharap besok ada kesempatan untuk dibacakan karena ini perkara penting.
Akan tetapi, majelis hakim justru memberikan kesempatan kepada ketua tim kuasa hukum Joko, Andi Putra Kusuma, untuk membacakan surat dari Joko. Setelah mendengarkan isi surat tersebut, hakim justru meminta jaksa untuk memberikan pendapat secara tertulis.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, majelis hakim yang memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan apabila Joko kembali tidak hadir sebab permohonan PK ini sudah masuk di pengadilan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, jika Joko kembali tidak hadir, konsekuensinya permohonan PK yang diajukan ditolak. Dalam hal ini, pendapat jaksa tidak berpengaruh. Apabila pemohon hadir, akan dilakukan pemeriksaan terkait alasan dari permohonan PK.
Dari awal sudah salah
Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar mempertanyakan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang merespons pengajuan peninjauan kembali (PK) kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko S Tjandra. Menurut Erwin, tidak ada itikad baik yang ditunjukkan oleh buronan tersebut. Tercatat, sudah tiga kali Joko mangkir dalam sidang pemeriksaan PK tersebut.
Erwin mengatakan, sejak awal proses penerbitan KTP elektronik atas nama Joko Soegiarto Tjandra saja sudah salah. KTP elektronik dibuat Joko Tjandra sebagai syarat untuk pengajuan PK di PN Jaksel. Sementara itu, sejak kabur dari Indonesia pada 2009, Joko diketahui tinggal dan menjadi warga negara Papua Niugini.
”Di sistem negara kita tidak mengenal sistem dwikewarganegaraan. Namun, kemudian dalam praktiknya Joko Tjandra bisa mendapatkan KTP elektronik? Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus menelusuri kelalaian tersebut,” kata Erwin.
Dengan terbitnya KTP elektronik tersebut, Joko dapat memuluskan pengajuan PK dalam kasus hak tagih Bank Bali. Di PN Jaksel, sidang PK tersebut terus berjalan. Dalam tiga kali agenda persidangan, Joko sudah tiga kali tidak datang. Namun, anehnya, PN Jaksel tetap melanjutkan sidang tersebut.
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan jaksa, menurut rencana, digelar pada Senin (27/7/2020) besok. Hal tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sebab, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 disebutkan bahwa sidang PK tidak bisa dilakukan tanpa kehadiran terpidana (in absentia).
”Seharusnya PK ini tidak perlu diproses karena yang bersangkutan tidak punya itikad baik. Sejak awal, sebenarnya proses PK ini tidak perlu diperiksa oleh MA. MA cukup menolak proses yang diajukan yang bersangkutan karena telah melakukan banyak pelanggaran,” kata Erwin.
Menurut Erwin, MA berwenang merespons dengan menolak PK yang diajukan Joko. Di PN Jaksel, permohonan PK dapat saja diterima. Namun, setelah rekomendasi diberikan ke MA, MA perlu mempertimbangkan untuk menggugurkan permohonan PK tersebut. Dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan Joko, apalagi melibatkan aparat penegak hukum, yang bersangkutan dapat dikategorikan tidak layak mengajukan PK.
Seharusnya PK ini tidak perlu diproses karena yang bersangkutan tidak punya itikad baik. Sejak awal, sebenarnya proses PK ini tidak perlu diperiksa oleh MA. MA cukup menolak proses yang diajukan yang bersangkutan karena telah melakukan banyak pelanggaran.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan, mengamati berbagai pelanggaran yang dilakukan Joko, negara sebenarnya berwenang membatalkan keabsahan dokumen yang diajukan. Misalnya KTP elektronik, paspor, dan termasuk pengajuan PK di pengadilan. Sebab, proses-proses tersebut dilakukan saat Joko masih berstatus DPO. Negara berwenang membatalkan keabsahan dokumen tersebut. Termasuk, pengajuan proses hukum Joko di Indonesia.
Menurut Julius, yang terjadi saat ini, meskipun sudah terungkap bahwa Joko melakukan pelanggaran hukum, negara seolah membenarkan proses tersebut. Akibatnya, langkah-langkah yang dilakukan Joko, seperti pengajuan PK, pun seolah sah-sah saja. Julius berpendapat, percuma ketika aparat yang memfasilitasi Joko diproses, tetapi Joko masih leluasa melakukan kehendaknya di Indonesia. Hal itu seharusnya dapat menjadi perhatian lebih serius oleh lembaga negara dan presiden.
”Kalau negara menganggap bahwa Joko telah melanggar hukum, cabut dan nyatakan saja bahwa dokumen-dokumen yang diajukan tersebut tidak sah sehingga PK yang diajukan di PN Jaksel pun juga tidak sah,” kata Julius.