Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara
Hari ini, 24 tahun silam, terjadi penyerangan di kantor DPP PDI. Peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal dengan nama ”kudatuli” itu menjadi catatan kelam bagi hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Dua puluh empat tahun lalu, peristiwa 27 Juli 1996 terjadi. Kerusuhan yang terjadi di sekitar Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta itu menewaskan 5 orang, menyebabkan 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan pentingnya pengusutan peristiwa ini dan pemberian perhatian bagi korban.
Tragedi berawal dari masalah internal PDI yang kemudian memunculkan dualisme kepemimpinan, yakni antara PDI pendukung Soerjadi dengan PDI pendukung Megawati. Terhadap masalah itu, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri M Yogie S Memet menyatakan pengakuannya terhadap DPP PDI Hasil Kongres Medan dengan Ketua Umum Soerjadi (Kompas, 3 Juli 1996).
Hal itu menimbulkan reaksi dari para pendukung Megawati. Dukungan mengalir dan berpusat di kantor pusat DPP PDI di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, yang diduduki massa PDI pendukung Megawati. Mimbar bebas dan orasi politik dilakukan di sana tidak hanya oleh kader PDI, tetapi juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), simpatisan, ataupun masyarakat.
Bagi aparat, kerumunan massa itu dianggap sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Hamami Nata menginstruksikan DPP PDI di bawah Megawati Soekarnoputri agar segera menghentikan kegiatan mimbar bebas. Sebab, kegiatan itu kegiatan itu telah mengarah kepada tindakan makar kepada pemerintah yang sah.
Demikian pula Panglima Kodam Jaya Mayjen Sutiyoso mengatakan, mimbar bebas yang dilaksanakan di kantor DPP PDI telah menjadi ajang mencaci maki dan mendiskreditkan pejabat pemerintah dan ABRI (kini TNI). Menurut Pangdam, imbauan dan langkah-langkah persuasif untuk mengakhiri aksi massa dan mimbar bebas yang tidak tertib dari aparat tidak dipedulikan. Oleh karena itu, aparat akan menghentikan aksi politik tersebut dengan mengedepankan aparat dari Polda Metro Jaya yang didukung oleh Bakorstanasda Jaya.
”Ini semua terpaksa harus dilakukan demi memelihara terciptanya ketertiban dan keamanan wilayah Ibu Kota yang kita cintai ini,” kata Pangdam Sutiyoso (Kompas, 26 Juli 1996).
Pada 27 Juli sekitar pukul 06.20, arsip berita Kompas mencatat, massa PDI pendukung Soerjadi berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning. Sebelumnya, terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit. Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai statusquo. Namun, kesepakatan tidak tercapai.
Pada pukul 06.35, terjadi bentrokan di antara kedua kelompok massa. Massa PDI pendukung Soerjadi mengenakan kaos warna merah bertuliskan ”DPP PDI Pendukung Kongres Medan” serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI yang dibalas oleh massa PDI pendukung Megawati dari dalam kantor.
Sekitar pukul 08.00, aparat keamanan mulai mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI. Kantor dinyatakan sebagai area tertutup dan dipasang garis polisi hingga ruas Jalan Diponegoro. Pers juga dilarang melewatinya. Sebanyak tiga truk mengangkut sekitar 50 pendukung Megawati yang tertahan di kantor itu, serta ada sembilan orang lainnya yang diangkut dua mobil ambulans.
Peristiwa itu merembet ke luar kantor DPP PDI. Sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, sekat Stasiun Cikini. Aksi tersebut dengan cepat berubah menjadi bentrokan antara massa dan aparat keamanan. Setidaknya tiga bus kota dan beberapa gedung di Jalan Salemba dibakar. Sekitar pukul 16.35, massa mulai membubarkan diri meski api di sejumlah gedung belum berhasil dipadamkan hingga malam hari.
Di kemudian hari, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) menewaskan 5 orang. Selain itu, 149 orang luka-luka, dan 23 orang dinyatakan hilang.
Sejarah kelam HAM dan demokrasi
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dalam keterangan tertulis, Senin (27/7/2020), mengatakan, peristiwa serangan 27 Juli 1996 adalah peristiwa kelam bagi HAM dan demokrasi di Indonesia. Tragedi itu tidak hanya menegaskan sikap pemerintah terhadap rakyat dan terhadap simbol kedaulatan partai politik, namun juga membunuh demokrasi.
”Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarki,” kata Hasto.
Hasto mengatakan, meskipun kantor DPP PDI rusak, saat itu Megawati Soekarnoputri tetap memilih jalur hukum meski aparat penegak hukum ada di bawah kendali kekuasaan. Langkah itu terbukti mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah.
Demikian pula, lanjut Hasto, Megawati juga melakukan politik moral dengan meneriakkan ”Stop Hujat Pak Harto” meski keluarga Bung Karno mendapatkan berbagai tekanan dan diskriminasi politik di masa Orde Baru. Sebagaimana mengutip pernyataan Megawati, kata Hasto, ”kita tidak boleh dendam dengan hanya melihat masa lalu sehingga melupakan masa depan”.
Menurut Hasto, Kudatuli telah mengajarkan inti dari kekuatan moral politik. Pilihan jalur hukum saat itu justru memperkuat moral pejuang demokrasi. Kudatuli dinilai menjadi benih perjalanan reformasi yang akhirnya menyatukan kekuatan rakyat untuk mengalahkan tirani.
”Di balik jatuhnya Pak Harto, Ibu Megawati telah mengajarkan politik rekonsiliasi, berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan. Disitulah hadir kekuatan moral seorang pemimpin,” ujar Hasto.
Dalam kasus Kudatuli, terdapat 124 terdakwa yang dibawa ke persidangan. Mereka adalah massa pendukung Megawati. Seiring berjalannya waktu, Ketua Umum DPP PDI Soerjadi beserta Sekretaris Jenderal DPP PDI Hasil Kongres Medan, Buttu R Hutapea, juga digugat oleh korban penyerbuan ataupun para pendukung Megawati.
Paskalis Pieter, mantan kuasa hukum almarhum Soerjadi dan almarhum Buttu Hutapea, mengatakan, selama 24 tahun sejak Kudatuli terjadi, tidak terjadi kejelasan penuntasan kasus tersebut. Padahal, di situ terjadi pelanggaran hukum, HAM, dan demokrasi terbesar di era rezim Soeharto.
”Ekses kasus 27 Juli pun telah memakan korban jiwa dan materi yang tak ternilai. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap kasus aquo yang kini menjadi tidak jelas itu?” kata Paskalis lewat siaran persnya.
Menurut Paskalis, tim penyidik dari kepolisian saat itu langsung mengarah pada keterlibatan sipil dalam kasus itu, bukan militer. Ketidakmampuan penyidik dari kepolisian untuk menetapkan status tersangka terhadap anggota militer dinilainya secara jelas telah menimbulkan ketidakadilan.
”Almarhum Soerjadi dan Buttu Hutapea pada 20 tahun silam telah diperiksa dan ditahan oleh penyidik Mabes Polri. Sampai saat ini nasib hukum kedua tokoh politik ini tidak menunjukkan kejelasan sampai meninggal,” ujar Paskalis.
Pergantian tampuk pemerintahan sejak 27 Juli 1996, lanjut Paskalis, tidak menyelesaikan kasus tersebut. Hal itu menunjukkan tidak adanya komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus 27 Juli 1996. Paskalis mendesak agar pemerintahan Presiden Joko Widodo menuntaskan kasus tersebut. Dengan demikian, kasus itu diharapkan tak membawa preseden buruk bagi penegakan hukum dan demokrasi di indonesia.
Sikap negara
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin al Rahab berpandangan, tim dari Komnas HAM waktu itu telah menyatakan bahwa Kudatuli adalah peristiwa pelanggaran HAM. Maka, Komnas HAM merekomendasikan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi agar pemerintah memberikan perhatian kepada para korban. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan atau perhatian yang ditunjukkan, baik untuk menuntaskan kasus itu maupun bagi para korban.
”Kalau mau kita refleksikan, periwstiwa ini kan sudah melewati beberapa periode kepemimpinan pasca reformasi, antara lain Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Presiden Joko Widodo. Karena ini peristiwa politik, maka memang perlu keputusan politik,” kata Amiruddin.
Menurut Amiruddin, jika pemerintah memberikan perhatian terhadap peristiwa 27 Juli 1996, pemerintah dapat memberikan perhatian terlebih dahulu bagi para korban. Bentuk perhatian itu bisa dicari, tetapi yang lebih penting adalah pesan bahwa pemerintah memberikan perhatian terhadap peristiwa itu.