Partai Kebangkitan Bangsa menggelar pentas ketoprak humor yang diperankan oleh para elite PKB dalam rangka harlah ke-22. Ketoprak yang sarat pesan politik itu juga dimaksudkan untuk menghibur masyarakat di masa pandemi
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Ketoprak humor sebagai bagian dari budaya telah digunakan para elite sejak dahulu hingga kini sebagai ”senjata” yang ampuh untuk menarik simpati publik dan menyampaikan pesan politik. Terlepas dari semua itu, di tengah keadaan yang rumit akibat pandemi Covid-19, seni humor sangat efektif melepas kejenuhan publik.
Di suatu kerajaan, sang raja, yang dilakoni anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, Fathan Subchi, tengah mendiskusikan masalah terkini yang terjadi di lingkungannya bersama dua patihnya. Fathan disebut cocok menduduki kursi raja karena perawakannya yang besar.
Belum selesai berdiskusi, ada dua perempuan, yang diperankan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama Anggia Ermarini, menghampiri raja dan membawa kabar buruk. Kedua putri sang raja telah diculik. Semua panik.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba Ida yang merupakan istri sang raja meminta agar adegan berhenti sejenak. Dia lupa dengan status perempuan yang sedari awal datang bersamanya.
”Lho... sik... sik.... Iki sinten iki? (Lho... sebentar... sebentar. Ini siapa ini?),” keluh Ida kepada sang raja.
Raja rupanya juga lupa itu anaknya atau istrinya. Tak cukup raja, Anggia bahkan lupa akan perannya. Gelak tawa penonton pun riuh di dalam satu aula, kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat (25/7/2020) malam.
Lantas, Ida menanyakan langsung kepada seniman Kirun, yang menjadi sutradara dalam lakon Satrio Tali Jagat tersebut. Kirun pun menjelaskan bahwa Anggia berperan sebagai istri kedua.
”Saya yang sebagai sutradara malam ini melu mumet (ikutan pusing),” tutur Kirun.
Belum selesai, Kirun menambahi, ”Enek meneh, ketoprak kok nganggo sepatu (Ada lagi, ketoprak, kok, memakai sepatu).” Fathan, yang disindir pun dengan tersenyum puas langsung menunjukkan sepatu sneakers-nya yang berwarna putih mengilap ke arah penonton.
Itu hanya sebagian kecil plot cerita di dalam lakon Satrio Tali Jagat yang dimainkan oleh para elite PKB. Mereka memang tak sekaliber pemain ketoprak sungguhan. Namun, mereka tetap bisa menghadirkan kelucuan. Tak hanya lewat materi humor yang sudah disiapkan, tetapi juga reaksi-reaksi spontan, apalagi sampai lupa peran, lupa alur cerita, dan lupa apa yang hendak disampaikannya.
Kirun menyampaikan, persiapan ketoprak humor ini ternyata tak lebih dari satu minggu. Padahal, biasanya, Kirun membutuhkan waktu 1-2 bulan setiap ingin pentas.
”Ketoprak ini nanti lucu tidak lucu, harus dan wajib ngguyu (tertawa). Kalau sampai enggak ngguyu (tertawa), berarti membunuh karakter pemain,” seloroh Kirun sebelum pentas dimulai. Pentas tersebut merupakan bagian dari rangkaian tasyukuran hari lahir ke-22 PKB.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, saat memberikan sambutan sebelum pentas, bahkan kaget ketika mengetahui salah satu pemain ketoprak adalah Ida. ”Saya kira yang paling tidak lucu nanti Bu Ida,” ucapnya, disambut tawa hadirin.
Mungkin itu pula yang membuat Ida di awal masuk panggung menyampaikan, ”Saya mau minta doa agar saya bisa lucu.” Sesimpel kalimat itu saja seisi ruangan bisa tertawa.
Sayang, sekalipun mereka yang hadir di acara terpingkal-pingkal sepanjang acara berlangsung, suara dari acara itu kurang terdengar di Youtube atau kanal lain.
Namun, terlepas dari semua itu, menurut Muhaimin, pergelaran ketoprak ini semata-mata hanya ingin mengurangi ketegangan dan kerisauan yang muncul di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, dengan tertawa, imun tubuh menjadi lebih baik.
Pergelaran ketoprak ini semata-mata hanya ingin mengurangi ketegangan dan kerisauan yang muncul di tengah pandemi Covid-19. Dengan tertawa, imun tubuh menjadi lebih baik.
PKB, lanjut Muhaimin, sejak awal berdiri bertekad untuk menjadikan budaya sebagai landasan dalam doktrin dan langkah politiknya. ”Karena kalau budaya sebagai panglima, masa sulit apa pun akan tetap enak. Masa sulit apa pun bisa dihadapi,” tuturnya.
Sementara itu, sejarawan Bonnie Triyana menilai, ketoprak sebagai bagian dari kebudayaan bukanlah cara yang baru untuk mendekati dan meraih simpati rakyat. Di zaman Orde Baru, wayang juga pernah dipakai untuk kepentingan itu. Lebih jauh lagi, begitu pula di zaman Wali Songo.
”Istilahnya nguri-nguri (melestarikan) kebudayaan. Pendekatan kebudayaan, kan, pendekatan yang paling enak, bisa untuk semua kalangan,” ujar Bonnie.
Yang paling menarik di sini, menurut Bonnie, ketoprak dipakai untuk politik atau mengambil hati rakyat. Sebab, sebetulnya ketoprak merupakan kesenian di luar tembok keraton dan di luar jangkauan kekuasaan.
”Politik sekarang, kan, mencari cara sekreatif mungkin untuk mencari simpati. Yang penting tidak merusak pakem atau mengacak-acak kebudayaan itu sendiri sehingga nanti dan seterusnya, kalau orang bermain ketoprak dan lain-lain, harus ada pesan politik kayak begitu. Kan, tidak begitu,” kata Bonnie.
Ketoprak dipakai untuk politik atau mengambil hati rakyat. Sebab, sebetulnya ketoprak merupakan kesenian di luar tembok keraton dan di luar jangkauan kekuasaan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Kacung Marijan pun sependapat bahwasannya pesan politik lebih mudah sampai ke rakyat jika disampaikan dengan budaya. Tak heran, pola itu juga dipakai oleh partai-partai lain.
Namun, menurut dia, itu tak lantas dipersepsikan negatif. Sebab, di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini, cara humor itu bisa sangat efektif melepas jenuh publik. Selain itu, efek humor juga bisa membuat para elite politik lebih rileks dalam membicarakan suatu masalah.
”Jadi, tujuannya memang ada dua. Untuk membangun komunikasi politik yang lebih cair dan juga bisa untuk kepentingan pribadi mereka sendiri agar bisa rileks. Mereka, kan, sudah biasa dengan isu-isu serius. Nah, mereka juga ingin refresh juga,” kata Kacung.
Kacung berharap, itu tak berhenti di partai. Para pejabat daerah juga bisa melakukan itu dan melibatkan para seniman di wilayahnya. Itu baik untuk menghidupkan kembali kesenian rakyat.
”Jadi, boleh sekali-sekali. Tetapi, jangan terus-terusan. Selain membuat pelawak aslinya tidak laku, kalau para elite politik rileks terus, ya, kerjaan tidak selesai-selesai,” ujar Kacung.